Kapan Nasionalisme
Marthen Indey Tumbuh? Aisha Shaidra : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 13
Agustus 2023
MARTHEN Indey baru sadar
dia, keluarga, dan 31 anak buahnya akan diasingkan begitu kapal motor yang
membawa mereka tiba di Anida, Pesnamnam, satu kawasan hutan di hulu Sungai
Digul, Papua Selatan. Pantas saja, pemerintah kolonial Belanda yang saat itu
menduduki Papua memerintahkan mereka membuka hutan dan membangun bivak-bivak
di belantara itu. Padahal tempat itu sangat menyeramkan karena menjadi tempat
tinggal suku Jair dan Mandobo yang kerap membunuh musuh-musuhnya. Tak diketahui persis kapan
mereka mulai diasingkan. Hanya, waktunya berdekatan dengan masuknya pasukan Jepang
ke Kota Fakfak pada 1 April 1942. “Tadinya kami kira itu hanya tugas
sementara. Tahu-tahu saya, istri, Mama, dan anak angkat kami yang berumur dua
tahun diberangkatkan bersama keluarga polisi lain,” kata Marthen dalam
wawancara dengan wartawan, sosiolog, dan aktivis lingkungan, George Junus
Aditjondro. “Kami dibuang secara halus,” Marthen menambahkan. Kisah ini tertulis dalam
artikel George Junus Aditjondro berjudul "Marthin Indey, Pilar
Perjuangan Pembebasan Irian Barat di Jayapura" yang terbit di majalah
Prisma edisi 2 Februari 1987. Pengasingan berbungkus penugasan itu adalah
buntut bocornya rencana Marthen Indey dan anak buahnya yang hendak menangkap
orang-orang Belanda dan membebaskan pejuang kemerdekaan Indonesia yang
ditahan di Boven Digoel. Marthen ketika itu menjabat wakil komandan polisi
jaga atau tweede posthuis commandant, salah satu divisi polisi kolonial
Belanda di Papua. Rencana gerakan itu
disusun di dalam rapat-rapat gelap di tengah keseharian para polisi itu
menjalani tugas. Marthen dan agen polisi bawahannya akan menangkap atasannya,
Inspektur Kontroler Wagner. Sialnya, ada satu bawahan Marthen yang berkhianat
dan rencana itu bocor ke pihak Belanda. Walhasil, selama delapan bulan
Marthen dan para polisi berikut keluarganya diasingkan di hutan rimba. Mereka
hidup nomaden dan memakan apa saja yang ada di hutan, seperti umbut-umbut
sagu, pinang hutan, kulit pohon ganemo, dan ikan sungai. Menurut Marthen, beberapa
anak buahnya yang masih membujang mencoba melarikan diri menembus hutan dan
menyeberangi Sungai Digul. Tak diketahui bagaimana nasib mereka tatkala
menerabas hutan lebat yang penuh dengan pohon-pohon besar serta bengawan yang
panjang itu. Toh, Marthen bersama istrinya, Agustina Heumassey, serta dua
anak angkat mereka, Frans Marcelino Engelbert Indey dan Fikena Soroway Indey,
bertahan selama hampir delapan bulan. Dinas polisi Belanda kemudian memanggil
dia kembali dan menugasinya memata-matai tentara Jepang di Asmat. Lepas dari perkara ini,
pada Juli 1943, Marthen ditugasi ke Australia. Selain Marthen dan keluarga
kecilnya, ada 32 pegawai Belanda yang naik kapal dari Tanah Merah, Digul,
menuju Brisbane dan Cairns. Di Negeri Kanguru, dia mengikuti pelatihan
pasukan terjun payung dan menjalani pendidikan spionase bersama Netherland
Forces Intelligence Service, dinas intelijen Belanda. ••• RENCANA penculikan yang
gagal adalah momen bergabungnya Marthen Indey dengan gerakan yang membela
Republik Indonesia. Buku Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas
Papare yang ditulis Onnie Lumintang menyebutkan simpati Marthen pada
Indonesia muncul ketika ia yang bertugas di dinas polisi Belanda pindah tugas
dari Manokwari ke Tanah Merah, Digul. Marthen yang berkarier
sebagai polisi Belanda memang sering bertugas di daerah dengan medan sulit
dan tugas berat. Salah satunya pada Juli 1940, saat pemerintah Belanda
menugasi Marthen membantu dinas rahasia mengawasi pergerakan intelijen Jepang
di Manokwari. Ketika itu para spion Jepang menyebar di beberapa daerah dan
menyamar menjadi nelayan atau pekerja di perkebunan kapas serta pabrik. Suatu ketika, saat
bertugas kawasan di Tanah Merah, Marthen bertemu dengan orang-orang Indonesia
yang menjadi tahanan pemerintah Belanda. “Marthen Indey sering duduk dan
bercerita dengan para tahanan,” demikian petikan buku yang ditulis oleh Onnie
Lumintang. Wartawan dan aktivis George Junus Aditjondro yang pernah
mewawancarai Marthen yakin pada momen inilah simpati terhadap gerakan
perjuangan Indonesia muncul. Menurut George dalam tulisannya di majalah Prisma,
Marthen pada mulanya berinteraksi dengan para tahanan itu untuk memata-matai
kegiatan mereka. Tapi lama-kelamaan Marthen terpikat oleh cara berpikir dan
pengalaman para tahanan itu. Di sana pula Marthen
bertemu dengan Soegoro Atmoprasodjo, pengajar di Tamansiswa dan aktivis
Partai Indonesia (Partindo). Belanda membuang Soegoro ke Digul pada 1935
dengan tuduhan terlibat dalam pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Jawa
Tengah pada 1926-1927. Marthen juga berkenalan dengan Sukardjo, mantan
anggota angkatan laut asal Bandung, dan Hamid Siregar, anggota Partindo
cabang Medan. Pada masa awal pendudukan
Jepang, Soegoro termasuk daftar tahanan yang dibawa pemerintah Belanda ke
Australia. Begitu Jepang bertekuk lutut kepada tentara sekutu, Soegoro
kembali ke Papua setelah direkrut untuk mengajar oleh Residen Papua dan
pendiri Sekolah Pamong Praja, J.P.K. van Eechoud. “Soegoro sangat dipercaya
Van Eechoud dan dianggap loyal kepada Belanda sehingga diangkat menjadi
direktur pertama Sekolah Pamong Praja,” ujar Bernarda Meteray dalam buku
Nasionalisme Ganda Orang Papua. Hubungan Marthen dengan
Soegoro pun berlanjut ketika Soegoro kembali ke Papua. Setelah berdiskusi
dengan Soegoro, Marthen punya angan-angan agar Papua bisa lepas dari
pemerintah kolonial Belanda. Tokoh masyarakat Papua, Thaha Alhamid, juga
membenarkan bahwa Soegoro punya pengaruh terhadap rasa kebangsaan Marthen
Indey dan beberapa tokoh Papua saat itu. "Dia adalah guru kami. Dia
adalah mentor kami," tutur Thaha, mengulang perkataan Marthen kepadanya.
Tempo menemui Thaha pada Juli lalu. Ketika menjadi bagian dari
tentara sekutu, Marthen Indey terlibat dalam sejumlah pertempuran melawan
Jepang di Biak, Morotai, juga Leyte. Dia pun terlibat dalam operasi
pembersihan di Arso, Waris, dan Sarmi pada Januari-Maret 1945. Pada masa
pembersihan inilah Marthen bertemu dengan Silas Papare, Corinus Marselus
Koreri Krey, dan Samuel Damianus Kawab. Mereka lantas memberontak terhadap
Belanda seraya memperluas gagasan untuk melepas belenggu penjajahan. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169448/nasionalisme-marthen-indey |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar