Pilkada
dan Kedamaian di Aceh
Ikrar Nusa Bhakti,
PENGAMAT
POLITIK, TINGGAL DI JAKARTA
Sumber
: KOMPAS, 13 Januari 2012
Sejak pemilihan umum kepala daerah langsung
pertama kali digelar serempak di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota di Aceh
pada 2007 sesuai Nota Kesepahaman Helsinki, 15 Agustus 2005, dan UU No 11/2006
tentang Pemerintahan Aceh, penulis sudah mengungkapkan tantangan terberat bagi
masa depan perdamaian di Aceh akan terjadi pada pilkada kedua.
Alasan penulis, pada pilkada pertama bulan
madu politik di antara para mantan politisi dan kombatan Gerakan Aceh Merdeka
masih terasa indah. Mereka yang saat itu masih bersatu memenangi pilkada
berhadapan dengan ”para musuh politik” atau ”sesama saudara Aceh yang tak
seiring sejalan”. Mereka juga belum menikmati kekuasaan politik yang tak jarang
bikin orang mabuk atau haus kekuasaan.
Lima tahun telah berlalu. Kongsi politik di
antara para politisi dan kombatan GAM mulai rapuh. Tak ada lagi bulan madu. Tak
ada lagi kawan atau lawan politik yang abadi. Yang tumbuh dan ada, kepentingan
politik dan ekonomi masing-masing tokoh. Jika di masa perundingan menuju MOU
Helsinki para politisi GAM bersiteguh agar calon independen dibolehkan
mengikuti pilkada, kini malah terjadi perbedaan posisi politik di antara
mereka.
Irwandi Jusuf yang sudah menikmati indahnya
kekuasaan justru ingin maju sebagai calon gubernur dari independen, tak lagi
menggunakan Partai Aceh sebagai basis massa. Sebaliknya mantan komandan
kombatan GAM Muzakkir Manaf dan kelompok politisi GAM asal Swedia yang masih
bernaung di Partai Aceh, atas nama kemurnian MOU Helsinki, justru menentang
adanya calon independen karena hanya dibolehkan satu kali.
Perkembangan demokratisasi yang begitu cepat
di Tanah Air juga mengubah posisi pemerintah. Jika dulu pemerintah ngotot calon
independen hanya boleh sekali ikut pilkada di Aceh dan setelah itu mereka harus
dicalonkan parpol nasional atau lokal, kini malah membolehkan adanya calon
independen dalam pilkada di seluruh Indonesia sesuai keputusan Mahkamah
Konstitusi yang meluluskan judicial review masyarakat pendukung calon
independen demi asas keadilan.
”Solusi saling menguntungkan” antara Pemerintah
RI dan GAM soal calon independen itu antara lain disebabkan, bagi pemerintah
saat itu yang terpenting adalah bagaimana mantan politisi dan kombatan GAM bisa
masuk ke dalam sistem politik Indonesia dan menanggalkan keinginan merdeka.
Bagi para mantan politisi dan kombatan GAM, bagaimana mereka dapat memenangi
pilkada dan pemilu legislatif nasional di Aceh agar mereka dapat menguasai
perpolitikan di Aceh tanpa harus berhadapan secara politik dengan Pemerintah
Indonesia.
Kini politisi dan elite di Aceh malah lebih
memilih jadi calon independen ketimbang melalui jalur parpol yang mahar
politiknya terlalu mahal. Di kala sebagian besar calon pada pilkada gubernur di
Aceh berasal dari calon independen, dan tahapan penentuan nomor urut calon
sudah ditetapkan oleh Komisi Independen Pemilihan Aceh, kala itu pula Partai
Aceh yang tadinya memboikot pilkada justru ingin mendaftarkan pasangan
calonnya.
Pada 4 Januari 2012, sudah ada empat pasangan
calon gubernur/wakil: Tengku Ahmad Tajuddin dan Suriansyah dari dukungan
perseorangan, Irwandi Jusuf dan Muhyan Yunan (perseorangan), Darni M Daud dan
Ahmad Fauzi (perseorangan), Muhammad Nazar dan Nova Iriansyah yang didukung
Partai Demokrat dan PPP. Partai Aceh masih berjuang agar calonnya dapat
diakomodasi KIP Aceh atas keputusan sidang pleno KPU nasional.
Bila kita lebih mengedepankan kelanjutan dari
proses perdamaian di Aceh, persoalan keterlambatan pendaftaran pasangan calon
gubernur dari Partai Aceh janganlah dianggap sesuatu yang serius. Baik pasangan
independen maupun pasangan yang diusung parpol punya hak sama ikut pilkada
gubernur dan juga di 16 kabupaten/kota di Aceh. Akomodasi politik terhadap
Partai Aceh juga tak harus mengundurkan jadwal pilkada di Aceh karena
masyarakat Aceh sudah tahu kapan pilkada dan siapa saja pasangan calonnya.
Kita harus mencegah kian runyamnya situasi
keamanan di Aceh menjelang pilkada Februari. Selama ini ada tuduhan, pelaku
teror penembakan misterius dari kelompok mantan kombatan GAM yang tak dapat
mengikuti proses politik secara demokratis di Aceh. Jika kepentingan politik
para calon dari Partai Aceh diakomodasi, akan tampak kasatmata, siapa
sesungguhnya yang memancing di air keruh atas situasi keamanan di Aceh. Hingga
kini, penulis masih memegang asumsi kuat, para penembak itu bukan mantan
kombatan GAM yang memusuhi orang Jawa, karena lawan politik mereka bukanlah
orang Jawa, melainkan sesama mantan politisi dan kombatan GAM yang tak lagi
bernaung di Partai Aceh.
Memang dulu aktivis GAM suka menyebut
pemerintah Jawa atau tentara Jawa, tapi dalam kenyataan politik yang ada di
Aceh, mereka juga bisa menerima orang Jawa secara baik. Penulis sebagai orang
Jawa pernah diminta teman-teman Aceh memimpin sidang bidang politik saat Aceh
Recovery Forum dibentuk pasca-Tsunami, 26 Desember 2004. Kuntoro Mangkusubroto
juga orang Jawa yang diterima baik oleh orang Aceh sebagai koordinator
rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh.
Amien Rais juga pernah terpilih menjadi
anggota DPR mewakili Aceh di era reformasi. Terakhir tetapi penting, Susilo
Bambang Yudhoyono mendapatkan dukungan terbesar di Aceh (94 persen) pada
Pilpres 2009, terlepas dari adanya kritik atas kejanggalan hasil pilpres di
Aceh tersebut. Karena itu, adanya kelompok atau oknum dari mana pun—apakah TNI,
Polri, atau mantan kombatan GAM—yang mencoba memanas-manasi situasi keamanan di
Aceh dengan membunuh para petani atau buruh serabutan asal Jawa tak akan
menimbulkan disintegrasi nasional di Indonesia karena orang yang mempelajari
militer atau teknik kemiliteran pasti sudah menduga siapa pelakunya.
Apa yang dikatakan Fakhri Ali dan Amien Rais
di TVOne, Jumat (6/1/) malam, mengenai penembakan misterius di Aceh tentunya
amat jelas bagi kita. Aceh bagian dari Indonesia. Karena itu, keamanan di Aceh
adalah tanggung jawab Pemerintah Indonesia juga. Kekuasaan Presiden RI—baik
domain of power, scope of power maupun range of power-nya—juga meliputi
Provinsi Aceh. Membiarkan penembakan misterius kian berkembang di Aceh sama
saja membiarkan para pengganggu keamanan merajalela di bumi Nusantara. Situasi
keamanan di Aceh lima tahun terakhir secara umum amat baik. Kita tak ingin
timbul kembali prahara di tanah Aceh. Pilkada adalah institusi politik untuk
memilih pemimpin secara demokratis dalam rentang waktu lima tahunan. Karena
itu, bicara (termasuk suara) harus lebih dikedepankan ketimbang senjata! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar