Jurnalisme Perang BBM
Ignatius Haryanto, Direktur
Eksekutif LSPP, pernah menerjemahkan buku panduan Jurnalisme Damai karya
Annabel McGoldrick dan Jake Lynch, 2001
SUMBER : KORAN TEMPO, 04 April 2012
Akhirnya kita menyaksikan bagaimana keputusan
pemerintah menunda kenaikan harga bahan bakar minyak akibat minimnya dukungan
dari para fraksi di DPR. Lepas dari bagaimana dukungan dan penolakan berevolusi
dengan sangat cepat di gedung parlemen, lewat stasiun televisi yang ada kita
melihat fenomena yang terjadi dalam dua dunia yang seolah berseberangan:
bagaimana konflik dan pertarungan politik terjadi dalam persidangan di DPR, dan
bagaimana konflik yang terjadi di luar gedung DPR: para mahasiswa dan buruh
berhadapan dengan aparat keamanan.
Bagaimanapun, apa yang telah ditampilkan
ini--dan mungkin masih akan tampil lagi dalam hari-hari atau minggu-minggu
berikutnya--menunjukkan betapa ideologi jurnalisme perang masih lebih mengemuka
dan dipercayai oleh para praktisi media di Indonesia. Dalam dua dunia yang
terpisah itu kita melihat jurnalisme perang tampil dalam menampilkan fenomena
dua dunia tersebut.
Penonton televisi melihat bagaimana
sesungguhnya perilaku para anggota Dewan yang perlahan-lahan beringsut untuk
meninggalkan pemerintah dan Partai Demokrat sebagai representasinya, dengan
segala argumentasi yang dibalut secara canggih. Ujungnya tak lebih dari sekadar
merepresentasikan kepentingan politik masing-masing fraksi, dan untuk itu
mereka sama-sama mengklaim telah mewakili kepentingan rakyat yang luas.
Sementara itu, para penonton televisi pun
melihat bagaimana, di luar gedung Dewan, konflik dengan kekerasan terjadi (juga
di berbagai kota lain di mana aksi protes dan demonstrasi digelar) dengan lebih
brutal, lebih telanjang.
Jurnalisme Damai
Kita diingatkan lagi akan jurnalisme damai
terutama ketika Indonesia mengalami banyak konflik sosial pada akhir dekade
1990-an hingga pertengahan 2000-an. Berbagai daerah bergejolak, ribuan orang
meninggal akibat konflik di berbagai tempat, puluhan hingga ratusan ribu orang
kehilangan tempat tinggal, menjadi pengungsi, anak yang tidak bersekolah,
ibu-ibu yang terpaksa harus menghadapi aneka situasi tidak nyaman, serta
perasaan trauma yang didesak dalam-dalam pada tumpukan memori manusia.
Mengapa jurnalisme perang tidak dianjurkan
untuk menggambarkan situasi konflik sebagaimana ditampilkan dalam kekerasan
secara terbuka itu? Karena jurnalisme perang akan melihat fenomena yang ada tak
lebih dari suatu ajang pertarungan saja. Jurnalisme model begini hanya akan melihat
event tak lebih dari sekadar statistik (dua orang luka tertembak, 32
orang ditangkap, protes meluas di lebih dari 15 kota, dan lain-lain), ketimbang
melihat pada kedalaman atau bangunan besar konflik itu.
Pertama sekali kita harus membedakan antara
konflik dan kekerasan. Konflik adalah hal yang wajar dan selalu terjadi dalam
berbagai kehidupan manusia. Perbedaan kepentingan yang terjadi di antara
berbagai pihak menghasilkan konflik (dalam hal ini: mendukung atau menolak
kenaikan BBM). Namun apakah konflik harus diselesaikan dengan cara kekerasan?
Tidak. Penyelesaian konflik dengan cara kekerasan menunjukkan adanya kebuntuan
berpikir untuk tidak mengelola konflik secara lebih rasional, elegan, serta
cukup sabar untuk mencari titik-titik temu dari kepentingan yang berbeda.
Inti dari jurnalisme damai adalah melaporkan
suatu kejadian dengan bingkai yang lebih luas, yang lebih berimbang, lebih
dalam, dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan
perubahan yang terjadi karenanya.
Dalam konteks "perang BBM" di dua dunia tersebut (di dalam dan di luar gedung
parlemen), kita bisa melihat cara penyelesaian atas dua hal tersebut yang
berbeda-beda. Hingga lewat tengah malam, anggota DPR terus bersitegang untuk
memutuskan apakah DPR akan mendukung atau tidak mendukung kenaikan harga BBM.
Sedangkan di luar gedung DPR, demonstrasi berbagai kelompok masyarakat ditandai
dengan sejumlah perusakan: pagar dirobohkan, pagar penghalang jalan tol pun
dirobohkan, mobil yang hendak lewat pun diusir hingga mengakibatkan
kesemrawutan lalu lintas yang luar biasa.
Belakangan, pasukan keamanan pun membubarkan
para demonstran secara paksa dengan menembakkan gas air mata dan menembakkan
air ke arah ribuan mahasiswa dan buruh tersebut. Sejumlah televisi menampilkan
seluruh event tersebut secara langsung, dan para penonton pun seolah
diajak melihat pertunjukan realitas (show of reality) yang lebih dahsyat
daripada reality show mana pun di layar kaca.
Bahaya Siaran Langsung
Dua event tersebut ditampilkan dalam
cara yang real time, di mana saat peristiwa terjadi, pada saat yang sama
itulah para penonton televisi pun melihatnya. Tak ada editing, tak ada
sensor, tak ada suatu pembingkaian dan pemberian konteks yang lebih dalam.
Akibatnya, kekerasan yang terjadi ditonton tak ubahnya seperti menonton film
laga. Bedanya hanya satu: peristiwa yang ditampilkan adalah faktual.
Siaran langsung atas kekerasan seperti ini
seharusnya dipertimbangkan dengan lebih bijaksana. Apa yang hendak ditampilkan
sesungguhnya dari tayangan langsung atas kekerasan itu? Apakah ini sejenis sadomasochism,
yang gemar mengumbar hal-hal yang menunjukkan kekerasan via layar kaca?
Menurut pendapat saya, televisi tak perlu
menampilkan kekerasan-kekerasan yang terjadi itu secara langsung. Tayangan
seperti itu harus masuk proses editing. Tayangan tersebut tetap harus
diperiksa mana yang pantas dan tak pantas ditampilkan kepada publik lewat layar
kaca. Televisi tidak sedang dan tidak harus mempertontonkan kekerasan brutal
semacam itu, tetapi kembali menaruh semua peristiwa ini dalam konteks besarnya:
polemik naik atau tidak naiknya harga BBM. Orang tak lagi bicara tentang
bagaimana cara untuk menutup biaya subsidi pemerintah atas BBM. Orang tak lagi
bicara bagaimana cara efektif untuk meredam laju konsumsi yang makin tinggi.
Orang tak lagi bicara soal pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi yang tak
dikendalikan yang menjadi salah satu penyebab tingginya konsumsi BBM. Ke mana
hal ini semua hilang dari pembicaraan publik?
Hal-hal yang lebih esensial harus mendapat
tempat lebih strategis untuk dibahas agar memahami konteks masalah dengan lebih
jernih. Banyak perhitungan diajukan oleh berbagai pihak, namun mana
sesungguhnya yang lebih bisa dipercayai?
Siaran langsung yang ada--terutama yang
mengekspos soal kekerasan yang terjadi--menciutkan masalah menjadi seolah-olah
soal pertarungan semata mahasiswa-buruh versus aparat keamanan, Partai Demokrat
versus partai di luar Demokrat. Justru di sini masyarakat perlu diberi gambaran
yang lebih luas dan dalam agar menangkap esensi permasalahan yang ada. Tanpa
pendalaman semacam itu, kita akan terus berputar-putar dari satu kekerasan ke
kekerasan yang lain, tanpa ada suatu ujung untuk mencari keutuhan gambaran yang
perlu kita miliki.
Bahwa masyarakat atau penonton memang ingin
tahu ihwal perundingan yang terjadi di DPR, hal itu benar belaka. Namun,
bagaimanapun, para pengelola televisi harus cukup bijak untuk tetap punya visi
jelas. Televisi tidak sedang mempromosikan konflik dengan kekerasan, namun
konflik yang ada harus menemukan titik-titik temu dialog. Tanpa hal itu, kita
akan masuk pada lingkaran banalitas kekerasan. Kekerasan tidak lagi jadi
kepedulian kita, karena secara internal kita sudah selalu ada dalam spiral
kekerasan yang tak pernah henti. Kita tidak bangga jika terjebak pada spiral
kekerasan seperti itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar