Pesantren-Pesantren
Hijau Ramah Lingkungan Dian Yuliastuti : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 04
Desember 2022
MAKIN banyak pesantren
hijau atau pesantren ramah lingkungan. Salah satunya di Desa
Krawon di Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur. Akhir November lalu,
tampak sejumlah santri Pesantren Mambaul Hikam sedang memotong-motong
bungkus plastik bekas kemasan. Mereka memotongnya kecil-kecil lalu
memasukkanya ke botol plastik kosong bekas berukuran sekitar setengah liter
hingga penuh. Setelah terisi penuh,
botol-botol tersebut dikumpulkan dan dibuat menjadi benda atau media yang
bisa digunakan kembali. Salah satunya dijadikan ecobrick. Mereka
menjadikannya sebagai penahan meja dan kursi. Potongan limbah plastik juga
dipakai sebagai isian bantal. Ada juga yang sedang
memilah botol dan tutupnya untuk dijual ke bank sampah atau mengecat pot daur
ulang dari limbah kertas. Sekelompok santri lain sedang membuat eco-enzym,
pupuk organik cair dari bekas makanan atau sisa buah. Sementara itu, sampah
daun mereka manfaatkan sebagai pupuk kompos. Di tempat lain, beberapa santri
sedang membuat sabun cair dan padat dari limbah minyak jelantah. Produk sabun
cair dan padat karya santri ini sudah dipasarkan secara online. Kebijakan Pesantren
Mambaul Hikam mendaur ulang sampah dirintis pada 2015 hingga kini dan
dilakukan di pondok putra dan putri. Pondok ini mendidik 105 santri putri dan
130 santri putra. “Tidak ada yang terbuang, semua kami manfaatkan. Bagi kami
sampah adalah berkah,” kata pengasuh Pondok Pesantren Putri Mambaul Hikam,
Maftuhah Mustiqowati, 48 tahun, saat ditemui di pesantren setempat, Rabu, 30
November lalu. Ika—sapaan Maftuhah
Mustiqowati—meneruskan pengelolaan pesantren yang didirikan kedua orang
tuanya, (almarhum) KH. Zubaidi Muslich dan Hj. Asmah Aziz. Pondok pesantren
putra didirikan pada 12 Januari 1986 dan pondok pesantren putri berdiri pada
17 Juni 2010. Ika mengatakan idenya
untuk mengelola dan mendaur ulang sampah bermula dari keresahan banyaknya
sampah plastik dari kemasan makanan atau jajanan yang dibeli para
santri. Ia lalu mempelajari teknik mengelola sampah serta memiliki ide
membuat ecobrick dari plastik dan mendaur ulang kertas menjadi pot. Tutup botol
disetorkan ke bank sampah. Adapun sampah organik dikelola menjadi kompos,
eco-enzym, dan sabun. Hasilnya bisa dipakai untuk pupuk, membersihkan lantai
atau mandi, serta mencuci di lingkungan pondok. Tak hanya dari lingkungan
pondok, mereka juga menerima sampah plastik dari banyak instansi dan menebar
sedekah berupa keranjang sampah. Misalnya dari madrasah tsanawiyah dan
madrasah aliyah milik pesantren, sekolah lain di luar pesantren, instansi
pemerintah, serta tempat ibadah. Mereka pun menerima minyak jelantah dari
masyarakat sekitar dan rumah makan di Jombang. Untuk meningkatkan
kesadaran santri, para orang tua santri diwajibkan bersedekah jelantah setiap
berkunjung. Yang cukup menarik adalah
larangan penggunaan pembalut sekali pakai untuk para santri putri. Mereka
diwajibkan menggunakan pembalut cuci ulang yang berbahan kain dan plastik
atau kain antibocor. “Ada juga menspad yang dibuat anak-anak. Kami produksi
sendiri dan banyak dipakai di pesantren ini,” tuturnya. Berkat pengelolaan
sampah ini, Pondok Pesantren Mambaul Hikam serta MTs dan MA Al Hikam mendapat
sejumlah penghargaan tingkat kabupaten hingga nasional beberapa tahun
terakhir. MTs dan MA mendapat penghargaan Adiwiyata. Pengelolaan sampah ini
menjadi salah satu elemen pembahasan dan fatwa di Kongres Ulama Perempuan
Indonesia II. Pengelolaan sampah yang
ketat juga mulai dilakukan di Sekolah Menengah Atas 3 di bawah naungan
Pesantren Annuqayah “Ndalem Timur”, Guluk-guluk, Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Pondok Ndalem Timur ini satu dari sekian banyak pondok di pesantren tersebut.
Mereka mendapat sampah sebanyak dua-tiga truk pikap per hari saat masa
kunjungan orang tua. Untuk mengatasi masalah
sampah itu, pengasuh pesantren seperti KH. M. Faizi kemudian berusaha
mengelola sampah yang ada. Selain memilah, sampah plastik didaur ulang.
Pengelolaan ini dilakukan secara ketat di SMA 3. Ada yang dibuat tas
punggung, pouch, atau ecobrick. “Bahkan tas kami sempat dipesan untuk sebuah
acara,” ujar Moh. Khatibul Umam, Kepala SMA 3, yang memulai pengelolaan pada 2008. Khatib mengakui tantangan
mengelola sampah ini masih besar karena belum munculnya kesadaran semua
santri, orang tua, dan masyarakat di lingkungan sekitar pondok. Untuk
memunculkan kesadaran itu, mereka menerapkan sistem denda bagi mereka yang
membawa air minum kemasan. Sebagai penegak peraturan, dibentuk pula semacam
polisi lingkungan. Mereka pun mewajibkan para santri atau siswa membawa
perlengkapan makan dan minum sendiri. Sekolah menyediakan air botol galon.
Untuk membeli makanan mereka harus membawa wadah sendiri dan orang tua
dilarang membungkus makanan dengan plastik, melainkan membawanya dengan
rantang. Khatib menjelaskan, mereka juga mengupayakan pengurangan sampah dari
pembalut untuk santri putri. Caranya, mereka melarang pembalut sekali pakai untuk
menstruasi. Program pesantren ramah
lingkungan atau pesantren hijau, termasuk pengelolaan sampah, juga sedang
dikembangkan oleh tiga lembaga di Nahdlatul Ulama, yakni Lembaga Amil, Zakat,
Infak, dan Sedekah Nahdlatul Ulama; Lembaga Penanggulangan Bencana dan
Perubahan Iklim NU; serta Rabithah Ma’ahid Islamiyah PBNU. “Fikih lingkungan
sudah lama diajarkan, saatnya dipraktikkan,” ucap Riri Khariroh, Ketua
Pelaksana Program Pesantren Hijau PBNU. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/selingan/167556/pesantren-pesantren-hijau-ramah-lingkungan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar