Virus
Lady Gaga
Joko
Wahyono ; Peneliti
pada Center for Indonesian Political Studies (CIPS) Yogyakarta
SUMBER
: REPUBLIKA,
24 Mei 2012
Bandingkan dengan artikel
Joko Wahyono di JAWA POS, 23 Mei 2012 :
Kontroversi
konser Lady Gaga masih hangat menjadi perbincangan publik. Sikap pro dan kontra
tak dapat dielakkan. Penyanyi elakkan. Penyanyi bernama asli Stefani Joanne
Angelina Germanotta ini dinilai kerap menampilkan aksi-aksi panggung yang
“erotis“. Hal ini diyakini penuh akan dipertontonkan juga dalam konser bertajuk
“The Born This Way Ball“ yang akan
digelar di Jakarta, pada 3 Juni mendatang.
Alasan
inilah yang menjadi dalih penolakan berbagai ormas Islam, seperti FPI dan
beberapa fraksi di DPR. Mereka menentang kehadirannya karena tidak sesuai
dengan budaya Indonesia dan dikhawatirkan merusak moral bangsa.
Sementara,
bagi yang mendukung berujar bahwa apa yang diperlihatkan oleh Lady Gaga tak
lebih dari bentuk kebebasan berekspresi. Menentang dan menolaknya berarti sama
halnya dengan memberangus hak asasi individu. Belum lagi terkait dengan hak
konsumen calon penonton yang terlanjur membeli tiket.
Jika
argumen kedua kubu ini selalu dibentur-benturkan maka tidak akan pernah
menemukan titik temu. Masing-masing memiliki argumen dan kepentingan yang
berbeda-beda. Upaya untuk mendamaikannya adalah sebuah ikhtiar yang sia-sia
karena hanya akan menghabiskan tenaga.
Kontroversi
seputar Lady Gaga ini merupakan blessing
in disguise. Ia harus menjadi momentum untuk mengaca diri dan mengevaluasi
perilaku masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya. Dengan kata lain,
sejauh mana kecintaan bangsa terhadap budaya sendiri dipertahankan ketika
berhadapan dengan arus deras budaya bangsa lain.
Di
sinilah kesadaran nasionalisme bangsa Indonesia dipertaruhkan. Nasionalisme
lebih diposisikan sebagai bagian dari fenomena budaya. Sebagaimana pandangan
Anthony Smith (1986) bahwa nasionalisme diikat oleh atribut-atribut kultural
meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme.
Krisis nasionalisme Harus diakui bahwa bangsa ini se dang mengalami krisis
identitas kebudayaan. Pada kenyataannya budayabudaya asing telah merasuk secara
masif ke dalam relung pikir, mendarah daging, dan menjelma menjadi gaya hidup (life style) masyarakat. Lady Gaga
hanyalah sekelumit dari sekian banyak penetrasi budaya Barat.
Jika
dicermati secara fair, gemuruh gelombang budaya Korea jauh memberi pengaruh
yang luar biasa, khususnya bagi generasi muda. Tren K-Pop telah menyebarkan
histeria genre musik pop ala Korea. Ia menjadi trend centre band-band baru yang banyak bermunculan menjejali
belantika musik Tanah Air. Beragam gaya dan karakteristik K-Pop secara latah diikuti dan diadopsi. Begitu
pula kegaduhan Lady Gaga di ruang publik secara jelas menunjukkan bangsa ini
tidak siap dan gamang menghadapi gempuran budaya asing.
Yang muncul adalah sentimen-sentimen individu, etnisitas, atau kelompok. Demi
kepentingan nasional, masing-masing mengklaim memiliki otoritas untuk menilai
budaya yang sesuai dan yang merusak jati diri bangsa. Padahal, sampai hari ini
kesesuaian itu belum memiliki parameter yang jelas.
Segala
tindakan yang diambil lebih didasarkan pada tekanan dan desakan yang berlaku
sesaat. Tak pelak, budaya santun, ramah tamah, dan toleransi ditinggalkan. Yang
tampak hanyalah kecenderungan untuk mengintimidasi, arogansi, intoleransi,
fanatisme keagamaan yang berujung pada kekerasan.
Kebebasan
berekspresi pada gilirannya dikhawatirkan akan mengarah kepada kebebasan tanpa
batas dan tidak bertanggung jawab. Kondisi inilah yang dinamakan krisis
identitas. Nasionalisme tak lagi menjadi kekuatan utama dalam kehidupan budaya
berbangsa dan bernegara.
Hal
ini sebagaimana diungkap oleh Fukuyama (1992) bahwa nasionalisme lama di
negara-negara demokrasi telah surut. Ketika pertumbuhan pembangunan sosial
ekonomi masih relatif rendah-seperti di negeri ini--maka akan membangkitkan
nasionalisme baru.
Nasionalisme
baru ini cenderung primitif, tidak toleran, chauvinistik, dan secara internal
agresif yang diekspresikan dengan beragam cara dan medium.
Inilah pengingkaran terhadap identitas bangsa, yaitu nasionalisme.
Inilah pengingkaran terhadap identitas bangsa, yaitu nasionalisme.
Kristalisasi Kesadaran
Dari
kasus Lady Gaga ini, upaya untuk kristalisasi kesadaran nasionalisme menjadi
urgen sebagai tameng untuk mengantisipasi keterasingan budaya yang mulai
merajalela. Memang tidak semua sistem nilai dan budaya yang dikampanyekan oleh
sosok Lady Gaga memiliki dampak negatif bagi perkembangan budaya Indonesia,
yang mengandung banyak kearifan lokal (local
wisdom).
Namun,
rasa terancam dan kekhawatiran akan lunturnya nilai-nilai budaya nasional jelas
terus kian meningkat. Indonesia tampak masih berada dalam tahap “keterpesonaan“
menyaksikan dan menerima invansi budaya, sistem nilai, dan gaya hidup Barat.
Kebangkitan
Bangsa pada 20 Mei, harus menjadi momentum untuk membangun gerakan melawan
pengingkaran terhadap identitas bangsa. Ia harus menjadi spirit untuk
menggalang kesadaran bersama, membebaskan diri dari belenggu eksklusivisme dan
chauvinisme.
Nasionalisme
harus digelorakan kembali untuk mendamaikan berbagai elemen yang selalu
bertikai. Kristalisasi nasionalisme ini harus dipandang sebagai upaya untuk
memelihara kesetiaan, komitmen, emosi, serta rasa memiliki bangsa dan negara.
Ia harus diimplementasikan ke dalam bentuk cinta dan bangga kepada budaya
nasional.
Kasus
Lady Gaga harus diposisikan dalam kerangka membangkitkan semangat nasionalisme
bangsa ini. Kesadaran nasionalisme akan menjadi katalis bagi penolakan (negation) setiap budaya yang tidak
sesuai/buruk, pemaduan (integration)
budaya yang baik dan menghadirkan budaya baru (value addition) yang lebih baik dalam rangka melestarikan budaya bangsa.
Jika logika ini digunakan maka digelar atau tidak konser Lady Gaga tidak akan
memberikan pengaruh apa-apa.
Kegamangan
dan sentimen antarkelompok
pun menjadi tidak relevan lagi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar