Cara ASEAN Menangani
Krisis Myanmar Iwan Kurniawan : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 10
September 2023
KETIKA para pemimpin
negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) berkumpul
dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Jakarta pada Selasa, 5 September
lalu, pertempuran berkecamuk di Sagaing, wilayah paling panas di Myanmar saat
ini. Tatmadaw, angkatan bersenjata junta militer Myanmar, menyerang beberapa desa
dan menangkap sejumlah orang. Kelompok-kelompok perlawanan setempat membalas
serangan tersebut. Tim Pertahanan Rakyat
Khin-U (Khin-U PDT) mencegat sebarisan 100 tentara Myanmar yang hendak masuk
ke Desa Laung Shey, tak jauh dari Kota Praja Khin-U. “Kami menyerang pasukan
tersebut ketika mereka tiba di Laung Shey dari Khin-U. Dua di antaranya
meninggal. Keduanya dibakar di sebuah rumah di tengah desa. Kami menemukan
mayatnya setelah itu,” kata Bo Nat Soe, juru bicara Khin-U PDT, kepada
Myanmar Now, media independen Myanmar. Beberapa hari sebelumnya,
polisi menciduk Aung Myint Soe di Kota Ahthoke, Wilayah Ayeyarwady. Ketua
partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) itu dituduh terlibat dalam
pemasangan bom di dekat gerbang kota. Beberapa hari kemudian, polisi
mengabari keluarga Aung Myint bahwa bekas legislator itu meninggal karena
sesak napas. Sumber Myanmar Now menyatakan Aung Myint sempat diinterogasi di
markas tentara dan meninggal dengan banyak luka di tubuh. Pada 5 September lalu,
Perhimpunan Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), organisasi hak asasi
manusia berbasis di Thailand dan Myanmar, melaporkan bahwa sudah lebih dari
4.000 orang, termasuk aktivis prodemokrasi dan masyarakat sipil, dibunuh
junta militer sejak terjadi kudeta militer pimpinan Jenderal Senior Aung Ming
Hlaing pada 1 Februari 2021. Junta juga menahan 24.694 orang. Jumlah ini
hanya kasus yang sudah diverifikasi AAPP dan jumlah korban sebenarnya bisa
lebih besar dari itu. Dalam KTT ASEAN ke-43 di
Jakarta, para pemimpin ASEAN meninjau implementasi lima poin konsensus untuk
mengatasi krisis Myanmar, yang menyerukan penghentian kekerasan, dialog di
antara para pihak, mediasi oleh utusan khusus ASEAN, pemberian bantuan
kemanusiaan, dan kunjungan ke Myanmar oleh utusan khusus. “Kesimpulannya,
tidak ada kemajuan yang signifikan dalam implementasi lima poin konsensus.
Semua memahami situasi yang sangat pelik, rumit, dan tidak mudah untuk
diselesaikan,” ucap Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di Balai Sidang Jakarta
Convention Center pada Selasa, 5 September lalu. Hasil peninjauan itu
diterbitkan dalam dokumen “Tinjauan dan Keputusan Pemimpin ASEAN tentang
Implementasi Lima Poin Konsensus”. Dalam dokumen itu, para kepala negara
ASEAN secara khusus mendesak Angkatan Bersenjata Myanmar menghentikan
serangan terhadap warga sipil, rumah, dan fasilitas umum. Mereka juga
menetapkan lima poin konsensus sebagai rujukan utama untuk mengatasi krisis
politik di Myanmar dan harus diterapkan secara keseluruhan. Para pemimpin ASEAN juga
mempertahankan perwakilan nonpolitik Myanmar dalam KTT ASEAN dan Pertemuan
Menteri Luar Negeri ASEAN. Dengan kata lain, wakil dari militer Myanmar tak
diizinkan hadir dalam dua pertemuan tersebut. Bahkan para pemimpin juga
memutuskan bahwa posisi Ketua ASEAN pada 2026, yang seharusnya dipegang
Myanmar, diserahkan kepada Filipina dan tahun selanjutnya akan dirotasi di
antara anggota ASEAN sesuai dengan urutan abjad. I Gede Ngurah Swajaya,
Kepala Urusan Harian Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar, menyatakan diskusi
dalam membahas pelaksanaan lima poin konsensus itu “cukup dinamis” dan dapat
mempertahankan persatuan ASEAN. “Enggak ada yang menolak (poin-poin
keputusan),” ujarnya di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, pada Rabu, 6 September
lalu. “Ada perbedaan mengenai bahasa, tapi semangatnya sama, misalnya lima
poin konsensus masih menjadi rujukan. Kedua, tidak mencabut larangan bagi
junta untuk tidak berpartisipasi (dalam pertemuan tingkat tinggi).” Lina Alexandra, Kepala
Departemen Hubungan Internasional Centre for Strategic and International
Studies (CSIS), mengapresiasi keputusan itu. “Jelas sekali tampak
pernyataan-pernyataan yang jauh lebih kuat daripada pernyataan-pernyataan
mengenai Myanmar sebelumnya. Pada tataran tertentu, ini menunjukkan adanya
soliditas dan kesatuan ASEAN yang tentu patut kita apresiasi pada saat ini,”
katanya dalam CSIS Media Briefing pada Kamis, 7 September lalu. Junta militer Myanmar
memprotes keputusan tersebut. Mereka menilai KTT ASEAN telah mengabaikan hak
Myanmar sesuai dengan Piagam ASEAN. “Meskipun Ketua ASEAN berkonsultasi
dengan Myanmar mengenai rancangan dokumen tersebut, pandangan dan suara
Myanmar tidak diperhitungkan. Karena itu, atas nama pemerintah Myanmar,
Kementerian menolak isi ‘Tinjauan dan Keputusan Pemimpin ASEAN tentang
Implementasi Lima Poin Konsensus’ karena tinjauan tersebut tidak obyektif dan
keputusannya bias dan sepihak,” begitu menurut Kementerian Luar Negeri Dewan
Administrasi Negara Myanmar dalam pernyataan yang diterbitkan surat kabar The
Global New Light of Myanmar. Indonesia sebagai Ketua
ASEAN telah membentuk office of special envoy untuk menangani krisis Myanmar.
Kantor ini dipimpin I Gede Ngurah Swajaya. Indonesia memutuskan menggunakan
diplomasi sunyi (quiet diplomacy) dan menggelar pertemuan (engagement) dengan
berbagai pemangku kepentingan di Myanmar. Diplomasi sunyi, kata Ngurah,
diperlukan untuk membangun kepercayaan dari berbagai kelompok di Myanmar.
“Kan, enggak gampang mendudukkan orang yang tidak punya trust satu dengan
yang lain,” tuturnya. Meskipun demikian, menurut
Ngurah, tetap ada keterbukaan, misalnya Menteri Retno menyampaikan beberapa
informasi kepada pers sebelum KTT ASEAN dan Pertemuan Menteri Luar Negeri
ASEAN pekan lalu, tapi tidak mengungkapkannya secara rinci. “Kami harus
hati-hati, misalnya, (untuk tidak) membuka nama kelompok, membuka identitas,
(karena) yang bersangkutan bisa bahaya nasibnya. Ada yang masih tinggal di
sana,” ucapnya. Presiden Joko Widodo
menyampaikan bahwa dalam sembilan bulan terakhir Indonesia telah melakukan
145 engagement. Menurut Retno, ini adalah engagement yang paling banyak dan
paling intensif yang pernah dilakukan ASEAN. “Kita satu-satunya Ketua ASEAN
yang melakukan engagement secara komprehensif dan intensif. Semua orang kami
temui, ajak bicara. Semua pihak yang besar, kelompok etnis, mitra politik,
organisasi masyarakat sipil, kami ajak bicara, cari aspirasi mereka tentang
bagaimana caranya menuju dialog yang inklusif,” kata Ngurah. Pertemuan para wakil
berbagai kelompok di Myanmar itu kebanyakan dilakukan di Bali dengan alasan
keamanan. Sebagian dari mereka ada di luar Myanmar, tapi sebagian lagi masih
berada di dalam negeri itu. Mereka berdatangan melalui berbagai jalur dan
cara untuk menghadiri pertemuan tersebut. Para wakil itu telah
berkonsolidasi satu sama lain. Di antara mereka ada kelompok yang sudah
membuat kesepakatan dengan junta militer dan ada yang tidak. Kedua pihak ini
menolak dipertemukan. “Kadang mereka enggak mau tinggal di satu hotel, enggak
mau lihat satu sama lain,” ujar Ngurah. Ngurah melihat sudah
banyak kemajuan dalam pertemuan-pertemuan tersebut. Berbagai kelompok sudah
bersedia berdialog. “Ternyata yang masih belum mau berkomitmen dialog itu
(justru) junta militer. Karena itu, keputusan ASEAN adalah belum
memperkenankan junta berpartisipasi dalam pertemuan di tingkat menteri luar
negeri dan KTT,” tuturnya. Ngurah menekankan masalah
Myanmar tidak mudah. Krisis ini sudah berlangsung 75 tahun. Ketika Burma—nama
Myanmar sebelumnya—merdeka dari Inggris pada 1948, pemberontakan pecah di
mana-mana. Beberapa daerah membentuk kelompok bersenjata. Di bawah
pemerintahan Aung San, bapak Aung San Suu Kyi, kelompok-kelompok itu hendak
disatukan melalui Kesepakatan Panglong. Tatmadaw terus melanjutkan
perundingan dengan berbagai kelompok bersenjata hingga kini. Namun kudeta
militer pimpinan Jenderal Senior Aung Ming Hlaing pada 1 Februari 2021
memperburuk keadaan. Kemunculan Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG),
pemerintah bayangan bentukan politikus NLD, dan Tentara Pertahanan Rakyat
(PDF) menambah faksi baru dalam konstelasi politik di sana. Satu dari lima poin
konsensus adalah penghentian kekerasan. Namun gencatan senjata tampaknya
sulit dilakukan, terutama untuk mendudukkan para pihak dalam satu meja
perundingan. “Yang sudah kami bahas dengan mereka adalah bagaimana agar semua
pihak menghentikan penggunaan kekerasan. Mereka pada prinsipnya oke. Tapi ya
harus semua. Harus semua pihak mengumumkan (gencatan senjata). Itu langkah
awal, sudah kami bahas, tapi implementasinya kan belum, perlu modalitas
bagaimana mengumpulkan semua itu,” kata Ngurah. Pemimpin ASEAN juga setuju
melanjutkan engagement dengan para pemangku kepentingan di Myanmar ini. Untuk
itu, akan dibentuk troika, format kepemimpinan di bawah tiga pihak, buat
keberlanjutan penanganan isu Myanmar. “Semua paham bahwa tidak bisa dalam
satu tahun situasi ini akan berubah. Karena komitmen ASEAN untuk terus
membantu rakyat Myanmar, disepakati pembentukan troika di antara ketua (pada
tahun tersebut), ketua sebelumnya, dan ketua sesudahnya,” ujar Menteri Retno.
Dengan demikian, tahun depan, ketika ASEAN diketuai Laos, penanganan Myanmar
akan melibatkan Laos, Indonesia, dan Malaysia. Troika ini dibentuk untuk
memastikan penanganan masalah Myanmar berkelanjutan. “Indonesia akan bantu
mereka (Laos) dan pastikan ada kelanjutan. Mekanismenya mereka pakai office
of special envoy kayak kita atau special envoy itu masalah pilihan saja,”
ucap Ngurah. Untuk itu, “Dalam stakeholder's engagement nanti, akan kami
libatkan mereka biar mereka punya gambaran dan pengalaman bagaimana melakukan
engagement, karena engagement itu kan enggak gampang.” Lina Alexandra
mengapresiasi pendekatan engagement ini. “Pada intinya, pendekatan engagement
yang mendapat apresiasi begitu banyak dari pihak-pihak di Myanmar ini apakah
bisa diteruskan oleh keketuaan berikutnya tapi dengan warna dan pendekatannya
sendiri yang mudah-mudahan bisa menghasilkan (hal) yang efektif,” katanya.
“Mudah-mudahan mekanisme troika ini bisa mencegah adanya manuver-manuver yang
tidak sejalan, tidak selaras dalam kerangka ASEAN.” Langkah maju lain adalah
pengiriman bantuan kemanusiaan melalui Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan
Kemanusiaan dalam Manajemen Bencana (AHA Center) bentukan ASEAN. Sebelumnya,
tak ada bantuan yang bisa dikirim karena dilarang junta. Menurut Ngurah, kini
bantuan sudah bisa dikirim langsung ke daerah yang membutuhkan melalui kerja
sama dengan organisasi sipil (CSO) lokal, Palang Merah Myanmar, dan badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa di sana. “Supaya aman, kami koordinasi dengan
banyak pihak. Kami juga berkoordinasi dengan penguasa militer. Jangan sampai
bantuan dikirim, terus mereka blok dan ditutup. Tapi yang membagikan itu
bukan junta, bisa CSO atau palang merah,” ujarnya. “Sudah kami sampaikan
bahwa kami tidak ingin bantuan ini dikapitalisasi untuk kepentingan politik.” Pengiriman bantuan itu
memang tak mudah dan harus berkoordinasi dengan pihak-pihak yang menguasai
wilayah target pengiriman. Ngurah mencontohkan pengiriman pertama bantuan ke
suku Pa-O di Negara Bagian Shan pada awal Mei lalu. Komunitas suku itu harus
mengungsi ke suatu tempat karena konflik. Mereka inilah yang menjadi tujuan
pengiriman bantuan. “Secara de facto yang menguasai daerah itu kan kelompok
milisi suku itu, Pa-O National Liberation Organization. Mereka yang membantu,”
tuturnya. Untuk pemantauan,
Indonesia mengirim staf dari Kedutaan Besar RI di Myanmar dan Singapura juga
mengirim staf dari kedutaannya. Mereka berangkat dengan dikawal polisi di
wilayah tersebut. Sekitar 15 menit menuju lokasi pengiriman, tiba-tiba ada
tembakan di tengah jalan. Mereka pun mundur. “Kami investigasi siapa yang
melakukan itu. Belakangan, kami tahu organisasinya, bahkan nama orang itu,”
kata Ngurah. AHA Center sudah melakukan
banyak pengiriman dan bahkan kini stok bantuan sudah habis. ASEAN sekarang
sedang memobilisasi dukungan dana dari negara mitranya, seperti Australia,
Jepang, dan Korea Selatan, yang bersedia membantu melalui AHA Center. Sekretaris Jenderal PBB
Antonio Guterres menyatakan PBB mendukung penuh lima poin konsensus ASEAN dan
prakarsa keketuaan Indonesia di ASEAN. “Kami sangat berharap bahwa setelah
Indonesia, dengan Laos dan juga troika—Indonesia, Malaysia, dan Laos—ASEAN
akan tetap sepenuhnya berkomitmen mencapai solusi politik di Myanmar. Dan
solusi politik itu tentu saja memerlukan pembebasan semua tahanan politik dan
perlu membuka jalan bagi pembentukan kembali lembaga-lembaga demokrasi di
negara tersebut,” ujarnya dalam konferensi pers di sela-sela KTT ASEAN di
Jakarta pada Kamis, 7 September lalu. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/internasional/169693/asean-krisis-myanmar |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar