Politisasi
Hak Ulayat
Bambang Sadono,
PENGAJAR
HUKUM AGRARIA FH UNIVERSITAS SEMARANG
Sumber
: KOMPAS, 13 Januari 2012
Sikap perundang-undangan nasional terhadap
hak ulayat memang setengah hati.
Di satu sisi, hak ulayat diakui dalam sistem
hukum pertanahan (agraria) nasional, tetapi di sisi lain tidak diberikan
perlindungan yang operasional. Pengakuan hak ulayat merupakan bagian dari
nasionalisasi hukum pertanahan, yang selama masa kolonial didominasi hukum
Barat, dengan menjadikan hukum adat basis pembangunan hukum pertanahan
nasional. Dampak perlakuan hak ulayat yang setengah hati itu adalah konflik
pertanahan yang terjadi di sejumlah wilayah.
Pengakuan hukum adat sebagai politik hukum
pertanahan secara terang benderang dikukuhkan dalam UUD 1945 dan dalam UU No
5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA). Dalam Pasal 33 UUD 1945 ditegaskan:
bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, kepentingan
bersama lebih diutamakan daripada kepentingan individual.
Hal ini sejalan dengan prinsip hukum adat,
khususnya yang menyangkut hak ulayat, yang bersifat kolektif dan melindungi
komunitas pemilik hak atas tanah itu. Bahkan, dalam Tap MPR IX/2001 Pasal 4,
Huruf (j) tertulis: mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum
adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.
Sesuai Pasal 2 Ayat 1 UUPA, penguasaan negara
atas tanah sekaligus merupakan pengukuhan sebagai pemegang organisasi kekuasaan
seluruh rakyat. Ini sekaligus mengandaikan: jika seluruh bangsa Indonesia
sebagai pemilik hak ulayat atas tanah di seluruh Tanah Air, negaralah yang
ditunjuk menjadi wali amanah pemegang otoritas sebagai pengganti pemangku adat
yang sebelumnya jadi pengurus hak ulayat masyarakat.
Politisasi
Hukum
Namun, UU No 5/1960 juga setengah hati
terhadap eksistensi hak ulayat. Di satu sisi mengakui keberadaannya, tetapi di
sisi lain sebenarnya tidak memberi penguatan ataupun perlindungan. Dalam Pasal
3 disebutkan, hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum
adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan UU dan peraturan lain yang lebih
tinggi.
Dalam produk perundang-undangan berikutnya,
baik dalam bentuk UU maupun peraturan di bawahnya, posisi hak ulayat tidak
hanya tidak jelas, tetapi juga makin terdesak dan tereduksi.
Pengaturan yang tak sesuai dengan politik
hukum (politisasi hukum) terlihat pada Pasal 2 Ayat 2 Permen Agraria/Kepala BPN
No 5/1999. Disebutkan, hak ulayat dianggap masih ada jika: (a) terdapat
sekelompok orang yang masih terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan
ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari; (b)
terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari
hari; (c) terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan
penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati para warga persekutuan hukum
tersebut.
Seharusnya dihayati betul karakter hukum
adat, terutama yang menyangkut masalah tanah. Sebagaimana karakter hukum adat
pada umumnya yang bersifat kolektif dan tak tertulis, perlindungan terhadap hak
ulayat harus memperhatikan ciri pokok itu. Karena karakternya kolektif dan tak
tertulis, hak ulayat mulai tergerogoti sejak pemerintah swapraja mengklaim
bahwa semua tanah milik raja.
Hukum perdata Eropa, yang dibawa oleh
pemerintah kolonial, makin menyudutkan hak ulayat dengan teori domein
verklaring. Bahwa semua tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya
dianggap sebagai tanah negara.
Solusi
Perlu penegasan kembali politik hukum di
bidang pertanahan. Apakah masih tetap akan menjadikan hukum adat sebagai basis
politik hukum pertanahan dan menghormati hak ulayat sebagai konsep terpenting
dalam hukum adat atau sebaliknya. Artinya, demi kepentingan pembangunan
ekonomi, kepemilikan kolektif atas tanah harus terus didesak sehingga jadi
kepemilikan individual untuk memberi insentif kepada penanam modal.
Jika jawabnya tetap memuliakan hukum adat dan
hak ulayat, harus dirunut kembali politisasi hukum yang terjadi pada eksistensi
hak ulayat. Mengapa konsep yang dikukuhkan dalam konstitusi dan UU pokok
disimpangi oleh UU dan peraturan perundangan lain.
Mahkamah Konstitusi dapat mengambil peran
untuk menilai mana UU yang harus dinyatakan bertentangan dengan semangat dan
politik hukum pertanahan yang melindungi dan menghormati hak ulayat. Tentu saja
MK baru bisa bekerja jika ada gugatan dari masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar