Whats in a Name Nur Hadi : Cerpenis, Esais, Tinggal di Jepara |
MAJALAH TEMPO, 4
April
2022
WHAT’S in a name?” kata
William Shakespeare dalam Romeo and Juliet empat abad silam. Apalah arti
sebuah nama. Perkataan ini sering disalahpahami lantaran dipisahkan dari
konteks kisah Romeo dan Juliet. Kalimat itu sebenarnya diucapkan Juliet
sebagai pernyataan cintanya kepada penyandang nama Montague, dan bukan
terhadap nama Montague, apalagi nama keluarga yang telah memisahkan mereka
berdua. Nama Montague, bagi Juliet, hanyalah nama. Drama Shakespeare itu
diduga sebagai adaptasi kisah cinta Pyramus dan Thisbe dalam mitologi
Babilonia. Romeo and Juliet menjadi terkenal dan fenomenal lantaran, salah
satunya, Shakespeare berhasil menyusupkan nilai-nilai subyektivitas dan
menghubungkannya dengan kondisi faktual. Celakanya, ungkapan dalam dialog
Juliet itu kemudian sering dianggap sebagai adagium umum sehingga menimbulkan
banyak kekeliruan persepsi. Dalam atmosfer budaya
Jawa, nama bahkan mengandung makna penting. Orang tua senantiasa menyertakan
harapan, cita-cita, dan doa luhur dalam sebuah nama. Pada nama Slamet atau
Suharto, misalnya, bisa kita tafsirkan bahwa orang tuanya memberikan doa dan
harapan semoga sang penyandang nama tersebut senantiasa berada dalam keadaan
selamat sentosa atau hidup cukup, berkelimpahan harta (sugih arta). Nama juga dianggap
memiliki kekeramatan. Ia bisa memanggul sifat orang yang memilikinya. Nama
Wijaya, misalnya, yang dalam bahasa Jawa berarti “kemenangan, unggul”,
menyiratkan harapan orang tua agar si penyandang nama menjadi sosok yang
unggul. Itulah mengapa pemberian nama pun perlu diiringi upacara selamatan.
Bahkan anak yang sakit-sakitan sering dianggap namanya tidak cocok, terlalu
tinggi, atau tidak sesuai dengan sifat pembawaan lahirnya sehingga perlu
diganti—dengan upacara selamatan pula. Di ranah fiksi, pengarang
sengaja memilih nama-nama tertentu demi mendapatkan efek-efek tertentu, entah
kesamaan perilaku dan sifat entah simbolisme. Minke dalam Tetralogi Pulau
Buru karya Pramoedya Ananta Toer adalah simbolisme untuk Indonesia
pra-kemerdekaan. Dalam kosmologi Jawa, hari dan waktu lahir akan mempengaruhi
watak dan pembawaan seseorang. Dari situ kemudian nama menjadi penting. Meski
sekarang rumus semacam itu telah mulai menghilang, pemberian nama tetap tidak
kehilangan motif-motif lain, seperti keindahan, doa, dan harapan. Penamaan juga sering
dikaitkan dengan simbol atau prasasti pengingat. Ilmu toponimi akan memberi
tahu kita banyak hal, dari sejarah sampai kondisi sosial-budaya setempat.
Ketika mengembalikan nama Irian Jaya ke Papua, Presiden Abdurrahman Wahid
atau Gus Dur tampaknya menyadari bahwa sebuah nama mampu mengemban banyak
muatan politis. Penggantian nama itu banyak dipandang sebagai upaya Gus Dur
meredam suara-suara negatif dari entitas lain. Langkah Gus Dur itu bisa
dibandingkan dengan politik penamaan Kota Jayapura, yang dari waktu ke waktu
diganti oleh siapa yang berkuasa. Semula, ia bernama Hollandia saat masih
berada di tangan Hindia Belanda dan berubah menjadi Kotabaru hingga 1 Oktober
1962. Namanya berubah lagi menjadi Sukarnapura, yang menjadi simbol taktis
langkah politik Presiden Sukarno, hingga kemudian berubah menjadi Jayapura,
yang menjadi monumen tumbangnya absolutisme Orde Lama dan digantikan Orde
Baru. Penamaan Nahdlatul Ulama
juga punya sejarah sendiri. Ada pertimbangan-pertimbangan khusus saat memilih
nama tersebut. Pada 1926, para ulama yang berkumpul di Surabaya berdebat
tentang nama organisasi baru mereka. Setidaknya muncul dua usul nama saat
itu: Nuhudlul Ulama, yang bermakna bahwa para ulama mulai bersiap untuk
bangkit dengan organisasi itu, dan Nahdlatul Ulama, yang bermakna kebangkitan
ulama karena kebangkitan itu sudah berlangsung lama dan bergerak jauh.
Perdebatan itu menunjukkan bahwa nama bukanlah hal yang enteng. Demikian juga motif dalam
pemilihan nama samaran atau julukan pada banyak tokoh. Ronggowarsito menjadi
lebih dikenal daripada Bagus Burhan, nama aslinya, lantaran ada nuansa
estetis dan simbolis pada nama Ronggowarsito. Apalah arti sebuah nama
hanyalah cocok untuk seseorang yang tengah dilanda asmara. Bisa jadi, saat
nanti sudah patah hati, dia akan teringat nama itu seumur hidupnya. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/bahasa/169618/whats-in-a-name |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar