BBM, Etika, dan Muslihat
Robertus Robet, Pengajar
Sosiologi Universitas Negeri Jakarta
SUMBER : KORAN TEMPO, 04 April 2012
Hiruk-pikuk pro dan kontra kenaikan harga
bahan bakar minyak sudah meredup dengan berakhirnya Sidang Paripurna DPR.
Setelah sidang yang penuh kekonyolan itu, tiap pihak berdiri dengan posisi
masing-masing, tetapi mengklaim "obyek" yang sama: rakyat! Yang
mengamati seluruh proses itu secara pintas lalu akan mendapat kesulitan untuk
memahami manakah posisi yang benar-benar, posisi rakyat itu. Oposisi yang
menentang rencana kenaikan harga BBM memompa suplemen "rakyat" melalui demonstrasi di
sekitar gedung DPR. Sedangkan pemerintah mendefinisikan rakyat itu melalui
argumen rasionalitas ekonomi tentang ancaman defisit dan beban anggaran.
Tulisan berikut ini tidak ingin terlibat dalam urusan benar-salah kenaikan
harga BBM. Ia hanya bermaksud menyoroti etika keterlibatan dalam pembuatan
keputusan publik.
Untuk memberikan refleksi etis mengenai soal
itu, mari kita petakan terlebih dulu para "pihak" yang terlibat. Secara sederhana, dalam sudut pandang
nalar politik dan kepantasan-kepantasan di dalamnya, pembelahan posisi dalam
kenaikan harga BBM mestinya terbagi atas dua pihak.
Pertama, pemerintah, yakni gabungan
partai-partai koalisinya dalam Sekretariat Gabungan (Demokrat, Golkar, PKS,
PAN, PPP). Setiap pihak dalam Setgab harus dilihat sebagai pemerintah. Mereka
harus diasumsikan berposisi mendukung kebijakan pemerintah, mengingat mereka
semua adalah anggota atau bagian dari pemerintahan dengan jatah kursi kabinet
masing-masing. Atau, setidaknya, sebagai pemerintah, mereka akan keluar dengan
satu posisi yang sama.
Kedua, pihak yang menentang kenaikan harga
BBM, yakni semua partai "oposisi" di DPR (PDIP, Hanura, Gerindra),
yang mestinya bisa keluar dengan posisi yang berbeda-beda, mengingat oposisi
bisa saja memiliki pandangan dan perspektif yang berbeda soal BBM. Tetapi
ternyata secara sederhana mereka mengambil satu posisi yang sama: menolak
kenaikan harga BBM.
Persoalan etis muncul dalam ketidaksinkronan
antara tindakan dan keputusan yang diambil oleh masing-masing pihak dari dua
kubu yang berbeda dengan posisi asalinya. Mari kita mulai dari pihak oposisi.
Pada 10 Januari 2012, dalam sebuah
kesempatan, sebagaimana dicatat berbagai media, pemimpin PDIP, Megawati,
menekan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Argumen Megawati pada waktu
itu--secara ironis--sama dengan argumennya sekarang ketika menolak kenaikan
harga BBM. BBM harus naik karena, kata Megawati, "harus dilihat dari realitas
internasional, karena masalah energi benar-benar menyentuh rakyat" (Tempo.co,
10 Januari 2012). Dengan berpegang pada posisi itu, logisnya Megawati dan
Fraksi PDIP dalam voting minggu lalu ada di samping Demokrat dan tidak
perlu ngeloyor keluar ruang sidang (WO). Sebab, bukankah mereka sendiri
paham benar bahwa harga BBM mesti naik?
Megawati mungkin bisa berkilah dengan
retorika ringan bahwa dia berubah "demi
rakyat". Akan tetapi, bagi
kalangan mereka yang serius berpolitik, gonta-ganti keputusan publik yang
demikian strategis dan penting di waktu yang demikian dekat sungguh di luar
"perhitungan" masuk akal.
Persoalan yang sama berlaku pada anggota
kompartemen kubu Setgab. Sikap yang secara etis paling ganjil dipertontonkan
oleh PKS. PKS adalah bagian dari pemerintahan. Mereka adalah bagian dari
kekuasaan, dan hal itu dimanifestasikan dengan posisi menteri-menteri mereka di
dalam kabinet. Dengan posisi itu, mestinya PKS jelas harus berada dalam posisi
pemerintah. Merekalah yang mestinya paling depan bersama Demokrat mengatakan
"setuju kenaikan harga BBM".
Yang terjadi, justru di luar kepatutan: kita ketahui bersama bahwa PKS bersuara
sama dengan kubu non-Setgab.
Pertanyaannya: apakah sebagai anggota Setgab
dan bagian dari kekuasaan, PKS tidak boleh berposisi berbeda dengan
Demokrat/pemerintah? Jawabannya, ya, tentu saja PKS boleh berposisi berbeda
dengan pemerintah! Tetapi posisi itu mestinya disampaikan secara tegas dan
jernih dalam forum Setgab terlebih dulu. Apabila di dalam Setgab ternyata
posisi PKS dan posisi Setgab masih berbeda, maka PKS secara fair dan
penuh integritas boleh mengatakan: kami keluar dari Setgab karena kami menolak
kenaikan harga BBM! Dengan demikian, publik mendapat gambaran yang jelas dan
politik menjadi berharga karena menjadi arena yang terang-benderang bagi
keteguhan posisi dan harga diri. Selain itu, kejelasan posisi di dalam Setgab
bisa menjadi cermin bagi pemerintah untuk mengukur posisi dan menilai koalisi,
sebelum semuanya masuk ke Sidang Paripurna DPR.
Soal ketiga adalah posisi Golkar yang
dianggap sebagai partai paling berpengalaman dalam bermanuver. Golkar adalah
representasi pemerintah dan kekuasaan yang terbesar setelah Demokrat, ia
menjadi penentu dari suara Setgab. Karena itu, mestinya ia menjadi partai yang
ikut memikul tanggung jawab paling berat untuk melancarkan kebijakan
pemerintahan. Bukankah pemerintah SBY adalah pemerintahan Golkar juga? Tetapi
godaan popularitas yang muncul dari politik ekstra-parlementer rupanya juga
menarik perhatian Golkar dan menghasilkan posisi yang ganjil.
Golkar menolak kenaikan harga BBM tapi
mendukung opsi 2, yang artinya: Golkar menolak kenaikan harga BBM 1 April tapi
menerima kenaikan harga BBM setelahnya. Posisi menolak tapi menerima Golkar ini
pada akhirnya memang tetap "memenangkan"
kebijakan Setgab, tapi dipandang kurang bernilai oleh kubu di sebelah sana.
Yang menjadi masalah dari posisi Golkar itu adalah, kalau memang Golkar
memiliki perhitungan ekonomi sendiri yang berbeda dengan posisi pemerintah,
mengapa soal itu tidak dibereskan lebih dulu di forum Setgab? Sehingga, ketika
masuk ke paripurna, mereka masuk sudah dalam satu posisi? Selain itu, kalau
memang basisnya adalah perhitungan ekonomi yang rasional, mengapa tidak
disajikan secara terbuka dan jelas sebelum paripurna? Absennya keterbukaan dan
kejujuran inilah yang kiranya menyeret analisis banyak orang bahwa keputusan
soal kebijakan harga BBM didominasi oleh motif-motif abu-abu.
Yang terakhir tentang posisi Demokrat.
Demokrat mengambil posisi yang konsisten total mendukung kebijakan SBY-Boediono
menaikkan harga BBM. Sayangnya, kebijakan itu dieksekusi dalam situasi di mana
legitimasi politik Demokrat sedang dilanda krisis. Pada saat yang sama, dari
pengalaman di masa lalu, isu BBM selalu menjadi isu yang mudah menyulut mobilisasi
dan protes. Keadaan inilah yang kiranya dibaca oleh kekuatan-kekuatan politik
oposisi dan-ironisnya--partai-partai di sekitar pemerintah sendiri, untuk
dimanfaatkan demi investasi politik 2014 maupun untuk menaikkan posisi tawar.
Kelemahan Demokrat dalam mengelola dukungan
publik, ketegasan dalam memangkas masalah-masalah krusial seperti soal korupsi
di dalam partai, kurangnya respons terhadap jeritan kelompok minoritas yang
terus menjadi korban kekerasan, menghadirkan Demokrat yang lemah di mata
pesaingnya. Inilah yang menghasilkan ganjalan dan kesulitan dalam melancarkan
kebijakan yang paling rasional sekalipun di legislatif.
Meski demikian, pada akhirnya, apabila
dipandang dari sudut etika, lepas dari segala kelemahan dan persoalannya, harus
dikatakan bahwa satu-satunya pihak yang jujur dalam drama kenaikan harga BBM
ini adalah pemerintah. Dari sudut pandang etika, pemerintah telah secara
terbuka dan terang-benderang menjelaskan posisinya serta argumen-argumen
kebijakannya kepada publik dan bertahan dengan posisi itu hingga titik akhir
voting di DPR. Kejelasan inilah yang memungkinkan publik memahami, sehingga
bisa memilih untuk menerima atau menolak!
Bayangkan musibah logika apa yang bakal
terjadi sekiranya SBY--demi mengambil hati demonstran--di saat-saat genting
sidang paripurna itu berbelok mengambil posisi yang sama dengan PKS dan
Megawati? Yang tidak logis bisa bertransformasi menjadi yang tidak etis. Lepas
dari berbagai kritik, kejujuran SBY untuk kebijakan kenaikan harga BBM telah
membantu publik untuk memahami sesuatu, setidaknya memahami kelemahan dari
kebijakan itu sendiri. Moga-moga, dengan modal itu, pemerintah bisa bekerja
lebih keras untuk menyentuh aspek fundamental dari krisis energi ini: percepat
konversi energi, reformasi transportasi publik, dan inovasi energi alternatif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar