El Nino Petani Tebu Retno Sulistyowati : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 20
Agustus 2023
KENAIKAN harga gula tak
serta-merta membuat Enal, pedagang bahan pangan pokok di Pasar Sentral
Hamadi, Distrik Jayapura Selatan, Papua, memasang label baru di kemasan
barang dagangannya. Ia tetap membanderol gula di bawah harga patokan yang
ditetapkan pemerintah. Harga patokan pemerintah mencapai Rp 16 ribu per
kilogram, tapi Enal menjual gula Rp 15 ribu saja. "Supaya penjualan
lancar," kata pemilik Kios Widara itu saat ditemui Tempo di lapaknya
pada Kamis, 17 Agustus lalu. Menurut Enal, harga gula
putih sudah naik setahun terakhir. Agen menaikkan harga dari Rp 730 ribu per
sak berisi 50 kilogram menjadi Rp 740 ribu. Meski tak ikut mengerek harga,
Enal tak merasa rugi karena dia masih mendapat keuntungan Rp 1.200 per
kilogram. “Biar cepat ambil lagi yang baru dan langganan senang belanja,”
ujarnya. Enal berbeda dengan Andi,
pedagang toko kelontong di Pasar Sentral Hamadi yang sudah setahun
menyesuaikan harga. Dia punya strategi lain, yaitu menekan harga bahan pokok
lain supaya pelanggan tidak lari. "Biasanya konsumen tidak hanya membeli
satu jenis bahan pokok," katanya. Toh harga gula di beberapa supermarket
di Kota Jayapura pun tak seragam. Supermarket Saga, misalnya, menjual Rp 15
ribu per kilogram, sementara Supermarket Mega Rp 16.500. Kenaikan harga gula
konsumsi rumah tangga memang merujuk pada regulasi baru, yaitu Peraturan
Badan Pangan Nasional Nomor 17 Tahun 2023. Peraturan itu mengatur harga acuan
penjualan gula konsumsi di tingkat konsumen Rp 14.500 per kilogram atau Rp
15.500 per kilogram khusus di wilayah Indonesia bagian timur yang meliputi
Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Papua Pegunungan, Papua Tengah,
Papua Selatan, dan Papua Barat Daya. Harga Rp 15.500 per
kilogram juga berlaku di wilayah tertinggal, terluar, terpencil, dan
perbatasan. Untuk tingkat produsen atau gula petani, aturan baru ini
menetapkan harga acuan pembelian Rp 12.500 per kilogram. Harga-harga acuan
ini berlaku mulai 21 Juli lalu. Kepala Badan Pangan
Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan kebijakan menaikkan harga acuan gula
konsumsi diambil untuk mencapai keseimbangan di tingkat produsen, pedagang,
dan konsumen. “Agar kewajaran harga di tiga lini tersebut tetap terjaga
sesuai harga keekonomian saat ini," ucapnya pada Rabu, 9 Agustus lalu. Menurut Arief, kenaikan
harga acuan sebesar Rp 1.000 per kilogram telah melalui diskusi dan
pembahasan serta mendapat masukan dari berbagai pemangku kepentingan sektor
pergulaan. Pemerintah juga memperhitungkan biaya pokok produksi dengan
mempertimbangkan kenaikan harga pupuk, benih, tenaga kerja, dan ongkos
distribusi. Arief mengatakan Presiden
Joko Widodo yang meminta harga pangan di tingkat produsen, pedagang, dan
konsumen berada di level yang wajar. Karena itu, ia meminta harga acuan gula
konsumsi di tingkat produsen dapat segera terwujud. Dengan harga jual gula
yang baik, pemerintah berharap dapat memotivasi petani untuk meningkatkan
produksi sehingga suplai bahan baku tebu bertambah dan ketersediaan gula
dalam negeri meningkat. ••• LELANG gula milik petani
yang difasilitasi PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) atau Sugar Co di Surabaya
pada Rabu, 16 Agustus lalu, kembali gagal memenuhi harga ketetapan pemerintah
Rp 12.500 per kilogram. Penawaran tertinggi yang masuk melalui holding pabrik
gula pelat merah itu hanya Rp 12.175. Walhasil, stok yang tersedia sebanyak
16.457 ton, semuanya hasil penggilingan 17 eks pabrik gula PT Perkebunan
Nusantara XI, tidak terjual. Direktur Utama SGN Aris
Toharisman membenarkan posisi penawaran lelang gula masih di bawah ketetapan
Badan Pangan Nasional. Menurut dia, para pemangku kepentingan sektor
pergulaan perlu berkoordinasi kembali. Aris pun mengusulkan pembentukan
penyangga harga gula yang ditunjuk pemerintah untuk menjaga stabilitas harga
di tingkat petani. Kondisi serupa ini dialami
Irawan, petani tebu di Kediri. Dia mengaku tak pernah mendapat harga yang
sesuai dengan patokan Badan Pangan Nasional. “Hasil lelang enggak sampai
segitu,” ujarnya pada Kamis, 17 Agustus lalu. Irawan mengaku pernah mendapat
harga Rp 12.200 per kilogram, tapi di lain waktu sering kurang dari itu. Menurut Ketua Asosiasi
Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Didik
Purwanto, kegagalan lelang ini adalah yang kesekian kali. “Harga tidak pernah
mencapai ketentuan,” katanya kepada Tempo sesaat setelah lelang berakhir.
“Petani gula makin terpuruk.” Sebelum aturan harga acuan
terbit, Badan Pangan Nasional telah membuat surat edaran yang meminta
pengusaha membeli gula di tingkat petani minimal Rp 12.500 per kilogram mulai
3 Juli lalu. Tapi surat edaran itu tak mempan memperkuat posisi tawar petani.
Menurut Didik, petani menuntut harga lelang sesuai dengan regulasi baru. Bila
harga berada di bawah acuan, petani meminta SGN tidak melego gula kepada
pedagang. “Kami mengancam, kalau sampai SGN melepas, kami akan menuntut.” Petani, Didik menambahkan,
sebenarnya sudah membentuk tim penyaluran gula dan menggelar lelang mandiri.
Dalam empat kali lelang, harganya masih jauh di bawah acuan pemerintah, yaitu
Rp 12.015-12.055 per kilogram. Tapi toh petani tetap melepas rata-rata 1.500
ton gula dalam setiap lelang. “Tapi petani jadi bangkrut,” tuturnya. Kepala Badan Pangan
Nasional Arief Prasetyo Adi tak menampik fakta tersebut. Ia mengatakan
lembaganya akan berbicara dengan para pedagang besar agar tujuan regulasi
baru tercapai. Solusi lain adalah badan usaha milik negara harus punya dana
yang cukup untuk menjadi pembeli siaga (offtaker). Gula bisa digunakan
sebagai stok atau cadangan pemerintah (food reserve) seperti yang diterapkan
pada komoditas beras. “Masih kami perjuangkan bersama,” ia menjelaskan kepada
Tempo, Kamis, 17 Agustus lalu. Badan Pangan mendorong
kolaborasi antar-BUMN di sektor pangan, yakni Perusahaan Umum Badan Urusan
Logistik atau Bulog, Id Food (PT Rajawali Nusantara Indonesia [Persero]), dan
SGN, untuk merancang kerja sama pasokan dan pendanaan guna menstabilkan
pasokan dan harga gula. Tujuannya adalah memenuhi kebutuhan gula nasional,
meningkatkan kesejahteraan petani tebu, dan menjaga stabilitas harga di
tingkat petani hingga konsumen. Pelibatan BUMN sektor
pangan, menurut Arief, merupakan bagian dari perbaikan tata kelola gula
nasional sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2022 tentang
Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah. Pemerintah berharap stok gula
rata-rata 100-150 ribu ton terpenuhi. Persoalannya, urusan gula
tak hanya menyangkut harga di tingkat petani ataupun konsumen. Ada pula
masalah produksi. Irawan, yang mengelola kebun di Kediri, mengatakan panen
tebu kali ini jeblok karena cuaca yang panas-kering dan serangan hama ulat
pemakan akar. Hama ini disebut embug di Kediri. Irawan bersama kelompok tani
di Kediri mendapat penjelasan, musim kemarau basah pada tahun lalu membuat
telur atau larva ulat menetas. “Serangannya luar biasa di Kediri,” ujarnya.
Irawan menyebutkan kondisi terparah dialami Kecamatan Puncu. Di sana,
sebanyak 80 persen tanaman tebu mati. “Terjadi gagal panen.” Hama ulat juga menyerang
lahan-lahan tebu di Malang hingga Lumajang. Sekretaris APTRI Lumajang Faisol
mengatakan ribuan hektare kebun tebu di wilayah selatan Lumajang terserang
hama. Faisol menyatakan telah melaporkan masalah ini kepada Kementerian
Pertanian. “Tapi Kementerian Pertanian menyarankan kami ke Dinas Pertanian.” Kepala Bidang Perkebunan
Dinas Pertanian Kabupaten Lumajang Mamik mengatakan hama uret atau gayas
menyerang dengan cara merusak akar tanaman tebu. Menurut diam lembaganya
telah mensosialisasi dua cara, yaitu pengendalian mekanik dengan cara
mengambil hama uret setelah masa panen serta pengendalian hayati dengan
memakai metarhizium. “Kami menyampaikan cara ini kepada kelompok tani dan
tokoh petani tebu.” Meski di lapangan para
petani mengaku produksi turun drastis, Badan Pangan Nasional masih
optimistis. “Insyaallah stok gula konsumsi cukup,” ujar Arief Prasetyo Adi.
Dia mengutip keterangan para ahli dan akademikus yang menyatakan jumlah
produksi hanya berkurang 2-5 persen.
“Belum ada informasi bahwa hama akan berpengaruh signifikan pada panen yang
masih berjalan ini,” kata Arief. Sedangkan Direktur Utama
SGN Aris Toharisman khawatir serangan hama ulat tidak hanya menurunkan
produktivitas tanaman tebu, tapi juga mempengaruhi kualitas nira. Berdasarkan
hasil penelitian, ucap dia, setiap 1 persen kerusakan ruas yang diakibatkan
hama penggerek batang akan menurunkan 0,5 persen bobot tebu. Hal itu akan
memperberat produksi yang saat ini terdampak El Niño. Gelombang kekeringan El
Niño diproyeksikan akan menurunkan produktivitas tebu 5-10 persen. Akibatnya,
produksi gula nasional menyusut sehingga mengganggu stabilitas harga. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/169529/el-nino-petani-tebu |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar