Mobil
di Jalan Politik Indonesia
Bandung Mawardi, PENGELOLA
JAGAT ABJAD SOLO
Sumber
: KORAN TEMPO, 11 Januari 2012
Kabar
itu datang dari Solo, Jawa Tengah. Joko Widodo selaku Wali Kota Solo ingin
mengendarai mobil bermerek Kiat Esemka hasil rakitan para siswa di Solo sebagai
mobil dinas. Pilihan ini hendak menunjukkan adab politik. Pesan Joko Widodo
eksplisit: mobil dinas tak mesti mahal dan mewah. Joko Widodo justru memilih
mobil seharga Rp 95 juta itu sebagai ejawantah kebersahajaan politik dan
penghormatan terhadap keringat kaum muda dalam menggerakkan impian teknologi.
Adab politik ini adalah tanda seru bagi mentalitas para elite politik saat
mendefinisikan mobil sebagai arogansi, sikap gila hormat, hedonisme.
Sejarah
(adab) politik di Indonesia memang identik dengan alat transportasi modern:
kereta api, sepeda motor, mobil. Arus politik di awal abad XX dipengaruhi oleh
mobil dan biografi elite politik. Mobil pun menjelma menjadi tanda kekuasaan.
Pembangunan jalan-jalan di pelbagai kota menjadi panggung kekuasaan. Elite
politik mengendarai mobil sebagai prosedur percepatan gerak, mobilitas gagasan,
dramatisasi ideologi, semaian “kemadjoean”. Mobil-mobil melintasi jalan sebagai
benda ajaib alias sihir modernitas. Mobil mengandaikan ada resapan rasionalitas
modern akibat kausalitas kolonialisme-kapitalisme. Kehadiran mobil-mobil di
Hindia Belanda adalah berkah-imperatif untuk laju politik (modern) dan arus
deras narasi kapitalisme.
Kita
bisa membuka halaman-halaman biografi Adam Malik berjudul Mengabdi Republik
(1978). Modernisasi di Pematang Siantar (Sumatera Timur) mengakibatkan derita
kaum kuli dan kemunculan golongan elite. Industri perkebunan oleh kolonial dan
elite lokal mengubah Pematang Siantar menjadi “Tanah Dolar”. Adam Malik
menganggap kondisi itu mempengaruhi usaha perdagangan si ayah. Keluarga Adam
Malik pun moncer sebagai keluarga elite. Adam Malik mengingat: “.. pada tahun 1928, satu-satunya orang
di seluruh Pematang Siantar yang mempunyai mobil sedan Buick adalah ayah saya.
Kekayaan dan kedudukan beliau cukup banyak dan tinggi untuk termasuk ‘golongan
elite’ di antara seluruh penduduk kota itu.” Mobil kentara menjadi representasi
kelas sosial elite dan menandai afirmasi gagasan modern di negeri jajahan.
Mobil
dalam biografi Adam Malik menandai laju ekonomi-politik di Sumatera. Mobil
mengandung makna pembedaan nasib, puja modernitas, eksistensi elite. Kisah di
Sumatera itu berbeda dengan pengisahan Ahmad Soebardjo saat kuliah dan
menggerakkan Perhimpunan Indonesia di Belanda (1920-an). Otobiografi Ahmad
Soebardjo berjudul Kesadaran Nasional (1978) mengenang babak historis
saat mendapati ilham tentang perlambang pergerakan nasionalisme. Ilham itu
mengacu ke mobil. Adegan menatap mobil justru menjadi titik mula manifestasi
gerakan nasionalisme Indonesia.
Alkisah,
Perhimpunan Indonesia diundang untuk mengikuti Kongres Mahasiswa Kristen di
Driebergen (Belanda). Sultan Hamengku Buwono XVII juga ikut datang ke kongres.
Adegan dramatis terjadi saat Sultan Hamengku Buwono XVII bergerak ke tempat
acara mengendarai mobil dengan iringan panitia. Rombongan Ahmad Soebardjo tepat
ada di belakang mobil Sultan Hamengku Buwono XVIII. Ahmad Soebardjo mengenang
bahwa, saat memandang mobil Sultan Hamengku Buwono XVII, tampak ada bendera
berlambang “gula kelapa” khas Yogyakarta. Konon, bendera bersejarah itu warisan
dari para penguasa Majapahit.
Ahmad
Soebardjo menatap bendera merah-putih itu dengan takjub. Bendera itu mengundang
memori perlambang politik bagi pribumi di Nusantara. Warna merah berarti
keberanian, dan warna putih berarti kesucian. Peristiwa dramatis itu diingat
oleh Ahmad Soebardjo dalam sederet kalimat: “Begitulah, timbul dalam pikiran
saya, menjadikan merah-putih sebagai lambang yang hidup bagi himpunan mahasiswa
kami, dalam bentuk lencana dari perhimpunan.” Ilham itu kelak disepakati dalam
rapat Perhimpunan Indonesia dengan penambahan gambar kepala kerbau di tengah
merah-putih. Ilham politik itu mengikutkan narasi mobil.
Dua
kisah mobil dalam biografi Adam Malik dan Ahmad Soebardjo turut menentukan
pengertian-pengertian kita tentang mobil dalam arus (sejarah) politik
Indonesia. Kapitalisme perkebunan telah melahirkan elite. Kelas ini memaknai
diri dalam bingkai ekonomi-politik di masa kolonialisme dengan mobil. Kita juga
mendapati jejak-jejak historis perlambang merah-putih sebagai manifestasi
nasionalisme saat Ahmad Soebardjo mendapati ilham di mobil Sultan Hamengku
Buwono XVIII. Barangkali ini dua cerita kecil untuk Indonesia, meski jarang
tercantum di buku besar sejarah. Mobil memang menandai lakon
kolonialisme-kapitalisme dan modernitas, tapi bisa ditafsirkan dalam bingkai
nasionalisme, “kemadjoean”, dan adab politik.
Mobil
adalah juru bicara arus modernitas di Indonesia. Rudolf Mrazek (2006)
mengabarkan ada 51.615 mobil di Hindia Belanda pada tahun 1938. Indonesia
melaju dengan mobil. Angka ini lekas melonjak fantastis saat abad XXI diartikan
sebagai “zaman mobil”. Jalan macet, dilema parkir, nafsu konsumerisme, arogansi
politik, puja hedonisme seolah jadi narasi mobil di Indonesia. Mobil telah
merepotkan Indonesia. Mobil telah mengangkut pengertian politik kotor karena
mobil dijadikan ikon korupsi. Mobil juga telah mengisahkan keruntuhan etika
publik dari kalangan elite dan parlemen. Para elite dan kaum borjuis mengoleksi
mobil sebagai ritus hedonisme. Mobil adalah ironi Indonesia.
Semua
lakon mobil itu mendapat imbuhan dari simbolisme politik mobil ala Joko Widodo.
Mobil itu representasi adab politik. Joko Widodo hendak mengucapkan
kebersahajaan dalam menjalankan amanah rakyat tanpa kegenitan dan kemewahan.
Eksistensi diri sebagai pejabat diartikan sebagai acuan “meladeni” dan
“mengerti”. Simbolisme mobil ala Joko Widodo pun mengejek ulah elite politik di
Indonesia. Mobil-mobil mahal para elite politik adalah kemubaziran uang rakyat.
Laju kencang mobil para pejabat di jalan adalah kesombongan dan teror politik.
Semua ini ditampik oleh adab politik ala Joko Widodo. Mobil justru mengandung
arti kebersahajaan, kepatutan, dedikasi, integritas demi misi meladeni rakyat. Begitu.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar