Efek Bursa Karbon Opini Tempo : Redaksi Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 4
September 2023
SECARA teori, pembentukan
bursa karbon merupakan terobosan dalam upaya menurunkan tingkat pemanasan
global. Bursa karbon merupakan mekanisme yang mempertemukan penjual jasa
penyerapan emisi dengan pembeli yang memproduksi gas rumah kaca. Perdagangan
karbon dianggap sebagai satu cara paling menjanjikan untuk mereduksi emisi
gas rumah kaca. Namun, di Indonesia,
tujuan mulia tersebut kemungkinan besar meleset. Hal itu seiring dengan
lahirnya kebijakan penempatan unit karbon sebagai efek yang dapat dialihkan
atau diperdagangkan kembali di pasar modal, tanpa kejelasan pencapaian target
penurunan jumlah emisi. Contohnya, perusahaan
pembangkit batu bara membeli kredit karbon yang dapat dihemat perusahaan
geotermal. Di kemudian hari, surat berharga ini dijual kembali oleh
pembangkit baru bara tersebut meski saat itu tingkat emisi karbon perusahaan
geotermal melewati batas. Mekanisme baru ini berawal
dari keputusan pemerintah yang menunjuk Otoritas Jasa Keuangan sebagai
pengurus perdagangan karbon lewat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan
Sektor Jasa Keuangan. Lebih lanjut, Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021
tentang nilai ekonomi karbon menetapkan unit karbon sebagai efek. Bulan lalu,
OJK menerbitkan peraturan tentang bursa karbon yang menyebutkan unit karbon
dapat diperjualbelikan sebagai efek. Sebelumnya, lewat
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, unit karbon dianggap sebagai
komoditas yang hanya bisa diperdagangkan satu kali dalam jangka waktu
tertentu. Praktik ini pula yang berlaku di negara-negara lain. Sebab,
perdagangan karbon secara jelas bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca
dengan memberi kompensasi bagi pihak yang menyerap atau menghemat dan
disinsentif untuk pihak yang memproduksi emisi karbon. Dengan memperlakukan unit
karbon sebagai efek, transaksi bisa terjadi berulang kali tanpa
memperhitungkan pengurangan emisi secara faktual. Di bursa karbon Indonesia
nanti, sangat mungkin terbentuk nilai transaksi perdagangan yang tinggi. Di
negara lain, angka tersebut berarti telah berlangsung pengurangan emisi
besar-besaran. Faktanya, bisa saja penyerapan emisi hanya berlangsung satu
kali di awal, kemudian surat berharga tersebut terus-menerus
diperjualbelikan di bursa. Praktik seperti itu bisa
tergolong greenwashing. Perusahaan pencemar udara terbebas dari dosa semata
dengan membeli surat berharga yang kemudian bisa mereka jual kembali—bahkan
memperoleh keuntungan seperti saham jika kondisi pasar memungkinkan. Sebagai
institusi keuangan, OJK tidak menganggap situasi itu sebagai masalah. Dalam waktu
tersisa—tenggat pembentukan bursa karbon akhir bulan ini—OJK perlu mengatur
lebih jauh kategori perdagangan karbon. Klasifikasi unit karbon sebagai efek
berdampak luas. Misalnya, ada kewajiban modal Rp 100 miliar bagi calon
penyelenggara bursa karbon. Angka ini sama dengan syarat bagi operator bursa
efek. Tingginya tuntutan modal
mempersempit kesempatan buat pelaku pasar yang ingin terlibat dan membuka
jalan bagi pengelola pasar efek. Padahal, idealnya, penyelenggara bursa
karbon terpisah dari bursa efek. Misalnya Intercontinental Exchange dan New
York Stock Exchange plus Nasdaq di Amerika Serikat. Sebab, peran mereka
berbeda. Bursa karbon mengatur nilai transaksi antara pedagang dan pembeli
karbon, sementara bursa efek mencari dana investor untuk emiten. Di luar itu, OJK perlu
memastikan perdagangan karbon di bursa nanti tak melenceng dari tujuan
utamanya, yaitu menurunkan emisi gas rumah kaca sebagai mitigasi krisis
iklim. Bukan soal transaksi atau investasi. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/169632/efek-bursa-karbon |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar