Jebakan Greenwashing Dalam Bursa Karbon Retno Sulistyowati : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 4
September 2023
GUGATAN class action
terhadap Delta Air Lines di Pengadilan Los Angeles, Amerika Serikat,
membayangi rencana perdagangan karbon di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia. Maskapai penerbangan Amerika Serikat itu kini dipersoalkan setelah
mengklaim netralitas karbon senilai US$ 1 miliar dengan mengandalkan
pembelian kredit karbon tanpa melakukan apa pun untuk mengurangi pemanasan
global. Menurut penggugat, Mayanna
Berrin, warga California, klaim Delta Air Lines itu salah dan menyesatkan. Ia
menilai pasar offset atau pertukaran kredit karbon penuh dengan penghitungan
yang tidak akurat dan berlebihan. Pengacara Berrin dari firma hukum Haderlein
and Kouyoumdjian LLP menuduh Delta Air Lines terlibat greenwashing.
Greenwashing ibarat penipuan karena perusahaan mengklaim sudah menjalankan
bisnis yang ramah lingkungan padahal yang terjadi sebaliknya. “Greenwashing
sulit diidentifikasi konsumen,” kata pengacara itu seperti dilansir The
Guardian pada 30 Mei lalu. Hal ini yang memicu banyak
pihak menolak perdagangan karbon. Direktur Advokasi dan Hak Asasi Manusia
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Muhammad Arman mengatakan perdagangan
karbon sama dengan alat cuci dosa bagi perusahaan yang merusak lingkungan.
“Kami menolak perdagangan karbon,” tuturnya pada Jumat, 1 September lalu. Padahal Indonesia baru
saja memasuki babak baru perdagangan karbon setelah Otoritas Jasa Keuangan
merilis Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang bursa karbon pada 23
Agustus lalu. Peraturan ini adalah amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023
tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Kepala Departemen
Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK Aman Santosa mengatakan
pembentukan peraturan mengenai bursa karbon merupakan bagian dari upaya
mendukung pengendalian perubahan iklim melalui pengurangan emisi gas rumah
kaca. Dia mengklaim hal ini sejalan dengan komitmen Perjanjian Paris. Namun Direktur Eksekutif
Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan praktik offset
karbon seolah-olah melegalkan atau memaafkan satu entitas yang melepas emisi
karbon karena ia bisa melakukan offset dengan cara membeli kredit karbon di
tempat lain, termasuk di bursa. “Artinya, satu entitas sebenarnya tidak bisa
mengurangi emisi karbon di lokasi ia beroperasi,” ucapnya pada Kamis, 31
Agustus lalu. Bukan hanya kasus Delta
Air Lines yang membuat banyak pihak, terutama aktivis lingkungan, menolak
perdagangan karbon. Bhima menunjukkan sederet kasus yang muncul di negara
lain. Misalnya skandal Verra, di mana 90 persen klaim terhadap perdagangan
karbon ternyata tidak menghentikan emisi. Verra adalah organisasi sertifikasi
karbon yang berbasis di Washington, DC. Kasus lain adalah proyek
konservasi perusahaan di Hutan Amazon, Brasil, yang telah menjual kredit
karbon dari lahan milik publik tanpa izin negara. Hasil investigasi Context,
platform media milik Thomson Reuters Foundation, mengungkap bagaimana program
penggantian kerugian karbon tetap berjalan beberapa tahun meski negara bagian
tersebut telah mendaftarkan sebagian besar wilayah proyek sebagai lahan
publik. Proyek REDD+ Jari Pará di
Brasil memperoleh persetujuan untuk menerbitkan kredit karbon pada 2020 dari
Verra. Ini menjadi proyek terdaftar Verra terbesar di Brasil berdasarkan
wilayah. Areanya diperkirakan mencapai 1,23 juta hektare, empat kali luas
Hong Kong. Menanggapi investigasi Context, Verra menyatakan telah meninjau
kembali proyek REDD+ Jari Pará dan menangguhkan penerbitan kredit karbon baru
dari proyek tersebut. Jari Pará dikelola oleh
dua perusahaan swasta, yakni Jari Celulose, produsen selulosa untuk pembuatan
kain, serta Biofílica Ambipar Environment, perusahaan spesialis penyeimbangan
karbon. Mereka bekerja sama dengan Jari Foundation. Program ini bertujuan
mengurangi emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan serta melindungi
keanekaragaman hayati dengan mendukung cara-cara lokal mencari nafkah,
seperti pengolahan kacang Brasil, yang menjaga pepohonan dan karbon yang
tersimpan di dalamnya tetap utuh. Pembeli kredit proyek Jari
Pará adalah perusahaan internasional seperti Janssen, 3M, CNN, BMW, serta
perusahaan Brasil, Globo dan Bank Bradesco. Mereka membeli kredit karbon
untuk mengimbangi emisi yang dihasilkan oleh bisnis mereka. Tapi koalisi masyarakat
sipil sejak awal menolak perdagangan karbon. Saat konferensi tingkat tinggi
mengenai iklim COP26 berlangsung di Glasgow, Skotlandia, pada 31 Oktober-12
November 2021, empat organisasi asal Indonesia, yaitu Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN), Greenpeace Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia,
serta Forest Watch Indonesia, mengeluarkan pernyataan bahwa perdagangan
karbon adalah solusi palsu mengatasi krisis iklim. "Dengan membiarkan
korporasi pelaku pencemar tetap menjalankan bisnis seperti biasanya, skema
offset justru melahirkan ketidakadilan,” demikian pernyataan mereka. Direktur Advokasi dan Hak
Asasi Manusia AMAN Muhammad Arman mengatakan perdagangan karbon adalah cara
perusahaan mencari suaka. Korporasi, dia menambahkan, menciptakan polusi,
mengeluarkan emisi, dan kemudian mencuci dosa itu dengan cara membeli kredit
karbon. Ironisnya, banyak korporasi mengklaim sudah melakukan hal baik untuk
mengatasi perubahan iklim. “Mekanisme ini adalah tipu-tipu. Kalau mau fair,
perusahaan harus menghentikan kegiatan usaha yang menghasilkan emisi karbon,”
ujarnya. Peneliti Institute for
Energy Economics and Financial Analysis, Putra Adhiguna, mengatakan pada
prinsipnya penggunaan kredit karbon adalah upaya terakhir setelah satu
entitas berusaha maksimal menurunkan emisi mereka. Sebaliknya, dia
melanjutkan, akan muncul persoalan apabila pelaku usaha hanya membeli kredit
karbon tanpa memaksimalkan upaya penurunan emisi. Berbagai skandal yang
terjadi dalam bisnis perdagangan karbon memicu munculnya sejumlah inisiatif,
seperti Integrity Council for the Voluntary Carbon Market (ICVCM). ICVCM
berupaya mendorong integritas perdagangan karbon di dunia. Terminologi
"integritas" dalam perdagangan karbon hanya ada apabila perusahaan
membeli kredit karbon dan dana hasil transaksi digunakan langsung pada upaya
pengurangan emisi. Di tengah pro-kontra
tersebut, OJK optimistis terhadap bursa karbon. Kepala Eksekutif Pengawas
Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi
mengatakan kuncinya adalah integritas secara keseluruhan. Yang pertama harus
dilakukan, dia menerangkan, adalah menghitung bersama tingkat emisi baseline
scope 1, scope 2, dan scope 3 di lembaga masing-masing. Langkah kedua adalah
berupaya menurunkan emisi, baru dilanjutkan dengan bertransaksi di bursa
karbon apabila masih diperlukan. Inarno berharap kementerian teknis
menerapkan konsep tertentu sehingga unit karbon yang diperdagangkan
berkualitas dan tervalidasi. Dengan begitu, dia berucap yakin, “Isu
greenwashing bisa dihindari.” ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/169640/greenwashing-bursa-karbon |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar