Mengapa Pemerintah
Gagap Mengatasi Polusi Udara Jakarta Egi Adyatama : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 27
Agustus 2023
SILANG pendapat mencuat
dalam rapat kabinet terbatas di Istana Merdeka pada Senin, 14 Agustus lalu.
Dihadiri sepuluh menteri dan tiga kepala daerah, rapat itu membahas polusi
udara di Jakarta dan sekitarnya. Setelah Presiden Joko Widodo menanyakan
penyebab tingginya polusi Jakarta, para pejabat negara mulai menyampaikan
data yang berbeda. Menteri Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, yang hadir dalam rapat tersebut, membenarkan
ada perbedaan data dari sejumlah pejabat yang hadir. “Kami harus memastikan
data yang dipakai akurat,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ad
interim ini dalam wawancara melalui Zoom pada Rabu, 23 Agustus lalu. Sebelum Jokowi menggelar
rapat—untuk pertama kalinya membahas pencemaran udara di Jakarta—polusi udara
tengah mengepung Ibu Kota. Data IQAir, perusahaan teknologi asal Swiss,
menunjukkan bahwa tingkat polusi di Jakarta berada pada indeks 150-160 atau
masuk kategori tak sehat. Bahkan Jakarta sempat menduduki kota dengan udara
terburuk di dunia. IQAir juga mencatat angka
PM2.5 atau partikel halus yang berukuran kurang dari 2,5 mikron telah
melebihi ambang batas, yaitu berada di kisaran 70 mikrogram per meter kubik
atau empat-lima kali melebihi ketentuan Badan Kesehatan Dunia (WHO): 15
mikrogram per meter kubik. PM2.5 muncul dari
aktivitas seperti merokok, pembakaran kayu, emisi kendaraan bermotor, serta
jerubu dari pembangkit listrik atau industri berbahan bakar batu bara.
Partikel halus yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron itu mudah
tertiup angin. Besarnya kira-kira rambut dibelah 20. Mereka yang menghirup
partikel ini bisa mengalami batuk, sesak napas, atau infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA). Menteri Perhubungan Budi
Karya Sumadi, yang hadir dalam rapat di Istana, mengatakan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya memberikan informasi bahwa polutan utama
dalam polusi udara Jakarta adalah emisi kendaraan. Informasi itu juga
dibenarkan oleh Menteri Energi ad interim, Sandiaga Uno. Sandiaga punya kesimpulan
lain. Data yang ia bawa menyebutkan bahwa biang kerok utama polusi Jakarta
dan sekitarnya adalah aktivitas industri dan pembangkit listrik tenaga uap
(PLTU) berbahan bakar batu bara. “PLTU itu dimiliki oleh PLN maupun
pembangkit captive industry yang menggunakan fosil di pabrik-pabrik sekitar
Jakarta,” ucap Sandiaga. Data Sandiaga mirip dengan
temuan Centre for Research on Energy and Clean Air atau CREA. Hasil
pemantauan CREA pada Mei-Agustus 2023 menyebutkan lebih dari 130 industri,
termasuk PLTU batu bara, di sekitar Jakarta ikut menyumbang polutan PM2.5.
Pendiri CREA, Lauri Myllyvirta, mengatakan emisi itu terbawa angin dan
mengotori udara Jakarta. Pemerintah memilih
menggunakan data pemerintah DKI Jakarta serta Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK), yaitu hasil riset Vital Strategies. Organisasi asal
Amerika Serikat itu menyebutkan bahwa emisi karbon monoksida (CO) terbesar
datang dari sektor transportasi, yang menyumbang 96,36 persen atau 28.317 ton
per tahun. Adapun peran PLTU dan industri cuma 1,76 dan 1,25 persen. Masalahnya, data itu
diambil pada 2018-2019 dan baru dipublikasikan pada 2020. Country Coordinator
Vital Strategies Indonesia Chintya Imelda Maidir menyatakan data itu
disampaikan kepada pejabat KLHK pada Jumat, 11 Agustus lalu, tiga hari
sebelum rapat di Istana. “Data anyar baru bisa disimpulkan beberapa bulan ke
depan,” kata Imelda saat ditemui Jumat, 25 Agustus lalu. Data tersebut menjadi
satu-satunya acuan pemerintah dalam menetapkan kebijakan penanganan polusi.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto mengklaim data itu
masih bisa menjadi acuan inventarisasi emisi di Jakarta. “Kami meyakini
polanya sama karena memang kondisi Jakarta tak berubah,” tutur Asep. Dengan data lawas itu pula
Jokowi—memimpin rapat sambil terbatuk-batuk—meminta anak buahnya dan
pemerintah daerah segera bertindak mengatasi polusi di Jakarta dan
sekitarnya. “Betapapun data itu tak akurat, kami bersepakat bahwa polusi
udara harus segera ditangani,” ujar Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. ••• EMPAT hari seusai
pertemuan di Istana Merdeka, atau pada Jumat, 18 Agustus lalu, Menteri
Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan juga menggelar rapat
koordinasi di kantornya. Luhut meminta penanganan polusi udara Jakarta tak
hanya berfokus pada sektor transportasi, tapi juga mencakup penyumbang
polutan lain, seperti PLTU dan limbah industri. Deputi Bidang Transportasi
dan Infrastruktur Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Rachmat
Kaimuddin mengatakan, dalam rapat itu, Luhut meminta segala cara dicoba untuk
menekan tingkat polusi. “Pak Luhut meminta solusi yang dibuat bisa
dilaksanakan dengan cepat dan berkelanjutan,” kata Rachmat pada Rabu, 23
Agustus lalu. Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral ad interim, Sandiaga Uno, bercerita, ia sempat mendatangi PLTU
Suralaya milik PT Indonesia Power di Cilegon, Banten. Tujuannya, memastikan
kadar polusi yang dihasilkan pembangkit listrik bertenaga batu bara tersebut. Sejak menggantikan
sementara Menteri Arifin Tasrif, Sandiaga sering menerima berbagai data
mengenai penyebab polusi. Termasuk soal PLTU Suralaya yang berkapasitas 3.400
megawatt. “Bahwa polusi ini bersumber dari Suralaya,” ujar Sandiaga kepada
Tempo, Kamis, 24 Agustus lalu. PT Perusahaan Listrik
Negara atau PLN (Persero), induk dari Indonesia Power, mengklaim PLTU
Suralaya terus memonitor emisi menggunakan continuous emission monitoring
systems (CEMS) yang dipasang di cerobong asap. Data itu tersambung dengan
sistem digital Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Parameter PM2.5 di
sekitar lokasi pembangkit menunjukkan tren yang cenderung menurun dan masih
di bawah baku mutu ambient yang ditetapkan pemerintah,” tutur Executive Vice
President Komunikasi Korporat PT PLN Gregorius Adi Trianto, Kamis, 24 Agustus
lalu. Meski begitu, pertanyaan
terhadap kinerja PLTU di sekitar Jakarta, termasuk Suralaya, tetap mencuat.
Tiga pejabat bercerita, dalam rapat penanganan polusi Jakarta yang digelar di
kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi pada Jumat, 18
Agustus lalu, Menteri Luhut Pandjaitan menanyakan opsi shutdown sementara bagi
sejumlah PLTU tersebut. Opsi itu ditolak PLN.
Penghentian operasi dianggap akan mengganggu suplai listrik di Jakarta.
Dampak lain, pelanggan harus membayar lebih tinggi untuk mendapatkan pasokan
listrik. Pemerintah lantas meminta PLN mengakuisisi PLTU swasta di sekitar
Jakarta. Juga mengajak industri yang menggunakan sumber energi mandiri
berpindah ke listrik PLN. Dalam rapat bersama
Presiden pada Senin, 14 Agustus lalu, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo
justru mendorong industri menengah, yang menggunakan pembangkit kecil seperti
genset hingga yang memiliki PLTU mandiri, beralih menjadi pelanggan PLN. “PLN
memiliki cadangan listrik karena oversupply,” kata Sandiaga Uno. Opsi ini langsung
dieksekusi seusai rapat. PLN menjajaki pengambilalihan pelanggan yang selama
ini menggunakan jasa PLTU swasta. Namun rencana itu menuai penolakan dari
pengusaha. Wakil Ketua Dewan
Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani menyebutkan
swasta telah berinvestasi besar untuk membangun PLTU mandiri. “Negara enggak
bisa sembarangan. Investor bakal merugi,” ujar Hariyadi pada Jumat, 25
Agustus lalu. PLN pun mulai menjajaki
kerja sama dengan industri kecil yang selama ini menggunakan pembangkit
listrik mandiri. Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto
menyatakan kontrol dan pengawasan terhadap emisi dari industri kecil sulit
dilakukan. Sebab, mereka tak wajib memasang alat pemantau baku mutu emisi
seperti CEMS. Berselang tiga hari seusai
rapat di kantor Luhut Pandjaitan, Kementerian Lingkungan Hidup menurunkan
seratus personel pengawasan dan pengendalian dampak lingkungan ke enam titik
lokasi, yaitu Marunda, Cakung, Kelapa Gading, Pulo Gadung, Bekasi, dan
Karawang. Dua hari kemudian, KLHK
mengumumkan empat perusahaan ditutup karena dianggap mencemari udara. “Jika
menemukan pelanggaran lain, kami akan melakukan penindakan,” ucap Direktur
Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK Rasio Ridho
Sani, Rabu, 23 Agustus lalu. Upaya menjauhkan industri
dari penggunaan batu bara nyatanya masih jauh panggang dari api. Asep
Kuswanto mencontohkan, dua pabrik pengolah minyak sayur di Jakarta Utara
berniat mengkonversi batu bara dengan gas yang lebih bersih. Tapi
infrastrukturnya belum menunjang. “Mereka harus menunggu dua tahun supaya pipa
gas itu sampai di pabrik,” kata Asep. Tak hanya menyasar sumber
polusi dari PLTU dan industri, pemerintah juga berupaya menekan tingkat emisi
dari sektor transportasi. Tiga pejabat pemerintah yang ditemui Tempo
menyebutkan tingginya polutan dari sektor ini terkait dengan peningkatan
jumlah kendaraan. Salah satu pendorongnya adalah kebijakan diskon pajak
penjualan atas barang mewah atau PPnBM saat masa pandemi Covid-19. Data Badan Pusat Statistik
menunjukkan kenaikan jumlah mobil dari 3,3 juta pada 2020 menjadi 3,7 juta
pada 2022 di Jakarta. Secara keseluruhan, jumlah kendaraan pun meningkat dari
24,26 juta menjadi 26,37 juta unit. Ketua Asosiasi Sepeda
Motor Listrik Indonesia Budi Setyadi menyebutkan pertumbuhan penjualan mobil
didominasi oleh city car. Pada mudik Lebaran lalu, jumlah city car yang
melintasi jalan tol mencapai 60-70 persen. “Mobilnya baru dan banyak, tapi
kapasitas penumpangnya sedikit,” tutur Budi, Jumat, 25 Agustus lalu. Tingginya tingkat polutan
dari kendaraan bermotor juga disebabkan oleh ketiadaan uji emisi kendaraan
pribadi. Baru pada Jumat, 4 Agustus lalu, terbit Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 8 Tahun 2023 tentang Penerapan Baku Uji Emisi Kendaraan Bermotor.
Aturan itu mewajibkan pemilik kendaraan melampirkan hasil uji emisi sebagai
syarat administratif pembayaran pajak kendaraan. Opsi menghapus bahan bakar
minyak dengan kadar research octane number atau RON 90 seperti Pertalite juga
sempat mencuat. Namun Presiden Joko Widodo menolak opsi itu. Menurut Sandiaga
Uno, Jokowi khawatir penghapusan Pertalite berdampak pada perekonomian.
“Presiden bilang implikasinya pada kenaikan biaya hidup masyarakat,” kata
Sandiaga. Upaya pemerintah menekan
laju emisi sektor transportasi juga dilakukan dengan penerapan work from home
(WFH). Ide ini dimunculkan oleh penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi
Hartono. Pada Jumat, 18 Agustus lalu, ia menerbitkan surat edaran yang
mengatur 50 persen aparatur sipil negara di DKI bekerja dari rumah. Aturan
itu berlaku hingga 21 Oktober mendatang. Berjalan selama empat
hari, Heru mengklaim kebijakan itu mampu mengurangi 2 persen jumlah kendaraan
di Jakarta. “Tingkat kemacetan pun turun 4 persen,” ujar Heru kepada Tempo,
Jumat, 25 Agustus lalu. Kebijakan ini kemudian
diperluas ke wilayah di sekitar Jakarta lewat penerbitan instruksi Menteri
Dalam Negeri pada Selasa, 22 Agustus lalu. Instruksi itu juga mengimbau
masyarakat menggunakan transportasi umum, mengurangi penggunaan kendaraan
pribadi, mengenakan masker, hingga menerapkan kembali pembelajaran jarak jauh
bagi anak sekolah. ••• SEBELUM pemerintah
kalang-kabut mengatasi polusi Jakarta dan sekitarnya, berbagai lembaga telah
memberikan masukan soal kebijakan untuk mengatasi pencemaran udara. Country
Coordinator Vital Strategies Indonesia Chintya Imelda Maidir menyebutkan
lembaganya telah lama mendorong pemerintah membuat aturan baku uji emisi. “Baru dieksekusi oleh
Kementerian Lingkungan Hidup saat orang ramai membahas polusi,” kata Imelda
pada Jumat, 25 Agustus lalu. Direktur Eksekutif Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia Zenzi Suhadi pun menyatakan telah mengingatkan
pejabat Kementerian Lingkungan Hidup soal polusi udara Jakarta yang akan
terus meningkat. “Saat itu mereka masih ngeles bahwa polusi dipengaruhi angin
yang tak berembus. Polusi tak menjadi concern mereka,” ucap Zenzi, Selasa, 22
Agustus lalu. Ketidakpedulian pemerintah
terhadap persoalan polusi udara di Jakarta dan sekitarnya, menurut Zenzi,
terlihat dari pengajuan permohonan kasasi dalam kasus pencemaran udara pada
November 2022. Sebelumnya, pada 16 September 2021, Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat memutuskan Presiden Jokowi bersama anak buahnya dan sejumlah kepala
daerah lalai mengurus polusi udara. Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral ad interim, Sandiaga Uno, mengatakan ia telah mengajukan
persoalan polusi udara Jakarta saat menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta pada
rentang Oktober 2017-Agustus 2018. “Saat itu enggak terlalu ditanggapi,” ujar
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ini. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/169598/polusi-udara-jakarta |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar