Mengapa BEI dan ICX
Bersaing Menjadi Penyelenggara Bursa Karbon Aisha Shaidra : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 4
September 2023
DUA hari sebelum Otoritas
Jasa Keuangan menerbitkan aturan bursa karbon, Indonesia Climate Exchange
(ICX) sudah membuka perdagangan perdana sertifikat energi terbarukan atau
Renewable Energy Certificate (REC). Ini adalah salah satu instrumen untuk
perdagangan emisi karbon dengan basis penghitungan dari pembangkit listrik
tenaga panas bumi dan pembangkit listrik tenaga mikrohidro. REC adalah sertifikat yang
membuktikan bahwa produksi tenaga listrik per megawatt-jam (MWh) berasal dari
pembangkit listrik energi terbarukan. Sertifikat ini bisa dibeli oleh satu
entitas untuk memenuhi target kredit karbon yang harus mereka capai. ICX
memperdagangkan REC sebanyak 1,050 MWh dengan harga pembukaan lelang Rp 35
ribu dan harga penutupan Rp 38 ribu. “ICX memfasilitasi perdagangan REC di
pasar sukarela," kata Chief Executive Officer ICX Megain Widjaja pada
Kamis, 31 Agustus lalu. Menurut Megain,
perdagangan REC di Indonesia berlangsung sejak 2018 dan mengikuti praktik
internasional. Megain mengatakan ICX memfasilitasi perdagangan REC bekerja
sama dengan Indonesia Clearing House, lembaga kliring berjangka yang juga ia
pimpin. Indonesia Clearing House terhubung dengan sistem pelacakan karbon
berstandar global seperti Evident I REC dan APX TIGRs. “Sehingga ICX dapat
memastikan jumlah REC yang akan dijual pemilik pembangkit listrik energi
terbarukan," tutur cucu pendiri grup Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja, itu. ICX merupakan entitas anak
Indonesia Commodity & Derivatives Exchange Group (ICDX) atau Bursa
Berjangka Komoditi dan Derivatif, perusahaan yang memfasilitasi perdagangan
komoditas. Kini ICDX melalui ICX berniat melebarkan sayap menjadi
penyelenggara bursa karbon. Perdagangan REC menjadi cara ICX untuk
menunjukkan kesiapan sebagai penyelenggara perdagangan karbon di Indonesia. Megain mengaku sudah
menyiapkan infrastruktur perdagangan bursa karbon plus modal minimal Rp 100
miliar, seperti yang dipersyaratkan OJK. ICX pun mengusulkan OJK memasukkan
produk REC ke aturan bursa karbon. "Kami melihat bursa karbon memiliki
potensi besar, dan ICX terbuka kepada siapa saja untuk bersama-sama
mengembangkan perdagangan karbon melalui bursa," ujarnya. Peluang ICX menjadi
penyelenggara bursa karbon memang terbuka setelah OJK merilis Peraturan OJK
Nomor 14 Tahun 2023 tentang bursa karbon pada Rabu, 23 Agustus lalu. Regulasi
yang menjadi turunan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan
dan Penguatan Sistem Perbankan ini menempatkan bursa karbon sebagai media
perdagangan unit karbon. Dalam bursa ini, unit karbon menjadi efek alias
surat berharga atau kontrak investasi yang menjadi aset dengan nilai
tertentu. OJK memasang syarat
tertentu bagi perusahaan yang berminat menjadi penyelenggara perdagangan
karbon. Selain bermodal di atas Rp 100 miliar seperti yang disiapkan ICX,
penyelenggara bursa karbon diwajibkan memiliki infrastruktur transaksi, dari
platform perdagangan hingga sistem kliring. Mirip dengan perdagangan saham di
pasar modal. ICX tak melenggang
sendirian lantaran ada nama besar yang juga menunjukkan minat menjadi
penyelenggara bursa karbon, yaitu PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Direktur
Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik mengatakan pengalaman lembaganya mengelola
perdagangan efek menjadi modal besar untuk menjadi penyelenggara bursa
karbon. "Kami juga akan mengajukan permohonan izin sesuai dengan ketentuan,”
tuturnya pada Rabu, 30 Agustus lalu. Menurut Jeffrey, BEI tengah menyiapkan
sistem, peraturan perdagangan, partisipan, hingga pencatatan dan pengawasan
transaksi karbon. "Sedang dalam persiapan akhir.” Keputusan OJK memilih
penyelenggara bursa karbon baru akan keluar pada pertengahan atau akhir bulan
ini. Namun ada sinyal kuat BEI yang akan terpilih, antara lain dari
pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Kepada
wartawan di Hotel Shangri-La Jakarta pada Kamis, 24 Agustus lalu, Airlangga
mengatakan, "Kalau untuk bursa karbon di BEI." Dua tahun sebelumnya,
Airlangga juga meminta BEI menyiapkan mekanisme perdagangan karbon.
"Kami mengapresiasi apa yang dilakukan BEI dalam bentuk peluncuran green
bond dan green sukuk. Namun perlu ada tambahan bahwa bursa perlu
mempersiapkan carbon trading bersama Kementerian Keuangan serta Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan," ucapnya dalam pertemuan daring pada 16
November 2021. Kepada Tempo, seorang
pejabat BEI juga menyatakan ada arahan dari pemerintah untuk bersiap menjadi
pengelola bursa karbon. Menurut sumber itu, OJK meminta BEI menyiapkan semua
syarat agar bisa menepati tenggat operasi bursa karbon, bulan ini. Padahal
masih ada yang belum jelas, seperti mekanisme perdagangan dan siapa saja para
anggota bursa alias entitas yang akan bertransaksi. “Tapi waktunya tak boleh
mundur, harus September,” katanya. Anggota Dewan Komisioner
merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan
Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, membantah kabar tersebut. "Tidak ada
dorongan dari mana pun, termasuk dari pemerintah kepada OJK untuk menunjuk
pihak tertentu," ujarnya pada Jumat, 1 September lalu. Inarno mengatakan
OJK akan memilih penyelenggara bursa karbon sesuai dengan ketentuan.
"Semua pihak yang ingin mengajukan diri harus memenuhi persyaratan
OJK." ••• PEMERINTAH punya harapan
besar pada bursa karbon untuk mendatangkan nilai ekonomi yang besar sekaligus
membantu pencapaian target penurunan emisi seperti yang ditetapkan dalam
sejumlah konsensus global. Pada September 2022, Ketua Dewan Komisioner
Otoritas Jasa Keuangan Mahendra Siregar menyebutkan Indonesia bisa
menghasilkan pendapatan US$ 565,9 miliar atau sekitar Rp 8.626,4 triliun.
Dasar penghitungannya adalah kepemilikan 125 juta hektare hutan tropis yang
mampu menyerap 25 miliar ton karbon. Perkiraan lain mengemuka
dari pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut
Pandjaitan. Luhut memperkirakan nilai aktivitas perdagangan karbon lewat
bursa sekaligus perdagangan primer antar-entitas bisnis di dalam negeri dapat
mencapai US$ 1-15 miliar per tahun. Adapun Asosiasi Pertambangan Batubara
Indonesia mencatat nilai perdagangan karbon di Indonesia bisa menembus US$
300 miliar atau sekitar Rp 4.625 triliun per tahun, yang berasal dari
kegiatan penanaman kembali hutan yang gundul hingga penggunaan energi baru
dan terbarukan. Untuk mengail nilai
ekonomi tersebut, pemerintah memakai sejumlah instrumen, dari pungutan pajak
hingga perdagangan melalui bursa. Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan
Sistem Perbankan (PPSK) kemudian mengamanatkan OJK menjadi regulator bursa
karbon yang menyelenggarakan perdagangan unit karbon, baik dalam skema
mandatory (wajib) maupun voluntary (sukarela). Bursa ini yang akan
memperdagangkan kredit karbon atau hak bagi sebuah entitas untuk melepas
emisi karbon dalam proses produksinya. Satu unit kredit karbon setara dengan
penurunan emisi 1 ton karbon dioksida. Pada tahap pertama, bursa
karbon akan memfasilitasi transaksi unit karbon di sektor pembangkit listrik.
Jika bursa karbon jadi beroperasi bulan ini, Indonesia menjadi negara pertama
di Asia Tenggara yang memiliki bursa tersebut, meski perdagangan yang
berlangsung di bursa tidak sepenuhnya sama dengan mekanisme sistem
perdagangan emisi atau emission trading system di beberapa yurisdiksi,
seperti Uni Eropa, Swiss, Korea Selatan, dan Cina. Menurut Inarno Djajadi,
Indonesia tidak sepenuhnya mengacu pada negara tertentu dalam pembentukan
bursa karbon. Dia menyebutkan beberapa contoh konsep bursa karbon yang
menjadi referensi OJK dalam penyusunan aturan bursa karbon. "Uni Eropa,
Korea Selatan, Swedia, Singapura, Malaysia, dan beberapa negara lain,”
katanya pada Jumat, 1 September lalu. Salah satu yang diatur
dalam bursa karbon Indonesia adalah penetapan unit karbon sebagai efek atau
aset yang bisa diperdagangkan. Inarno mengatakan pada dasarnya OJK bukan
penentu apakah unit karbon merupakan efek atau komoditas. Namun penetapan
unit karbon sebagai efek ada dalam Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang PPSK.
“Penetapan tersebut adalah amanat Undang-Undang PPSK yang kemudian
diimplementasikan dalam aturan OJK,” ujarnya. Karena unit karbon setara
dengan efek, perdagangannya bisa diawasi OJK seperti instrumen keuangan. Direktur Eksekutif Center
of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengingatkan pentingnya
pengecekan ulang agar tidak terjadi pencatatan ganda atas aset yang dijadikan
kredit karbon, misalnya hutan bakau yang sudah masuk skema lain di luar bursa
seperti Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus
Conservation atau REDD+. "Agar tidak terjadi double counting, integrasi
data OJK dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta kementerian
lain menjadi penting," ucapnya. Pada Juli lalu, OJK
bersama Kementerian Lingkungan Hidup menyepakati kerja sama tentang nilai
ekonomi karbon yang akan menjadi salah satu instrumen perdagangan di bursa.
Dua lembaga ini akan bertukar data karbon yang masuk Sistem Registri Nasional
Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI). Semua unit karbon yang akan
diperdagangkan di bursa harus masuk SRN PPI. Ihwal siapa yang menjadi
penyelenggara bursa karbon, peluang BEI dan ICX masih terbuka. Inarno
mengatakan OJK tak menutup kemungkinan lebih dari satu lembaga menjadi
penyelenggara bursa karbon. “Yang utama adalah terbentuknya bursa karbon
dulu." ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/169634/penyelenggara-bursa-karbon |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar