Kecanggihan Drone Anka Buatan Turki Zacharias Wuragil : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 27
Agustus 2023
SELEPAS jam makan siang
pada Senin, 24 Juli lalu, perjalanan berkeliling fasilitas milik Turkish
Aerospace Industries (TAI) di pinggiran Ankara, Turki, sampai ke kompleks
hanggar yang dihadang sebuah portal. “Di sinilah area untuk pengembangan dan
uji produk pesawat-pesawat baru TAI," kata kepala relasi media TAI Tunca
Toroglu, menerangkan. Produk itu antara lain drone Anka. Anka adalah salah satu
produk TAI yang menjadi target kunjungan Tempo dan lima awak media lain dari
Indonesia dan Malaysia. Drone atau pesawat udara nirawak (UAV) tempur buatan
Turki yang belakangan naik pamor ini adalah bagian dari perkembangan pesat
industri pertahanan TAI dalam 20 tahun terakhir atau Turki secara
umum—republik yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-50. Anka memang tak seperti
Bayraktar TB2 milik Baykar Makina Technologies yang terlibat dalam perang di
Ukraina. Tapi lingkup kiprahnya tak kalah luas. Berada di kelas
medium-altitude long-endurance atau MALE, Anka kini menjadi bagian dari alat
tempur angkatan bersenjata Turki, Tunisia, Angola, Kazakstan, dan Kirgistan. Anka
pun menarik minat lebih banyak pengguna dengan beberapa negara lain, seperti
Indonesia dan Malaysia, berada di daftar ekspornya. "Untuk Indonesia,
akan kami kirim 12 unit. Kami juga berencana membangunnya di PTDI (PT
Dirgantara Indonesia). Insyaallah. Itu semua ada di dalam kontrak,"
tutur Presiden dan Chief Executive Officer Turkish Aerospace Industries Temel
Kotil kepada Tempo dan jurnalis lain di sela International Defence Industry
Fair Ke-16 di Istanbul, Rabu, 26 Juli lalu. Pernyataan itu belakangan
dikonfirmasi di Tanah Air lewat siaran pers Sekretariat Jenderal Kementerian
Pertahanan bertanggal 31 Juli 2023. Dalam siaran itu disebutkan kontrak
pembelian 12 unit UAV Anka dari Turkish Aerospace Industries senilai US$ 300
juta atau hampir Rp 4,6 triliun tersebut diteken pada 3 Februari lalu dan
saat ini masih dalam proses aktivasi di Kementerian Keuangan. Keterangan pers Badan
Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan melalui juru bicara Edwin Adrian
Sumantha menyebutkan Anka dipilih karena mengacu pada kebutuhan operasi dan
spesifikasi teknis yang diajukan Tentara Nasional Indonesia. “Kalau Elang
Hitam masih dalam tahap awal pengembangan. Setelah itu mengajukan permohonan
sertifikasi, butuh sekitar tiga tahun lagi,” katanya menerangkan alasan
meninggalkan wahana nirawak Elang Hitam yang sebelumnya diinisiasi. Anka berada di antara
hanggar jet tempur latih sekaligus pesawat tempur ringan Hurjet dan
helikopter serang Atak. TAI menunjukkan pengembangan drone tempur asli Turki
ini yang sudah sampai ke generasi ketiga. Satu modelnya, Anka III, tampak di
satu sudut teras hanggar, mencolok karena berbalut material hitam dengan
sayap delta. Ditunjukkan juga bagian dari struktur wahana nirawak itu dan cat
berteknologi tinggi—yang menjadi fitur kunci kemampuan menyerap gelombang
radar. "Anka III memiliki
kecepatan tinggi sampai 0,7 mach (864 kilometer per jam) dan platform yang
dapat diamati rendah (siluman) dengan kemampuan serangan udara-ke-udara dan
udara-ke-darat," ucap salah seorang insinyurnya, memperkenalkan drone
itu. Dijadwalkan menjalani tes
terbang perdana pada akhir tahun ini, Anka III mengingatkan pada stealth
bomber Amerika Serikat dalam hal rupa. Tapi TAI mengaku tak ada hubungan
antara Amerika dan Turki dalam pembuatan wahana itu. "UAV yang sudah
kami buat tidak ada yang joint venture. Semuanya homeground, homemade, home
design, home build, home-tested," kata Mehmet Demiroğlu, Wakil Presiden
Eksekutif TAI, saat ditanyai mengenai kemiripan itu. Di hanggar yang sama,
berposisi lebih di depan, terdapat Aksungur. Dengan bentang sayap sejauh 24
meter, Aksungur adalah versi mesin turboprop kembar Anka. Aksungur didesain
bisa terbang lebih tinggi dengan durasi lebih lama daripada Anka yang mampu
melayang-layang hingga 30 jam dengan ketinggian maksimal 30 ribu kaki (9.144
meter) di atas permukaan. "Bertahan di udara 50
jam lebih.... Bisa tetap di udara bahkan ketika pilotnya di darat
tertidur," ucap Temel Kotil saat berbicara tentang Aksungur. Dengan
spesifikasi itu, Demiroğlu menambahkan, Anka dan Aksungur sangat baik untuk
kebutuhan pemantauan ataupun pengintaian seperti di perairan atau daerah
perbatasan. "Ya, Anda bisa memakai wahana nirawak Bayraktar, tapi mereka
tidak didesain untuk misi itu," ujar Demiroğlu membandingkan. Sejumlah senjata berbaris untuk
kelengkapan Anka dan Aksungur sebagai drone tempur. Senjata adalah muatannya
selain sistem radar, kamera, dan alat komunikasi. Di antaranya yang
ditunjukkan adalah Kuzgun-SS, salah satu anggota keluarga amunisi modular
terpandu (GMM) kelas 100 kilogram yang mampu menghancurkan kendaraan tempur
di darat. Sejumlah bom presisi dan
rudal antitank berpenuntun laser pun diperlihatkan. Demikian pula Super
Simsek, sistem pesawat nirawak yang lebih kecil dan ringan serta multifungsi
buatan anak usaha TAI. Semua bisa dipilih dan dikombinasikan mengikuti
kapasitas muatan Anka yang sebanyak 350 kilogram dan Aksungur yang dua kali
lipatnya. "Maaf, tidak boleh
mengambil gambar dan video selain model Anka III," kata Tunca Toroglu
menerjemahkan pesan tim insinyur Anka saat Tempo asyik merekam seluruh isi
teras hanggar itu. Tim itu memang sedang membuka bagian mesin kembar
Aksungur: mesin diesel PD-170 dual turbo. Beberapa insinyurnya juga tengah
sibuk bekerja pada bagian lain drone siap pakai itu. Anka ternyata tak asing
bagi Fadilah Hasim, Kepala Pusat Riset Teknologi Penerbangan Badan Riset dan
Inovasi Nasional. Wahana nirawak yang namanya diambil dari nama burung besar
dalam mitologi Persia ini menjalani uji aerodinamika dan simulasi terbang di
terowongan angin milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di
Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Banten, sepanjang
2008-2016. Pada 2018, Aksungur juga
pernah dikirim ke fasilitas Indonesian Low Speed Tunnel tersebut dan Fadilah
mengaku ikut mengujinya—sebelum TAI kemudian mengembangkan fasilitas ujinya
sendiri dan menjadi mandiri hingga kini. "Mungkin agak berlebihan, tapi
kami biasa bilang Anka dulu dibuahi dan lahir di Turki, tapi hamilnya di
Indonesia," tuturnya. Fadilah mengungkapkan,
saat Kementerian Pertahanan memutuskan membeli drone CH-4 dari Cina pada
2019, para perekayasa BPPT kala itu sudah merekomendasikan Anka. Mereka paham
benar bagaimana Anka-S yang kini dikembangkan para insinyur di TAI terpilih
dari semula tiga blok model Anka. Begitu juga pengujiannya, dari uji sayap 2D
sampai konfigurasi penuh untuk stabilitas dan performa. Dari pihak Turki, Temel
Kotil telah menyatakan komitmennya mengenai "transfer teknologi tanpa
batas". Penegasan serupa
disampaikan Mehmet Demiroğlu. Menurut dia, TAI bukanlah perusahaan yang hanya
menjual produk, tapi juga siap hadir terutama untuk negara sahabat, di
antaranya Indonesia. "Kami tidak akan kehilangan pasar dengan berbagi
apa yang kami miliki," ujarnya. Sementara itu, PT
Dirgantara Indonesia yang namanya telah disebut terang-terangan oleh Temel
Kotil mengaku belum mengetahui detail rencana transfer teknologi yang menjadi
bagian dari kontrak pembelian selusin Anka oleh Kementerian Pertahanan.
"Kami masih menunggu," kata Asisten Manajer Komunikasi Eksternal
PTDI Kerry Apriawan. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/ilmu-dan-teknologi/169568/drone-anka-turki |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar