Politik Kepentingan
Publik Opini Tempo : Redaksi Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 4
September 2023
KETIKA politik melupakan
publik, sesuatu yang seharusnya memiliki virtue kini menjadi transaksi dagang
yang murah dan memualkan perut? Hari-hari ini politik memang tak ubahnya
pasar perdagangan sapi. Keputusan Partai NasDem memasangkan Anies Baswedan
dengan Ketua Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar lahir dari transaksi
semacam itu. NasDem merupakan partai
yang paling awal mendeklarasikan calon presiden dengan membentuk Koalisi
Perubahan untuk Persatuan bersama Partai Demokrat dan Partai Keadilan
Sejahtera. Berbeda dengan PKS yang tak ngotot memaksakan jagoannya, Demokrat
terus mengupayakan agar Ketua Umum Agus Harymurti Yudhoyono menjadi wakil
Anies Baswedan. Tiga bulan sebelum batas akhir pendaftaran pasangan calon
presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2024, NasDem tak kunjung menetapkan
Agus sebagai calon wakil Anies. NasDem punya alasan tak
segera merespons permintaan Demokrat. Pertama, penetapan Agus bisa mengurangi
“saham” NasDem dalam koalisi karena partai yang dipimpin taipan media Surya
Paloh ini tak memiliki calon wakil presiden sendiri. Kedua, penetapan Agus
tak menambah suara Anies. Pendukung Agus Harimurti dan Anies Baswedan
beririsan di sejumlah daerah pemilihan. Di provinsi di mana Anies lemah,
misalnya Jawa Timur, Demokrat pun tak kuat. Pengurus Demokrat
menyadari kelemahan itu. Mereka berpendapat dengan menyegerakan penetapan
calon wakil presiden, tersedia cukup waktu bagi koalisi untuk mendongkrak
elektabilitas Anies Baswedan. Buktinuya, dalam tiga bulan terakhir,
elektabilitas Anies terus turun—di bawah dua kandidat lain, Prabowo Subianto
dan Ganjar Pranowo. Di “kapal” yang berbeda,
kemungkinan Muhaimin Iskandar menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto
mengecil dengan masuknya Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional ke dalam
Koalisi Indonesia Maju. Golkar menginginkan ketua umumnya, Airlangga
Hartarto, menjadi calon pendamping Prabowo. Adapun PAN menyorongkan Menteri
Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Pada titik ini kepentingan
PKB dan NasDem bertemu: mereka percaya memasangkan Anies Baswedan dan
Muhaimin Iskandar bisa membangkitkan kembali elektabilitas Anies Baswedan,
selain juga memberi kesempatan kepada Muhaimin menjadi calon wakil presiden,
sesuai permintaan PKB. Bagi NasDem, masuknya
Muhaimin juga mengendurkan ketegangan Surya Paloh dengan Presiden Joko
Widodo. Sehari sebelum informasi duet Anies-Muhaimin muncul ke publik, Surya
Paloh diketahui menemui Jokowi di Istana Negara. Telah jadi pengetahuan
umum Jokowi cenderung mendukung Prabowo Subianto meski tak melepas perhatian
kepada Ganjar Pranowo, koleganya di PDI Perjuangan. Adapun terhadap Anies,
Jokowi cenderung antipati. Karena itu Deklarasi
NasDem mencalonkan Anies Baswedan pada Oktober tahun lalu “menyulitkan” Surya
Paloh. Ia tak memungkiri analisis yang menyebutkan penahanan Jhonny G. Plate,
Menteri Komunikasi dan Informatika dari NasDem, berhubungan dengan pencalonan
Anies Baswedan tersebut. Beberapa bisnis Surya di bidang media dan katering
disebut-sebut juga “bermasalah” karena deklarasi itu. Masuknya Muhaimin pun
mencairkan kembali hubungan Paloh-Jokowi, yang terbuhul sejak Pemilu 2014.
PKB adalah partai yang tidak berseberangan dengan Jokowi—jika tidak bisa
disebut anak manis pemerintah. Analisis lain menyebutkan bergabungnya
Muhaimin bisa dibaca sebagai masuknya pengaruh Jokowi pada koalisi pendukung
Anies. Jika ini terjadi, presiden Indonesia setelah 2024 dipastikan tak
berseberangan haluan dengan Jokowi. Peta politik memang bisa
berubah kapan saja. Lepas dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Demokrat
dapat bergabung dengan koalisi pendukung Ganjar Pranowo atau Prabowo
Subianto. Di kubu Prabowo, setelah
PKB menyeberang ke Anies, perebutan kursi calon wakil presiden akan terjadi
antara Golkar dan PAN. Para “blantik” akan menentukan “sapi” mana yang bakal
dibeli atau dipertukarkan. Karena itu, yang tak
berubah dalam manuver politik menjelang Pemilu 2024 adalah publik sebagai
penonton yang kehadirannya cuma dibutuhkan di bilik suara. Hampir tak ada
partai atawa kandidat yang menawarkan gagasan untuk kemaslahatan orang
banyak. Gagasan memang akan muncul dalam debat kandidat beberapa pekan
sebelum hari pencoblosan. Tapi seperti Pemilu yang lalu-lalu, debat lebih
merupakan atraksi sirkus ketimbang
pertukaran gagasan. Dengan demikian, dalam
politik yang melupakan publik, tak banyak yang bisa kita lakukan kecuali
membiarkan para blantik beraksi. Dalam Pemilu 2024, apatisme tampaknya tak
terhindarkan— sesuatu yang buruk bagi demokrasi. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/169636/politik-kepentingan-publik |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar