Reforma
Agraria untuk Keadilan Sosial Abdul
Muhaimin Iskandar : Wakil Ketua
DPR |
KOMPAS, 24 November 2022
Kita masih punya pekerjaan rumah di sektor
agraria, yakni bagaimana menata pemilikan dan penguasaan tanah serta
pengelolaan kekayaan alam secara berkeadilan. Ketimpangan penguasaan dan
pemilikan tanah dan kekayaan alam telah lama berlangsung tanpa ada perombakan
secara fundamental. Akibatnya, ketidakadilan agraria mewarnai kehidupan rumah
tangga pertanian Indonesia. Badan Pusat Statistik (2013) menyebutkan bahwa
rumah tangga petani gurem mencapai 14,25 juta rumah tangga atau sebesar 55,35
persen dari rumah tangga pertanian pengguna lahan, dengan rata-rata
penguasaan hanya mencapai 0,89 hektar. Selain petani gurem, ketimpangan
penguasaan tanah juga melahirkan petani tunakisma yang menjadi lapisan paling
bawah dalam strata sosial masyarakat perdesaan. Petani tunakisma inilah yang
menjadi petani penyakap, buruh tani, bahkan sebagian dari mereka menjadi
pengemis. Jika ditelusuri lebih dalam, ketimpangan
penguasaan tanah juga menjadi akar dari masalah kemiskinan perdesaan. Dalam
kondisi tanah dikuasai secara tidak adil, tercipta penghasilan yang tidak
merata antara tuan tanah dan petani penggarap. Para petani penggarap akan
bekerja lebih keras (overwork) dan menanggung risiko usaha yang lebih besar
dengan marjin penghasilan usaha yang tidak sebanding. Akibatnya, mereka
secara terus-menerus berada dalam ekonomi subsistem dengan daya beli sangat
rendah (underconsumption). Dari perspektif ekonomi, membiarkan mayoritas
populasi masyarakat perdesaan dalam kondisi underconsumption tentu tidak baik
karena membuat siklus produksi-distribusi-konsumsi menjadi macet dan tidak
menghasilkan produktivitas yang optimal untuk mendorong industrialisasi
perdesaan. Padahal, industrialisasi perdesaan dibutuhkan untuk memperkuat
fondasi ekonomi nasional. Dengan industrialisasi perdesaan, tercipta sumber
pendapatan bagi masyarakat desa, kesempatan kerja dan usaha baru,
mengendalikan urbanisasi dan mengurangi kemiskinan perdesaan. Dari kacamata
”etik” kemiskinan yang diakibatkan oleh ketimpangan ini mencerminkan
ketidakadilan sosial. Ketimpangan penguasaan tanah juga melahirkan
ribuan konflik agraria antarpetani dan badan-badan usaha, baik swasta maupun
badan usaha milik negara. Data Konsorsium Pembaruan Agraria menyebutkan bahwa
kejadian konflik agraria pada 2021 sebanyak 207 kasus dan didominasi konflik
agraria di areal perkebunan sawit. Artinya bahwa ekpansi modal untuk
penguasaan lahan skala luas menjadi sumber konflik. Menciptakan keadilan sosial Fakta-fakta di atas menuntun kita kepada satu
kesadaran historis dan ideologis bahwa pelaksanaan reforma agraria adalah
satu keniscayaan. Makna reforma agraria yang saya maksudkan tidak sekadar bagi-bagi
tanah atau hanya sebatas menerbitkan dan membagi sertifikat tanah. Yang harus
kita tuju adalah reforma agraria yang menciptakan keadilan sosial yang
ditandai dengan adanya keadilan agraria, peningkatan produktivitas dan
kesejahteraan rakyat, serta perbaikan akses masyarakat terhadap sumber-sumber
ekonomi terutama tanah. Untuk mewujudkan keadilan agraria, maka agenda
mendasar dan terlebih dahulu harus dilakukan adalah menata kembali
penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah dan kekayaan alam. Agenda reform
ini dilakukan secara sistematik, terencana, serta mempunyai jangka waktu
tertentu dan terbatas. Mengingat dalamnya ketimpangan yang terjadi saat
ini, maka kita membutuhkan waktu 10-15 tahun untuk menata ulang melalui
program distribusi dan redistribusi lahan kepada mereka yang berhak. Secara
berbarengan juga diperlukan kebijakan pembatasan penguasaan tanah. Reforma agraria juga merupakan jalan transformasi
sosial ekonomi dan politik. Reforma agraria yang sukses menjadi basis
pembangunan nasional, khususnya pembangunan pertanian. Semakin menguatkan
kedaulatan pangan nasional. Dan yang harus juga diketahui bahwa reforma
agraria juga mendorong proses demokratisasi yang inklusif di perdesaan. Untuk itu, keberhasil reforma agraria sangat
ditentukan oleh sejauh mana komitmen politik yang kuat dari pemerintah.
Komitmen politik yang kuat ditandai dengan dukungan dari birokrat yang jujur,
berani dan berintegritas dari level pusat hingga daerah. Birokrat harus
menjadi kekuatan pro-reform bukan anti-reform. Dukungan ketersediaan data yang lengkap dan
akurat terkait dengan obyek dan subyek reforma agraria menjadi prasyarat
penting. Dalam hal ini, proses pendataan subyek dan obyek reforma agraria
harus dilakukan secara transparan dan partisipatif dengan melibatkan
serikat-serikat tani, nelayan, dan komunitas masyarakat adat. Luas lahan yang dialokasikan sebagai obyek
reforma agraria harus sesuai dengan jumlah subyek penerima reforma agraria.
Lahan yang akan didistribusi haruslah lahan-lahan yang subur untuk
pengembangan produktivitas ekonomi pertanian. Subyek penerima reforma agraria juga harus
dipastikan adalah petani gurem, petani tunakisma, buruh tani, nelayan,
masyarakat adat baik yang ada dipingir maupun dalam kawasan hutan. Untuk
kepentingan regenerasi petani, maka redistribusi lahan diprioritaskan kepada
petani berusia muda dari dalam keluarga subyek penerima reforma agraria. Program pendukung Agar hasil pelaksanaan reforma agraria
berkesinambungan, maka redistribusi lahan harus disertai dengan program
pendukung kepada masyarakat penerima tanah obyek reforma agraria. Dukungan
itu harus konkret, mulai dari pengembangan sumber daya manusia, menyediakan
bibit dan pupuk, pengembangan saranan dan prasarana pertanian, pendanaan,
jaminan pasar, infrastruktur pertanian serta dukungan informasi dan
teknologi. Kita menyadari sepenuhnya bahwa merombak
ketimpangan agraria akan berhadapan dengan kekuatan anti-reform. Karena itu,
diperlukan komitmen politik yang kuat untuk perubahan fundamental ini. Selain
kekuatan dari serikat-serikat tani dan organisasi masyarkat sipil, partai
politik harus menjadikan reforma agraria sebagai platform perjuangannya.
Melakukan pendidikan untuk menciptakan kader-kader yang ideologis dan
berkomitmen kuat untuk melaksanakan reform agraria. Reforma agraria adalah salah satu tonggak dari
sejarah Indonesia membebaskan dirinya dari bayang-bayang kolonialisme dan
kapitalisme. Presiden Soekarno sangat mengandalkan program reforma agraria
ini sebagai tahapan penting dari revolusi Indonesia. Presiden Soekarno berkata, ”Revolusi Indonesia
tanpa landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan
pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi. Melaksanakan
landreform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari revolusi
Indonesia. Gembar-gembor tentang revolusi, sosialisme Indonesia, masyarakat adil
makmur, amanat penderitaan rakyat, tanpa melaksanakan landreform adalah
gambar-gembornya tukang penjual obat di Pasar Tanah Abang atau Pasar Senen.” ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/22/reforma-agraria-untuk-keadilan-sosial-1 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar