Jilbab dan Kebebasan Trisno S. Sutanto : Peneliti di Paritas Institute; Penulis buku
“Politik Kebinekaan : Esai-esai Terpilih |
MAJALAH TEMPO, 4
September 2023
GADIS belia, siswa kelas
IX sebuah SMP negeri di Cirebon, Jawa Barat. Pidatonya menyentak:
“Bebaskanlah teman-temanku. Biarkan mereka memilih seragamnya sendiri.” Disampaikan pada 14
Agustus lalu—tiga hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan—teks imbauan itu
menyebar di grup-grup WhatsApp. Tuntutan yang sederhana,
tidak neko-neko. Apa yang diminta Re, panggilan gadis itu, hanyalah kebebasan
untuk memakai seragam sekolah tanpa kewajiban memakai jilbab bagi siswa
muslim. Ayah Re pernah meminta
pengecualian dari wali kelas soal itu dan anaknya mendapat dispensasi. Tapi,
dalam interaksi sehari-hari, Re kerap dirundung, disindir guru agama, atau
diejek kakak kelas sebagai “Krislam”. Bagi mereka, pilihan Re
tak lazim dan mengganggu. Bagaimana mungkin seorang perempuan muslim menolak
memakai jilbab, yang melambangkan identitas keislaman? Di mata orang
sekelilingnya, Re adalah “makhluk asing”. Saya tidak tahu persis
alasan Re tidak mau memakai jilbab. Saya menduga alasan gadis itu sederhana:
kebebasan menjadi dirinya sendiri. Ia, misalnya, tetap menghormati kesopanan
umum dengan tidak memakai rok mini atau celana pendek. Soal jilbab, bagi Re,
bukanlah hal ihwal yang dapat mengukur keimanan. Re bukan yang pertama.
Maret 2021, Human Rights Watch menerbitkan I Wanted to Run Away—laporan tentang
pengalaman diskriminatif perempuan dan anak perempuan dalam soal kewajiban
berjilbab. Lembaga pemantau hak asasi
manusia itu menemukan, sebagian besar dari hampir 300 ribu sekolah negeri di
Indonesia mewajibkan gadis muslim mengenakan jilbab sejak sekolah dasar.
Menurut laporan itu, meski pejabat sekolah membantah adanya aturan yang
mewajibkan jilbab, ada “suasana” yang menekan anak perempuan dan orang tua
mereka agar memakai jilbab. Di Yogyakarta, demikian
menurut laporan itu, seorang ibu mengeluh ketika putrinya diwajibkan memakai
jilbab saat masuk sekolah negeri pada 2017. Meskipun sekolah dan para guru
tidak secara eksplisit menyebutkan kewajiban itu, mereka memberikan komentar
yang tidak diinginkan atau merendahkan pilihan tidak memakai jilbab.
“Tekanannya implisit, tapi terus-menerus.” Pangkal soalnya adalah
conservative turn, perubahan masyarakat yang makin “agamis”. Di tengah
gejolak zaman yang memorak-porandakan nilai dan kemapanan, agama dianggap
bisa berperan sebagai benteng pengaman. Apalagi agama menempati
posisi sentral dalam masyarakat Indonesia. Laporan Pew Research pada Juli
2020 berjudul “The God Divide” menyebutkan 91-93% responden Indonesia
menganggap agama punya peran sangat penting bagi hidup mereka. Angka ini jauh
di atas Filipina, Nigeria, Kenya, dan Tunisia. Tentu tak salah ketika
seseorang ingin mengekspresikan keyakinannya lewat mode pakaian—semacam
pernyataan “kesalehan” di tengah pergolakan zaman. Ia jadi masalah ketika
ekspresi tersebut dibakukan sebagai aturan formal oleh negara di sekolah atau
di lembaga-lembaga pelayanan publik. Pada titik ini, mode pakaian menjadi
garis pemisah antara “kami” dan “kalian”. Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berulang kali mendesak agar
aturan wajib jilbab dicabut. Namun permintaan itu tak mengurangi angka kasus
pemaksaan jilbab di sekolah-sekolah. Kewajiban berjilbab malah dianggap
sebagai “kearifan lokal”. Yang kemudian dianggap tak
arif: kehendak siswa untuk menjadi diri sendiri. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/marginalia/169612/jilbab-dan-kebebasan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar