Tata Kelola Gas PGN Opini Tempo : Redaksi Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 27
Agustus 2023
IHWAL sumber daya gas
alam, rakyat Indonesia seperti ayam mati kelaparan di lumbung padi. Saat
warga negara lain bisa menikmati gas yang lebih ramah lingkungan untuk
pelbagai keperluan sehari-hari, Indonesia masih berkutat dengan energi fosil
yang kotor dan menjadi sumber polusi. Cadangan gas bumi
Indonesia yang mencapai 62,4 triliun kaki kubik per akhir 2022 dengan
simpanan terbukti 43,6 triliun kaki kubik seharusnya bisa memberi manfaat
secara optimal. Cadangan gas Indonesia yang berada di peringkat ke-13 dunia
baru akan habis dalam 19 tahun 9 bulan mendatang, dengan tidak
memperhitungkan penemuan baru. Namun harta karun itu
menjadi sia-sia karena salah kelola. Kekacauan di PT Perusahaan Gas Negara
(PGN) Tbk bisa menjadi bukti amburadulnya pengelolaan komoditas gas. PGN
berpotensi menanggung rugi Rp 212 miliar gara-gara piutang tak tertagih
kepada PT Isar Gas. Kasus ini bermula pada
2017, saat PGN membayar panjar pembelian gas ke Isar Gas. Setelah menyetor
uang muka US$ 15 juta, PGN hanya menerima gas setara dengan US$ 800 ribu.
Akibatnya, US$ 14,1 juta duit perseroan tertahan di perusahaan swasta
tersebut. Terlepas dari dugaan
adanya korupsi, potensi kerugian ini tak akan ada jika pemerintah becus
mengelola tata niaga gas bumi. Sudah menjadi rahasia umum pembagian jatah
pembelian gas bumi berbau amis. Calon pembeli gas yang sudah sukses
menegosiasikan harga dengan kontraktor penghasil gas belum tentu mendapatkan
restu Menteri Energi. Itu sebabnya, ketika
pemerintah membuka kesempatan swasta mendapatkan alokasi pembelian gas,
banyak muncul perusahaan di atas kertas. Perusahaan ini punya komoditas
alokasi gas yang dijual kembali ke perusahaan yang memiliki pelanggan dan
infrastruktur sungguhan. Sempat ada upaya perbaikan
ketika pemerintah melarang penjualan gas bertingkat pada 2016. Perusahaan
yang mendapatkan alokasi pembelian gas dari hulu hanya boleh menjual langsung
kepada konsumen akhir. Strategi ini berhasil memangkas pedagang kuota, tapi
tak menghilangkan hak absolut Menteri dalam menentukan siapa yang layak
mendapatkan gas. Kebijakan pemerintah juga
tak membantu menghidupkan industri gas nasional. Calon penerima alokasi hanya
perlu menunjukkan bukti kepemilikan atau penguasaan infrastruktur gas seperti
pipa tanpa harus membangun pasar baru. Harapan sempat muncul
ketika pemerintah bergembar-gembor mendorong peralihan kendaraan berbahan
bakar minyak menjadi menggunakan bahan bakar gas (BBG) pada 2012. Tujuannya:
mendongkrak pasar gas dalam negeri. Pelbagai cara dilakukan, seperti
membangun banyak stasiun pengisian bahan bakar gas dan meminta PT
Transportasi Jakarta (Transjakarta) memakai bus BBG. Satu dekade berlalu,
inisiatif-inisiatif tersebut berjalan sangat lambat. Transjakarta malah mulai
mengurangi bus berbahan bakar gas dengan alasan kurangnya stasiun pengisian
di Jakarta. Produsen otomotif pun enggan menjual kendaraan berbahan bakar
gas, yang membuat Indonesia tertinggal jauh dibanding Cina, India, dan
Pakistan. Setali tiga uang,
sambungan pipa gas untuk rumah tangga juga tak bertambah banyak. Pada 2018,
ada 463 ribu rumah tangga yang tersambung dengan gas bumi. Dua tahun
kemudian, jumlahnya hanya bertambah menjadi 673 ribu. Pemerintah melupakan
peluang besar dari gas bumi yang jauh lebih murah sebagai pengganti elpiji. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/169589/tata-kelola-gas-pgn |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar