Jalan
Keluar Konflik Agraria
Sidik Suhada, KETUA
DPN REPDEM BIDANG PENGGALANGAN TANI,
AKTIVIS KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA (KPA)
Sumber
: SINAR HARAPAN, 11 Januari 2012
Tanggal 12 Januari besok, ribuan petani dari
berbagai daerah akan aksi turun jalan. Mereka mendatangi Istana Presiden dan
Gedung DPR untuk menuntut penyelesaian konflik agraria yang kian marak terjadi
di negeri ini.
Di Senyerang, Kabupaten Tanjungjabung Barat,
Jambi, lebih dari 1.000 petani masih menduduki lahan yang dirampas perusahaan
bisnis pengelola Hutan Tanaman Industri (HTI).
Dalam kasus ini, seorang petani bernama Ahmad
Adam Syafri (38) tewas tertembus peluru yang dilepaskan pasukan Brimob, Polda
Jambi, November 2010. Namun, konflik agraria yang sudah berlangsung sejak 2001
ini belum juga terselesaikan hingga kini.
Cara-cara kekerasan dalam penyelesaian
konflik agraria memang masih sering digunakan aparat kepolisian. Terakhir kasus
Mesuji di Lampung dan Sumatera Selatan, serta di Bima NTB yang juga menewaskan
petani.
Karena itu, sejumlah kalangan pun mendesak
pemerintah segera melaksanakan pembaruan agraria dan membentuk lembaga
percepatan penyelesaian konflik agraria. Ini karena akar masalah dari semua
konflik tersebut sebenarnya adalah soal agraria.
Sumber-sumber agraria (bumi, air, dan
kekayaan alam lainnya) yang ada di Indonesia yang seharusnya dikuasai
sepenuhnya oleh negara untuk kesejahteraan rakyat ternyata banyak yang dikuasai
segelintir orang.
Konsentrasi kepemilikan, penguasaan, dan
pengusahaan sumber-sumber agraria, baik tanah, hutan, maupun tambang, hanya ada
di tangan segelintir pemilik korporasi besar sehingga melahirkan ketimpangan
dan kemiskinan di kalangan rakyat yang menjadi kaum mayoritas.
Semangat UUPA
Salah satu semangat Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 sebenarnya untuk mengakhiri praktik-praktik
monopoli hak penguasaan tanah yang dapat melahirkan ketimpangan.
Karena itu, secara umum tujuan utama UUPA
adalah (1) pembaruan hukum agraria kolonial (Agrarische wet 1870) menuju
hukum agraria nasional; (2) menjamin kepastian hukum; (3) mengakhiri kemegahan
modal asing dengan cara menghapus hak asing dan konsesi kolonial atas tanah di
Indonesia; (4) mengakhiri penghisapan feodal dan perombakan struktur penguasaan
tanah timpang; (5) mewujudkan implementasi Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi,
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Namun, setelah Soeharto berhasil melakukan
kudeta tahun 1965 dan berhasil melahirkan kekuasaan Orde Baru, semangat dan
tujuan UUPA diselewengkan. Meski undang-undang itu tidak pernah dicabut, hingga
saat ini juga tidak pernah dijalankan.
Dalam mengelola pertanian, perkebunan, hutan,
dan tambang misalnya, pemerintah lebih suka mengutamakan agar dikelola
pengusaha ketimbang rakyat. Berbagai fasilitas kemudahan dan regulasi dibuat
semata-mata hanya untuk melayani kepentingan modal agar dapat mengeruk semua
kekayaan alam, serta sumber-sumber pokok agraria lainnya dibawa ke luar negeri.
Badan Percepatan
Untuk dapat mempercepat proses pelaksanaan
pembaruan agraria, pemerintah harus segera membentuk badan atau komite khusus
pelaksanaan percepatan reforma agraria. Badan atau komite ini langsung dipimpin
presiden.
Dasarnya, Tap MPR No IX/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah memberikan mandat
jelas pada Presiden dan DPR, yakni (1) menjalankan pembaruan agraria dan (2)
menegakkan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dan
berkelanjutan.
Sebagai arahan kebijakan, TAP MPR ini
menghendaki: (1) dilakukan peninjauan kembali segala perundangan-undangan dan
peraturan di bidang agraria yang selama ini sifatnya sektoral, tumpang tindih,
dan tidak mengandung semangat untuk mengedepankan kepentingan rakyat banyak
dalam hal penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan tanah, dan sumber daya alam
lainnya; (2) dilakukannya penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan yang lebih dikenal dengan istilah land
reform, sekaligus dilakukan pendataan dan inventarisasi tanah untuk
kepentingan land reform ini; (3) diselesaikannya konflik-konflik agraria
dan pengelolaan sumber daya alam dengan berpegang pada prinsip menjunjung
tinggi hak asasi manusia, termasuk memperkuat kelembagaan yang akan bertugas
melaksanakan penyelesaian sengketa-sengketa ini; dan (4) mengupayakan
pembiayaan bagi program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik
agraria maupun dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sebagai badan percepatan pelaksanaan reforma
agraria, lembaga ini hanya bersifat sementara. Jika pelaksanaan pembaruan
agraria sudah selesai, badan ini dapat dibubarkan karena tugas dan masa
kerjanya sudah selesai.
Tugas pokok badan percepatan pelaksanaan
reforma agraria: pertama, mendata dan memverifikasi kasus-kasus konflik
agraria, baik kasus yang diadukan kelompok petani ataupun yang diprediksi dapat
melahirkan konflik agraria, termasuk kasus-kasus lama yang belum terselesaikan
hingga saat ini.
Kedua, membuat dan menyampaikan
rekomendasi penyelesaian kasus-kasus konflik agraria tersebut kepada para pihak
yang terlibat di dalam konflik. Ketiga, memfasilitasi penyelesaian
konflik melalui mediasi, negosiasi, dan arbitrasi.
Keempat, menyusun rancangan
peraturan perundang-undangan dan kelembagaan (pembentukan pengadilan khusus
agraria) untuk penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria.
Kelima, melakukan
sosialisasi, koordinasi, dan kerja sama dengan badan-badan pemerintah maupun
non-pemerintah dalam rangka pencapaian tujuan utama dari pelaksanaan pembaruan
agraria. Keenam, menetapkan dan merencanakan tata guna tanah sebagai
basis utama pembangunan nasional.
Tata guna tanah ini meliputi (1) di mana dan
berapa luas areal kawasan hutan yang harus dilestarikan, (2) di mana dan berapa
luas area perkebunan dan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional,
(3) serta di mana dan berapa luasan area tambang.
Penetapan tata guna tanah ini selain penting
sebagai basis utama pembangunan nasional ke depan, juga penting untuk
menghindari gesekan dan sengketa tanah yang selama ini marak terjadi.
Semoga ke depan tidak ada lagi konflik
agraria yang selalu memakan korban jiwa. Tidak ada lagi pembantaian kaum tani
yang sedang berjuang mendapatkan hak atas kepemilikan tanah, dan tidak ada lagi
perampasan tanah secara sewenang-wenang yang dilakukan para pengusaha.
Ini karena pembaruan agraria diletakan
sebagai basis utama konsep pembangunan nasional, sebagaimana amanat Pancasila,
UUD 1945, dan UUPA, yang sudah dipikirkan secara mendalam oleh para perintis
dan pendiri NKRI ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar