All the President’s PR Men
Syafiq Basri Assegaff, Dosen
Komunikasi di Universitas Paramadina
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 04 April 2012
“Masyarakat di negara demokrasi tak bisa hanya
disuguhi berita yang sudah `disetir' dan tidak lagi menomorsatukan kepentingan
rakyat dengan mengedepankan masalah-masalah yang penting secara jujur dan penuh
integritas.”
PRESIDEN
perlu tim public relations (PR). Para
ahli public relations itu bukan
sekadar untuk mengelola komunikasi curahan hatinya secara lebih baik--sebagaimana
terjadi beberapa waktu lalu di Cikeas, Bogor, (Media Indonesia, 20 Maret 2012).
Kebutuhan akan adanya ahli PR itu makin hari makin mendesak, antara lain karena
adanya rencana penaikan harga BBM, berbagai kasus korupsi di Partai Demokrat,
peristiwa Mesuji dan Bima, dan maraknya premanisme--yang semua itu kita
khawatirkan mengganggu nama baik pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY).
Meski
popularitasnya masih berkisar 40%-50%, toh SBY tidak bisa tinggal diam saat
dirundung berbagai masalah yang tidak saja menggerogoti `citra' pemerintahannya di mata rakyat, tetapi juga bisa menurunkan
`reputasi' negara Indonesia di mata
dunia.
Nah,
demi reputasi itu, kebutuhan adanya tim PR tidak bisa dianulir oleh adanya juru
bicara Presiden dan berbagai menteri. Pemerintah dan khususnya Presiden tetap
memerlukan satu tim konsultan public
relations, PR men, yang bukan pejabat struktural dan bukan pegawai negeri
sipil.
PR
men ialah tim yang terdiri dari sejumlah orang yang bekerja secara mandiri,
yang fleksibel, bekerja 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu, tidak di bawah
salah satu menteri, dan hanya langsung melapor kepada Presiden. Juru bicara
tidak bisa melakukan itu, para menteri juga sulit mengerjakan tugas PR men.
Seandainya sekarang sudah ada tim serupa dipakai SBY, umpamanya, tim ini tetap
diperlukan, atau setidaknya mengoreksi status dan fungsi tim yang ada.
Bisa
saja tim PR ini sekaligus menjadi salah satu alat exit strategy yang efektif bagi SBY. Akan tetapi lebih dari itu,
tim ini sejatinya bertugas untuk pemerintah secara jangka panjang--berhubung
yang dibangun dan dipelihara adalah `reputasi' pemerintah dan negara di mata
rakyat Indonesia dan bangsa-bangsa lain d di dunia, bukan hanya citra pribadi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Penting
dicatat bahwa `reputasi' jauh lebih penting dan mendasar ketimbang `citra' (image) karena reputasi alias `nama baik' merupakan segala penilaian
seluruh audiens secara jangka panjang dan akumulatif, sedangkan `citra' sering kali hanya polesan
kosmetik yang bersifat temporer.
Komunikasi yang Terencana dan
Strategis
Di
bawah pimpinan seorang ahli komunikasi senior, PR men merencanakan dan
menerapkan semua strategi komunikasi bagi Presiden khususnya (dan bagi
pemerintah umumnya) dalam beberapa tahapan.
Tim
tadi awalnya menetapkan dan mengevaluasi sikap publik; mengidentifikasi
kebijakan dan semua prosedur yang berkaitan dengan kepentingan publik. Mereka
kemudian menyiapkan pengembangan serta eksekusi program komunikasi strategis
dan terencana, yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman dan penerimaan publik
atas segala kebijakan.
Tentu
saja tugas manajemen PR tersebut tidak mudah, tetapi itu sebuah kebutuhan yang
tidak bisa dihindari bila pemerintah ingin sukses dalam menciptakan kepercayaan
(trust) publik dan memperbaiki
reputasinya di mata khalayak di dalam negeri dan di seluruh dunia.
Bersamaan
dengan itu, fungsi PR tadi sesungguhnya juga bisa membantu marketing, misalnya
memberi alasan bagi investor asing (melakukan investasi) dan konsumen global
(untuk membeli produk kita)--berkat reputasi Indonesia di mata mereka. Namun
dalam fungsi konsultasi bagi lembaga kepresidenan itu, mereka mesti lebih
memerankan diri sebagai communication
strategist pemerintah, bukan sekadar `perekayasa
pesan' (atau spin doctor).
Memang
lazim bahwa petugas PR merekayasa pesan-pesan kunci, mengatur konferensi pers,
menyiapkan rilis, atau mengundang wartawan untuk meliput acara kepresidenan. Namun
bila hanya itu yang dilakukan, sama artinya dengan mengerdilkan fungsi PR yang
demikian penting.
Bahkan
di AS pun, petugas PR kepresidenan mulai mendapat tantangan baru. Sebagaimana
ditulis mantan wartawan The Washington
Post, Walter Pincus, para jurnalis dan editor media dianjurkannya untuk
tidak menyiarkan pernyataan presiden, kalau acara konferensi pers di Gedung
Putih hanya dirancang sebagai `alat PR'
dan tidak memberikan informasi baru atau bermanfaat bagi publik.
Lagi
pula, masyarakat di negara demokrasi tak bisa hanya disuguhi berita yang sudah
`disetir' dan tidak lagi
menomorsatukan kepentingan rakyat dengan mengedepankan masalah-masalah yang
penting secara jujur dan penuh integritas. Itu sebabnya banyak ahli PR tidak
setuju membantu penguasa tiran atau diktator-seperti Hosni Mubarak dan
Khadafi--untuk memperbaiki reputasi mereka di mata rakyat, sebab hal itu
dianggap melanggar etika atau integritas.
Setiap
ahli PR yang profesional selalu menekankan perannya sebagai penyusun strategi
komunikasi yang beretika. Mereka mesti menjaga dan terus meningkatkan
kredibilitas pemerintah dan melihat dampak komunikasi dalam proses manajemen
strategis kepresidenan, dengan cara mencermati (scanning) seluruh agenda, pendapat, dan perilaku para pengambil
keputusan dan orang-orang media, serta melibatkan diri dalam perbincangan
publik (termasuk di media sosial).
Untuk
itu, terdapat tiga pilihan bagi mereka. Pertama, pendekatan `reaktif ', yakni menunggu sampai ada
sesuatu yang perlu ditanggapi, yang lazimnya muncul akibat stimulasi oleh
pressure grup tertentu. Contoh sikap reaktif ialah saat DPR mengurungkan niat
mereka menggunakan kursi mewah sesudah ramai diprotes.
Berikutnya,
pendekatan proaktif. Itu sebuah approach
yang antisipatif saat sebuah organisasi menyesuaikan diri kembali setelah
memperkirakan tindakan apa yang akan dilakukan publik terhadap perubahan yang
akan terjadi.
Hal
tersebut kadang dilakukan lewat taktik `pengujian
air hangat'. Itu tidak masalah bila dilakukan perusahaan komersial,
misalnya dengan cara `menguping' apa
yang dibicarakan konsumen guna mencegah menyebarluasnya masalah di tengah
pasar. Namun bagi sebuah pemerintahan, taktik itu bisa membawa risiko
kehilangan kredibilitas karena dianggap labil atau plinplan.
Pilihan
terbaik ialah pendekatan interaktif, yang mengharuskan keterlibatan aktif di
tengah berbagai publik yang bisa memengaruhi masa depan lembaga pemerintah.
Jika menerapkan komunikasi dua arah yang baik dengan publik, pemerintah akan
dengan mudah mengidentifikasi sebuah masalah jauh sebelum ia terjadi.
Metode
terakhir ini jauh lebih efektif, berhubung PR men menjadi `telinga' dan `mata'
Presiden dan selalu `menghadirkan publik'
(yang diwakilinya) ke tengah permasalahan yang ada. Berkat komunikasi dua arah
dengan publik itu, PR men dapat menetapkan sasaran-sasaran strategis yang
terukur (measurable objectives)
sebagai dasar berbagai program komunikasi mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar