Mengapa Frans
Kaisiepo Ingin Mengubah Nama Papua Menjadi Irian? Egi Adyatama : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 13
Agustus 2023
TIGA dekade berlalu, Frans
Kaisiepo masih mengulas kehadirannya di Konferensi Malino di Sulawesi Selatan
pada Juli 1946. Pemerintah Hindia Belanda mengadakan pertemuan itu untuk
membahas pembentukan negara bagian yang meliputi daerah di wilayah timur
Indonesia, Republik yang belum genap berusia setahun. Papua tak langsung masuk
menjadi wilayah Indonesia pada awal kemerdekaan karena masih dikuasai
pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus van Mook
menggelar konferensi agar daerah di Timur Raya atau De Groote Oost bersedia
membentuk persemakmuran di bawah Kerajaan Belanda. Papua diharapkan mau
bergabung dengan pemerintahan baru tersebut. “Frans Kaisiepo justru
mengusulkan perubahan nama Papua dalam konferensi,” kata menantu Frans,
Samuel Manggaprouw, ketika dihubungi pada Selasa, 25 Juli lalu. Samuel, yang
menikah dengan putri Frans, Susana Kaisiepo, mendengar langsung cerita dari
Frans saat mereka bertemu di pesanggrahan mereka di Pantai Base G, Jayapura,
pada Oktober 1978. Frans diundang menjadi
peserta Konferensi Malino karena berprofesi pegawai pamong praja dan alumnus
sekolah bestuur. Pemerintah Hindia Belanda sempat mengundang Frans ke
Jayapura dalam taklimat mengenai tujuan konferensi yang hendak membentuk
pemerintahan koloni Kerajaan Belanda. Kepada Samuel, Frans mengatakan
nama Papua tak berasal bahasa lokal Bumi Cenderawasih. Frans meyakini Papua
berasal dari bahasa masyarakat Maluku, "pua-pua". Artinya orang
berambut keriting dan berkulit legam. Sollewijn Gelpke, sarjana Universiteit
Leiden, Belanda, dalam "On the Origin of the Name Papua" (1993)
mencatat etimologi Papua dalam beberapa versi. Dalam catatan Gelpke,
Papua mungkin berakar dari kata "papoewa" yang diucapkan masyarakat
Melayu Ambon yang berarti kusut masai. Para pelaut asal Ambon menyematkan
julukan ini bagi penduduk yang mendiami Papua Nugini. Versi lain, Papua
berasal dari bahasa Biak, "papus". Artinya kekayaan atau barang
impor—istilah yang muncul karena kapal-kapal dagang ramai bersandar di pulau
itu. Apa pun asal-usul katanya,
Frans menilai nama Papua merupakan penghinaan. “Papua dianggap merendahkan
martabat kami,” tutur Samuel. Hendak mengganti nama daerahnya, Frans
mengusulkan "Irian". Risalah “Catatan Mengenai Irian Barat” yang
ditulis Frans menjelaskan kata "Irian" berasal dari bahasa Biak yang
berarti panas. Para pelaut Biak selalu
mengharapkan datangnya panas atau sinar terik matahari saat kabut menyelimuti
perjalanan mereka mengarungi lautan. Bagi Frans, seperti tertulis dalam
risalahnya yang kini tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia, Irian
bermakna cahaya terang yang mengusir kegelapan. Frans melontarkan gagasan
perubahan nama Papua menjadi Irian saat Konferensi Malino memasuki hari
kedelapan. Meski demikian, "On the Origin of the Name Papua" yang
ditulis Sollewijn Gelpke menyebutkan Markus Wonggor Kaisiepo—saudara
Frans—yang pertama kali mencetuskan perubahan nama Papua menjadi Irian pada
1945. Irian versi Markus bermakna semangat yang membubung. Usulan Frans mengganti
nama Papua membuat Hindia Belanda tersentak. Pemerintahan sipil Hindia
Belanda atau NICA kecewa terhadap isi diskusi. Alih-alih memperkuat ide
membentuk persemakmuran, usulan Frans dianggap berpotensi menggagalkan
pembentukan pemerintahan kolonial di timur Indonesia. NICA kemudian menggelar
lagi konferensi serupa di Denpasar, Bali, pada Desember 1946. Sukarno justru yang
mencomot ide keluarga Kaisiepo mengubah nama Papua menjadi Irian. Keputusan
pahlawan proklamasi itu tak lepas dari manuver politik dan propaganda untuk
menjadikan Papua bagian dari wilayah Republik Indonesia. Sukarno
mempopulerkan Irian sebagai akronim “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”. Sekretaris Jenderal
Presidium Dewan Papua Mohammad Thaha Alhamid mengklaim nama Irian merupakan
ide orisinal Bung Karno. Presiden pertama itu menitipkan gagasannya kepada
Soegoro Atmoprasodjo, orang dekat Sukarno yang pernah menjadi pengurus asrama
sekolah bestuur. Frans pernah mengenyam pendidikan di sekolah itu untuk
menjadi calon pegawai pamong praja. Menurut Thaha, orang tua
Marthen Indey—tokoh pergerakan Papua dan kolega Frans di sekolah
bestuur—pernah bercerita kepadanya bahwa Soegoro meminta para pemuda
memeriksa etimologi nama Irian. “Frans Kaisiepo yang memastikan bahwa itu
mirip bahasa Biak,” ucap Thaha. Upaya mengubah nama Papua
membuat Frans berselisih dengan sepupunya, Markus Kaisiepo. Frans meyakini
Papua bisa sejahtera jika bergabung dengan Indonesia. Sedangkan Markus
berpendapat sebaliknya, mengintegrasikan Papua ke Republik Indonesia tak akan
membuat masyarakat Papua menjadi lebih baik dan merdeka. Perbedaan sikap politik
antara Frans dan Markus dalam memandang kemerdekaan Papua terus berlanjut.
Ketika keduanya mendirikan partai politik, Frans memilih mendeklarasikan
Partai Indonesia Merdeka pada 1946 dan Partai Irian Sebagian Indonesia pada
1961. Garis perjuangan partai ini adalah menuntut penyatuan wilayah Papua ke
Indonesia yang baru merdeka. Sementara itu, Markus
menjadi motor Gerakan Persatuan Nieuw Guinea pada 1940, lantas mendirikan
Partai Rakyat Demokratis pada 1957. Sebagaimana cita-cita Markus, organisasi
politik itu menuntut kemerdekaan penuh bangsa Papua. Sejarawan Universitas
Cenderawasih, Albert Rumbekwan, menyebutkan langkah politik Markus dilakukan
sebagai ancang-ancang untuk masuk ke Nieuw Guinea Raad, lembaga perwakilan rakyat
yang dibentuk pemerintah kolonial. Markus menilai rakyat Papua bisa
menentukan nasib sendiri jika bergabung dengan lembaga politik tersebut. Sampai hari ini, gagasan
Frans yang berjalan. Papua menjadi bagian dari Indonesia lewat Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) yang berlangsung pada Juli-Agustus 1969. Keabsahan
hasil Pepera itu belakangan dipersoalkan para aktivis kemerdekaan di Papua
karena militer Indonesia dianggap turut campur dalam penentuan sikap
masyarakat Papua. Markus kemudian memilih berpindah
ke Belanda. Kerabat Frans, Fonny Kaisiepo, mengatakan hubungan Frans Kaisiepo
dengan Markus tak pernah pulih sejak Papua bergabung dengan Indonesia.
Komunikasi mereka putus bahkan sampai Frans wafat pada 1979. “Tak ada ucapan
belasungkawa,” kata Fonny kepada Tempo di Biak Numfor, Rabu, 2 Agustus lalu. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169449/makna-nama-papua |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar