Peran Wakil Presiden di Balik Aturan
Pendirian Rumah Ibadah Fajar Pebrianto : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 10
September 2023
RAPAT di kantor pusat
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Menteng, Jakarta Pusat, pada Januari lalu
mulanya tak membahas Rancangan Peraturan Presiden tentang Kerukunan Umat
Beragama yang mengatur pendirian rumah ibadah. Kala itu Wakil Presiden Ma’ruf
Amin, yang juga menjabat Ketua Dewan Pertimbangan MUI, mengumpulkan anggota
timnya untuk membahas isu lain. Selepas rapat, Ma’ruf
berbincang santai dengan sejumlah petinggi MUI. DI tengah obrolan, Ma’ruf
Amin menyinggung isi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 yang mengatur urusan kerukunan umat beragama
hingga syarat pendirian rumah ibadah. Ma’ruf mengaitkan
peraturan lawas itu dengan rancangan peraturan presiden tentang rumah ibadah
yang kini tengah digodok sejumlah pihak bersama pemerintah. Sejak akhir 2020,
pemerintah sudah menyiapkan rancangan perpres tersebut. MUI ikut dalam
pembahasan aturan anyar itu. Perpres ini akan menggantikan Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006. Rencananya,
sejumlah syarat pendirian rumah ibadah akan berubah. Dalam pertemuan itu,
Ma’ruf berpesan agar MUI ikut mendukung sejumlah pasal yang dianggap baik
dalam Peraturan Bersama Dua Menteri untuk dipertahankan. “Jangan diubah,
nanti terjadi benturan,” kata Ketua MUI Bidang Kerukunan Antarumat Beragama
Yusnar Yusuf menirukan ucapan Ma’ruf dalam pertemuan itu kepada Tempo pada
Jumat, 8 September lalu. MUI menjadi pihak yang
aktif memberi masukan dalam pembahasan rancangan perpres. Sudah lama MUI
ingin ketentuan di Peraturan Bersama Dua Menteri soal rumah ibadah bisa
diatur dalam regulasi yang lebih tinggi seperti perpres hingga setingkat
undang-undang. Namun MUI meminta sejumlah
klausul tetap dipertahankan. Salah satunya syarat 60/90 pendirian rumah
ibadah yang tercantum dalam Peraturan Bersama Dua Menteri. Lewat syarat ini,
kelompok yang hendak mendirikan rumah ibadah mesti mengantongi dukungan dari
60 warga setempat dalam bentuk fotokopi kartu tanda penduduk yang disahkan
oleh lurah atau kepala desa. Selain itu, permohonan izin mesti menyertakan
fotokopi 90 KTP pemeluk yang akan menggunakan rumah ibadah itu. “Pasal yang
mengatur soal itu di Peraturan Bersama Dua Menteri sudah bagus,” ucap Yusnar. Juru bicara Wakil Presiden
Ma’ruf Amin, Masduki Baidlowi, mengaku tidak mengetahui persis pesan yang
diungkapkan Ma’ruf dalam pertemuan di kantor MUI pada awal tahun itu. Namun
Masduki membenarkan kabar bahwa Ma’ruf pernah meminta agar beberapa
kesepakatan yang sudah dicapai selama ini dalam Peraturan Bersama Dua Menteri
tidak mudah dirusak begitu saja. “Ada beberapa hal yang masih relevan untuk
dijaga,” tutur Masduki. Peraturan Bersama Dua
Menteri diteken pada 21 Maret 2006 oleh Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni
dan Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma’ruf. Aturan ini memuat sejumlah pasal,
contohnya syarat pendirian rumah ibadah. Ada pula pasal yang mengatur peran
forum kerukunan umat beragama (FKUB). Dalam aturan lawas ini, pengurus FKUB
di tingkat kabupaten atau kota berwenang mengeluarkan rekomendasi pendirian
rumah ibadah. Draf terakhir Rancangan
Perpres tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama terdiri atas 18 halaman
dan tetap mencantumkan syarat 60/90 seperti yang tertera dalam Peraturan
Bersama Dua Menteri. Belakangan, syarat ini menuai kritik dari sejumlah
kelompok masyarakat sipil dan para penganut kepercayaan, termasuk tim yang
ikut membahas rancangan perpres. Di antaranya Direktur
Eksekutif Setara Institute Halili Hasan. Ia terlibat dalam pembahasan
rancangan perpres bersama pemerintah. Ia menyebut syarat 60/90 kerap menjadi
batu sandungan pendirian rumah ibadah. Aturan ini juga pada praktiknya sering
tak dipatuhi umat beragama, khususnya penganut agama mayoritas di daerah
tersebut. “Ada yang tak butuh 90 sudah bisa mendirikan rumah ibadah,”
katanya. Syarat itu pula yang
sering kali menjadi biang kerok konflik umat beragama di daerah. Kasus
terbaru dialami jemaat Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) di Kelurahan Rajabasa
Jaya, Kota Bandar Lampung. Ketua Pembangunan GKKD Parlin Sihombing mengklaim
pihaknya sudah memenuhi semua syarat yang diperlukan, termasuk syarat 60/90
fotokopi KTP, untuk mendirikan gereja. Namun pihak kelurahan tak kunjung
mengesahkan KTP masyarakat yang mendukung pendirian gereja. “Mereka beralasan
masih ada gejolak di masyarakat,” ujar Parlin. Pendirian gereja turut
terganjal di daerah lain. Saking susahnya, pengurus Gereja Kristen Protestan
Pakpak Dairi di Kampung Sangga Beru Silulusan, Kecamatan Gunung Meriah,
Kabupaten Aceh Singkil, Katerina Pasaribu, mengatakan sudah merasa letih
mengurus izin lantaran berkali-kali ditolak masyarakat. “Sebagian warga
menolak karena tidak berani memberikan dukungan,” ucap Katerina saat
dihubungi Tempo, Jumat, 8 September lalu. Pengurus gereja terhambat
hukum syariah yang tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 tentang
Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah.
Qanun itu menyebutkan pendirian tempat ibadah harus memenuhi syarat
administrasi, yakni setidaknya memiliki 140 anggota jemaat dan dukungan
masyarakat setempat paling sedikit 110 orang. Wakil Koordinator Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh Fuadi Mardhatillah
mengatakan ada 12 gereja Kristen Protestan dan Katolik yang tengah kesulitan
mendapatkan izin di Aceh. Salah satunya di Aceh Singkil. “Ada intimidasi
terhadap muslim agar tidak memberi tanda tangan,” tutur Fuadi. Ketua FKUB Aceh Singkil,
Ramlan, mengakui pengurus gereja kewalahan memenuhi syarat administrasi,
terutama mendapat persetujuan warga muslim. Di lapangan, dia menemukan bahwa
warga menolak mendukung karena dianggap menyalahi keyakinan. “Mereka takut
dicap atau mewariskan hal buruk untuk anak-cucu karena memberi dukungan
kepada gereja,” ujarnya. Penolakan pendirian rumah
ibadah tak melulu terjadi di daerah yang mayoritas penduduknya menganut
Islam. Di Nusa Tenggara Timur, aturan 60/90 itu justru menghambat pendirian
masjid. Contohnya kesulitan jemaah untuk mendirikan Masjid Batuplat di Kupang
serta larangan pembangunan sekolah madrasah aliyah di Desa Manleten,
Kabupaten Belu. ••• MESKI mempertahankan syarat
60/90 KTP, Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama justru memangkas kewenangan forum komunikasi umat beragama. FKUB
merupakan perkumpulan di daerah yang berisi perwakilan pemuka agama. Dalam
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9
Tahun 2006, FKUB di kabupaten dan kota berwenang mengeluarkan rekomendasi
pendirian rumah ibadah. Dalam rancangan perpres, kewenangan ini dihapus. Rancangan perpres justru
memperluas keberadaan FKUB. Tak hanya di level daerah, regulasi ini mengatur
pembentukan FKUB pusat di tingkat nasional. Klausul pendirian FKUB pusat ini
ditengarai menyisip di tengah pembahasan karena draf awal tidak
mencantumkannya. Masalahnya, rekomendasi FKUB selama ini juga kerap menjadi
batu sandungan pendirian rumah ibadah selain syarat 60/90 KTP. Direktur Eksekutif Setara
Institute Halili Hasan menyebutkan klausul untuk membentuk FKUB di tingkat
pusat merupakan perintah langsung dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Tenaga
Ahli Utama di Kedeputian V Kantor Staf Presiden Bidang Moderasi, Rumadi,
tidak menampik informasi tersebut. “Itu memang arahan Wakil Presiden,” ucap
Rumadi, yang juga terlibat dalam pembahasan rancangan perpres tersebut. Dalam pembahasan, Rumadi
mengungkapkan, FKUB di daerah diharapkan punya garis konsolidasi di tingkat
nasional. Halili termasuk pihak yang menolak klausul ini. “Tidak ada
urgensinya membuat FKUB pusat,” katanya. Ia juga mendengar kabar bahwa
sejumlah pejabat pemerintah yang ikut pembahasan perpres sebetulnya juga
tidak menyetujui pembentukan FKUB tingkat nasional. Kritik soal rencana
pendirian FKUB pusat ini juga mencuat dalam diskusi yang membahas perpres di
Wisma PGI, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, pada akhir Agustus lalu. Acara ini
digawangi oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi atau PUSAD Yayasan Paramadina
dan sejumlah pihak lain. Perwakilan Kantor Staf Presiden juga hadir. Direktur PUSAD Paramadina
Ihsan Ali Fauzi, yang terlibat dalam diskusi itu, mengatakan FKUB tingkat
nasional berpotensi menjadi tempat pemerintah daerah dan FKUB daerah
melemparkan masalah yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka. “FKUB
semestinya berfokus sesuai dengan mandatnya, yakni menggerakkan kerukunan,
bukan memberi rekomendasi,” tutur Ihsan. Masduki mengakui Ma’ruf Amin
pernah menggagas pendirian FKUB nasional. Ma’ruf menyatakan FKUB yang selama
ini ada merupakan sebuah kesepakatan antar-komunitas agama yang dulu susah
dicapai. “Itu agar kerukunan tetap terjaga,” ujar Masduki. Masduki mengklaim Ma’ruf
Amin belum menerima draf perpres terbaru. Bila nanti hampir rampung, Masduki
memastikan Ma’ruf akan meminta laporan dari Menteri Koordinator Politik,
Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Md. serta Menteri Koordinator Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. “Komunikasi dengan kedua Menko
lancar, tidak ada soal,” ucapnya. Persoalan lain muncul
terkait dengan kelompok masyarakat penghayat kepercayaan. Ketua Presidium
Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia Engkus Ruswana menyebutkan komunitasnya
bisa terkena dampak karena tak terakomodasi dalam rancangan perpres. “Kami
tidak bisa disamakan dengan agama lain karena tak ada tempat ibadah,” kata
Engkus. Keluhan masyarakat
penghayat kepercayaan ini juga ditangkap oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Mereka tersebar di Yogyakarta, Jakarta,
Nusa Tenggara Timur, Riau, dan Aceh. Mereka juga sudah membuat catatan kritis
sebagai protes terhadap rancangan perpres itu yang dianggap masih
diskriminatif. Rancangan perpres tersebut
diprotes lantaran tidak memasukkan penghayat kepercayaan. Kristina Viri,
salah satu pegiat koalisi, menyebutkan penghayat kepercayaan akan mengalami
kendala dalam mendirikan rumah ibadah yang biasanya juga menjadi tempat
berkumpul, seperti sanggar. “Sanggar dan rumah ibadah sewaktu-waktu bisa
dirobohkan dan aktivitasnya juga rawan dibubarkan,” ujar Kristina. Persoalan lain adalah
posisi masyarakat penghayat kepercayaan dalam FKUB. Dalam draf awal perpres
sebetulnya sudah disebutkan bahwa “unsur penghayat kepercayaan dapat
dipertimbangkan untuk menjadi anggota FKUB”. Belakangan, frasa ini dihapus
saat proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Padahal
rapat lintas kementerian awalnya tidak mempersoalkan klausul tersebut.
“Kementerian Dalam Negeri yang keberatan,” tutur Engkus. Engkus mengutip Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang telah memberi pengakuan kepada
penghayat kepercayaan. Lewat putusan ini, Mahkamah Konstitusi memerintahkan
kepercayaan bisa masuk kolom agama di kartu tanda penduduk. Hilangnya klausul ini
membuat Engkus khawatir suara masyarakat penghayat kepercayaan meredup.
Padahal selama ini masyarakat penghayat kepercayaan sudah masuk struktur FKUB
di beberapa daerah. Contohnya dalam surat keputusan Bupati Kotabaru, Kalimantan
Selatan, yang pada 19 Januari 2023 menetapkan susunan pengurus FKUB.
“Pengurus ini sampai 2027,” ucap Ketua Umum Majelis Umat Kepercayaan
Kaharingan Sukirman, yang sudah ditetapkan menjadi salah seorang anggota
FKUB. Kepala Pusat Penerangan
Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan belum merespons permintaan konfirmasi
Tempo mengenai sejumlah pembahasan rancangan perpres ini, termasuk perdebatan
soal penghayat kepercayaan. Sementara itu, Rumadi membenarkan bahwa ada
perbedaan pendapat di level kementerian mengenai masuk atau tidaknya
penghayat kepercayaan ke FKUB. Meskipun demikian, dia menambahkan, frasa di
klausul cukup halus, yaitu “dapat dipertimbangkan”. Hingga awal September
lalu, pembahasan rancangan perpres ini masih belum tuntas. Rumadi mengklaim
tim masih mendiskusikan posisi masyarakat penghayat kepercayaan di dalam
FKUB. Ia mengatakan klausul ini akan dibicarakan oleh Mahfud Md. bersama
menteri lain. “Jadi bola masih di Menko Polhukam dan belum sampai ke Presiden
Joko Widodo,” katanya. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/hukum/169700/aturan-pendirian-rumah-ibadah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar