Mobil
Esemka dan Mentalitas Bangsa
Heppy Trenggono, PEMIMPIN GERAKAN BELI INDONESIA
Sumber
: KOMPAS, 11 Januari 2012
Beberapa teman bertanya, pak apa yang harus
kita lakukan untuk mendorong agar isu tentang mobil Esemka ini jadi produktif?
Saya katakan, order mobilnya biar semua jadi semangat!
Ketika isu ini muncul, sebagian besar
berkomentar mendukung. Hanya satu-dua pejabat yang agak sinis. Namun, yang
ingin saya garis bawahi dalam kasus ini adalah berkembangnya pembicaraan yang
tidak terarah.
Banyak pertanyaan seputar teknis, seberapa
besar komponen yang dikandung? Apakah ini rakitan atau buatan sendiri?
Bagaimana dengan lisensinya, apakah layak digunakan atau tidak?
Inilah persoalan besar bangsa kita hari ini.
Kita tidak mampu menangkap substansi dari apa yang terjadi di negeri kita. Saya
menyampaikan kepada teman– teman, termasuk pers, agar persoalan teknis dalam
kasus ini tidak dikuliti lebih dalam. Mengapa? Karena begitu kita
memperbincangkan persoalan teknis mobil Esemka, akan ada seribu alasan masuk
akal untuk kita tidak menggunakannya.
Jangankan mobil Esemka yang jelas-jelas
produk yang membutuhkan teknologi. Air minum isi ulang pun, produk nyaris tanpa
teknologi, pernah ramai-ramai kita jauhi karena sebuah institusi pendidikan
tinggi negeri pada saat itu membeberkan secara heroik bahwa air minum isi ulang
mengandung bakteri ini dan itu. Saya baru tahu belakangan bahwa riset itu
disponsori oleh perusahaan air minum dalam kemasan milik asing, yang hari ini
menguasai pangsa pasar terbesar di Indonesia.
Soal
Mentalitas
Bagi bangsa Indonesia, masalah sesungguhnya
yang sedang dihadapi sama sekali bukan masalah teknis. Apakah bangsa kita bisa
membuat produk atau tidak, apakah produk bangsa Indonesia bisa bersaing secara
kualitas atau tidak, apakah harganya lebih murah atau tidak, itu semua masalah
teknis! Persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia hari ini—sehingga produk kita
tidak ada di pasar sehingga bangsa kita miskin—adalah persoalan mentalitas.
Mentalitas pembelaan terhadap produk bangsa kita sendiri! Kita belum bisa
membedakan produk mana yang seharusnya dibela, apakah produk bangsa sendiri
atau produk bangsa lain.
Coba lihat bagaimana sebuah BUMN, seperti PT
Merpati Nusantara, dengan gagah berani membela pesawat buatan China yang tidak
berlisensi, padahal kita sendiri mampu membuat pesawat. Juga lihat bagaimana
institusi pendidikan tinggi negeri yang pernah memublikasikan hasil risetnya
tentang air isi ulang dan meruntuhkan pengusaha-pengusaha kecil di negeri kita
sendiri, pada kesempatan lain, berperilaku membingungkan dengan mati-matian
menutup rapat identitas perusahaan asing dan merek produk asingnya ketika riset
mereka menemukan bahwa produk-produk susu yang diproduksi oleh perusahaan asing
tersebut berbakteri dan sangat merugikan masyarakat.
Tidak jelas apa yang dibela! Itulah substansi
dari permasalahan bangsa kita. Ketidakberdayaan produk dalam negeri hanyalah
sebuah indikasi dari pembelaan yang tak terjadi di negeri ini. Kita belum bisa
memahami bahwa produk asing artinya ekonomi asing, produk Indonesia adalah
ekonomi Indonesia.
Pembangunan industri di negeri kita kedodoran
setengah mati karena produk anak-anak kita tak dibela di negeri sendiri. Pasar
yang sangat besar tidak memberikan makna bagi kemajuan ekonomi bangsa kita
sendiri.
Membangun industri tidak bisa dimulai dari
industri itu sendiri karena industri tidak menentukan pasar, tetapi pasar yang
menentukan industri. Produk tidak bisa mendikte pelanggan. Pelangganlah yang
mendikte produk.
Kalau bangsa Indonesia tidak mau menggunakan
produk milik bangsa sendiri, produk dalam negeri akan runtuh. Itulah yang
terjadi hari ini sehingga jumlah pengusaha di Indonesia sangat kecil: hanya
0,28 persen (China 6 persen, Amerika Serikat 11 persen, Singapura 9 persen).
Kesediaan Wali Kota Solo menggunakan mobil
dinas buatan SMK adalah contoh konkret bagaimana seharusnya seorang wali kota
bersikap terhadap produk anak bangsanya. Jelas apa yang dibela! Bukan
pertanyaannya apakah mobil tersebut layak atau tidak. Pertanyaannya: mau pakai
atau tidak!
Jika minggu-minggu ini kita mendengar wali
kota tersebut dengan mobil Esemka-nya, beberapa minggu yang lalu kita mendengar
Gubernur Jawa Timur menolak beras impor untuk masyarakat miskin. Kita juga
mendengar beberapa bulan yang lalu Gubernur Jawa Barat melarang semua staf di
lingkungan pemda menggunakan sepatu impor. Bahkan, beliau menghukum mereka
dengan push up 200 kali jika ketahuan menggunakan sepatu impor. Beberapa hari
yang lalu, Bupati Kulon Progo menyatakan gerakan ”Beli Kulon Progo”, dan setiap
hari mengampanyekan agar masyarakat Kulon Progo menggunakan produk-produk Kulon
Progo sendiri untuk membangkitkan ekonomi daerahnya.
Pada sisi lain, kita sedih mendengar petani
kentang di Dieng tidak bisa menjual kentang karena dihajar kentang impor yang
harga jualnya Rp 2.750 per kg, jauh lebih rendah daripada ongkos produksi
mereka. Petani bawang di Brebes bergelimpangan karena bawang dari China
membanjiri pasar bak air bah dengan harga yang juga tidak kalah murahnya.
Demikian juga petani garam, nelayan, dan pedagang ikan. Mereka yang dulu
mandiri secara ekonomi kini menghadapi serangan gelombang kemiskinan baru di
negeri ini.
Siasati
dengan Cerdas
Kesadaran tentang ”apa yang kita bela”
sepertinya sedang terjadi pada beberapa pemimpin di daerah yang setiap hari
melihat keadaan ekonomi rakyatnya. Namun, kesadaran setara justru belum kita
lihat secara nyata pada pemerintah pusat yang sedang sibuk berbicara tentang
pertumbuhan 6,5 persen meskipun lupa menunjukkan di mana dan siapa yang
bertumbuh. Sebab, kita tahu petani sedang bertumbangan, bukan sedang bertumbuh.
Pasar bebas jelas bukan segala- galanya. Juga
bukan sesuatu yang membuat kita tak berkutik. Pasar bebas bisa disiasati dengan
cerdas. Artinya, tidak membiarkan produk asing masuk begitu saja tanpa strategi
sehingga menghancurkan produk anak-anak bangsa sendiri.
Jadi, kalau standar pembelaan seorang wali
kota adalah mobil Esemka, standar pembelaan direksi BUMN, seperti PT Merpati
Nusantara, adalah membeli pesawat dari IPTN. Demikian juga dengan Pertamina,
Telkom, dan BUMN lain yang seharusnya mengutamakan pemasok dan produk anak
bangsa sendiri.
Standar pembelaan menteri adalah tidak
menjual BUMN atau go public, tetapi mencegah dan melindungi pasar dalam negeri
dengan segala cara dari serangan arus barang impor, menggunakan
sebesar-besarnya anggaran pembelian untuk produk anak bangsa sendiri. Sementara
standar pembelaan seorang presiden adalah mengembalikan Freeport, mengembalikan
tambang-tambang minyak dan gas yang sudah lama diserahkan kepada asing agar kembali
kepada bangsa sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar