Mengubah
Paradigma Pendidikan Agama
M. Agus Nuryatno,
DOSEN
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN,
UIN
SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA
Sumber
: KOMPAS, 13 Januari 2012
Pluralisme adalah sebuah fakta sejarah. Tidak
dapat dimungkiri dan diingkari oleh siapa pun.
Kemajemukan adalah kehendak Tuhan agar
manusia saling menyapa, mengenal, berkomunikasi, dan bersolidaritas. Pada zaman
kontemporer saat ini sulit dicari satu negara dengan agama yang homogen.
Umumnya heterogen dengan tingkat yang berbeda-beda.
Kemajemukan pada tingkat agama ini masih
ditambah lagi kemajemukan pada wilayah tafsir agama. Tidak mengherankan jika
banyak mazhab, sekte, atau aliran dalam agama apa pun. Semua ini akibat
perbedaan kapasitas dan kemampuan berpikir masing-masing orang, perspektif,
ataupun pendekatan.
Pertanyaannya: model pendidikan agama macam
apa agar melahirkan pribadi-pribadi yang toleran, inklusif, humanis, dan
meneguhkan spirit pluralisme dan multikulturalisme? Pendidikan agama yang
diidealkan adalah pendidikan agama yang tidak doktriner sehingga tak
memunculkan klaim-klaim kemutlakan. Ketika ruang perbedaan dan perubahan dalam
agama telah dimatikan oleh sikap fanatik dan eksklusif, agama jadi
antirealitas. Namun, justru sikap-sikap fanatik dan eksklusif ini dilahirkan
oleh pendidikan agama.
Tak mengherankan jika pendidikan agama
dikritik antirealitas. Pendidikan agama dianggap kurang mengakomodasi realitas
keberagamaan intra dan antarumat beragama, serta justru cenderung melahirkan
eksklusifisme keberagamaan.
Model
pendidikan agama
Untuk menjawab model pendidikan agama seperti
apa yang memungkinkan melahirkan pribadi yang toleran, penting untuk
mempertimbangkan model-model pendidikan agama yang dikembangkan Jack Seymour
(1997) dan Tabita Kartika Christiani (2009). Mereka menjelaskan model-model
pendidikan dan pengajaran agama, yaitu in, at, dan beyond the wall.
Pendidikan agama in the wall berarti hanya
mengajarkan agama sesuai agama tersebut tanpa dialog dengan agama lain. Model
pendidikan agama seperti ini berdampak terhadap minimnya wawasan peserta didik
terhadap agama lain, yang membuka peluang terjadinya kesalahpahaman dan
prejudice. Model pendidikan agama in the wall juga dapat menumbuhkan
superioritas satu agama atas agama yang lain sehingga mempertegas garis
demarkasi antara ”aku” dan ”kamu”, ”kita” dan ”mereka”.
Sikap toleransi, simpati, dan empati terhadap
mereka yang beda agama sulit ditumbuh-kembangkan dari model pendidikan agama
seperti ini. Model pendidikan semacam ini memosisikan agama lain atau penganut
agama lain sebagai the others, ”yang lain”, yang akan masuk neraka karena
dianggap kafir. Inilah bentuk truth claim yang berdampak pada monopoli Tuhan
dan kebenaran. Seakan-akan kebenaran dan Tuhan hanya milik individu atau
kelompok agama tertentu.
Model keberagamaan seperti ini pada
gilirannya berkontribusi dalam menanamkan benih-benih eksklusivisme
keberagamaan yang berpotensi memicu konflik dan kekerasan atas nama agama.
Ironisnya, model pendidikan agama in the wall inilah yang kini mendominasi
pendidikan agama di Tanah Air.
Paradigma pendidikan agama at the wall tidak
hanya mengajarkan agama sendiri, tetapi sudah mendiskusikannya dengan agama
yang lain. Tahap ini merupakan tahap transformasi keyakinan dengan belajar
mengapresiasi orang lain yang berbeda agama dan terlibat dalam dialog antaragama.
Sementara pendidikan agama beyond the wall
tak sekadar berorientasi untuk berdiskusi dan berdialog dengan orang yang
berbeda agama. Namun, lebih dari itu mengajak peserta didik dari beragam agama
untuk bekerja sama mengampayekan perdamaian, keadilan, harmoni, dan pelibatan
mereka dalam kerja-kerja kemanusiaan. Semua itu untuk menunjukkan, musuh agama
bukan pemeluk agama yang berbeda, melainkan kemiskinan, kebodohan, kapitalisme,
kekerasan, radikalisme, ketidakjujuran, korupsi, manipulasi, kerusakan lingkungan,
dan seterusnya.
Model pendidikan agama seperti ini juga untuk
menunjukkan semua agama mengajarkan kebaikan, dan bahwa agama adalah untuk
kebaikan manusia sesuai misi profetiknya. Maka, pendidikan agama yang saat ini
cenderung eksklusif karena hanya mengajarkan agama sendiri (in the wall) perlu
digeser ke arah inklusif dengan model at dan beyond the wall. Peserta didik
tidak hanya kenal agama sendiri, tetapi juga bersentuhan dengan agama lain
untuk melintasi tradisi lain dan kemudian kembali kepada tradisi sendiri.
Maka, pertanyaan selanjutnya: mungkinkah
guru-guru agama kita mau dan sukarela mengajak peserta didik bekerja sama
dengan siswa lain yang berbeda agama memerangi musuh utama agama, yaitu
penindasan, kekerasan, kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan kerusakan
lingkungan? Mari kita belajar bersama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar