Meneguhkan
Gerakan ”Tajdid” Benni
Setiawan : Anggota Majelis Pendidikan Kader
(MPK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Dosen Universitas Negeri Yogyakarta |
KOMPAS, 24 November 2022
”Jangan berpura-pura mengurus negara. Indonesia
bisa menjadi masuk museum sejarah. Muhammadiyah siapkan sumber daya manusia
(SDM) untuk memimpin negara ini.” Itulah pesan Ahmad Syafii Maarif kepada kader
Muhammadiyah dalam kajian Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Saya ingat saat itu pengajian melalui aplikasi Zoomdi tengah
pandemi Covid-19 yang masih sangat tinggi. Buya Syafii mengisi tausiah dari
rumah yang terlihat penuh tumpukan buku tertata rapi. Apa yang disampaikan Buya Syafii saya kira
menjadi catatan penting dan pengingat bangsa dan negara ini perlu dijaga.
Siapa yang harus menjaga? Tentu kita semua yang mengaku Indonesia. Indonesia
berdiri tegak karena masyarakatnya mampu menjaga keutuhan bangsa dan negara.
Dalam proses menjaga Indonesia ini tentu pemerintah mempunyai tanggung jawab
lebih. Pemimpin Pemerintah dalam pesan Buya Syafii tidak boleh
berpura-pura mengurus negara. Pemerintah perlu bertindak layaknya seorang
pemimpin. Pemimpin itu memimpin dalam orkestrasi mengelola seluruh potensi.
Pemerintah tidak boleh sekadar manis di bibir, tanpa kerja nyata. Pemerintah
perlu bekerja lebih keras dibandingkan rakyatnya. Pasalnya, mereka memanggul
tanggung jawab dan amanat memakmurkan seluruh hajat hidup rakyat Indonesia. Pemerintah yang tidak mampu bertindak atas nama
kemanusiaan dan tanggung jawab moral, hanya akan melapukkan kebangsaan. Buya
Syafii menyebut Indonesia dapat masuk museum sejarah. Indonesia hanya tinggal
nama yang dikenang oleh anak cucu. Bahkan, mungkin anak cucu hanya mendengar
cerita tentang kejayaan, kemakmuran, dan kemegahan Indonesia dari sebuah
cerita. Maka, pemerintah perlu tampil dalam sebuah tarikan napas dan laku
yang sama. Bertindak untuk mewujudkan Indonesia adil dan makmur. Pemikiran Buya Syafii ini diperbincangkan dalam
Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif, dari Muhammadiyah untuk Indonesia,
Sabtu, 12 November 2022. Muktamar pemikiran ini dirancang untuk memperpanjang
ingatan tentang Buya Syafii. Buya Syafii sebagai pribadi yang telah meninggalkan
banyak warisan layak untuk terus dibincang dan diteruskan cita-citanya. Tentu
banyak hal yang masih perlu terus dikaji dari berbagai pemikiran tentang
keindonesiaan, keislaman, dan kemanusiaan. Tiga topik kajian Buya Syafii
dalam berbagai karyanya. Muktamar Pemikiran Buya Syafii ini digelar di
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) tempat di mana terselenggara
Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, pada 18-20 November 2022. Tema
yang diangkat adalah Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta. Tema ini tentu
tidak muncul begitu saja. Muhammadiyah ingin terus berkontribusi dalam
dinamika kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Kemandegan metodologis Sebagaimana pesan Buya Syafii di atas,
Muhammadiyah perlu menyiapkan sumber daya manusia untuk dapat memimpin
Indonesia. Pesan Buya Syafii ini tentu menjadi bagian penting dalam proses
memajukan Indonesia. Muhammadiyah perlu menyiapkan banyak kader untuk bisa
bertransformasi ke seluruh lini kenegaraan. Transformasi kader ini menjadi
penting di tengah Muhammadiyah terus tumbuh besar di abad kedua. Transformasi kader, mencetak kader seperti Buya
Syafii yang mempunyai pandangan maju ke depan, berani mengkritik tanpa rasa
canggung dan takut, tetap berkomitmen kepada kemanusiaan tentu perlu
dilakukan secara sistematis. Muktamar pemikiran tokoh seperti Buya Syafii
perlu dilakukan secara sistemik di Muhammadiyah. Muktamar pemikiran menjadi jalan bagi
Muhammadiyah untuk meneguhkan diri sebagai gerakan tajdid (pembaruan).
Gerakan tajdid tanpa menghasilkan pemikiran dan tindakan baru tentu akan
mendapat pertanyaan dari banyak kalangan. Oleh karena itu, jika Muhammadiyah
ingin meneguhkan diri sebagai gerakan tajdid, membuahkan ragam pemikiran
menjadi sebuah keniscayaan. Gerakan tajdid sebagai napas persyarikatan
Muhammadiyah perlu tersemai oleh mereka yang gandrung akan ilmu. Gerakan ilmu
ini perlu didukung oleh metodologi yang tepat. Professor M Amin Abdullah
pernah menengarai bahwa hari ini terjadi kemandekan metodologis. Kemandekan
metodologis ini semakin diperparah oleh monodisiplin ilmu. Bagi Professor Amin Abdullah sudah bukan zamannya
monodisiplin ilmu. Perlu dikembangkan secara serius multidisiplin,
interdisiplin, dan transdisiplin (multidisciplinary, interdisciplinary, and
transdisciplinary/MIT) ilmu. Pendekatan MIT akan memecah kebuntuan
metodologis yang kini telah banyak ”menjangkiti” masyarakat Indonesia. Muhammadiyah perlu memelopori pendekatan MIT
dengan mendorong seluruh Perguruan Tinggi Muhammadiyah-‘Aisyiyah (PTMA).
Pendekatan MIT perlu diterapkan dalam ragam riset di PTMA. Melalui model itu
akan muncul banyak karya intelektual dari PTMA. Dan tentu inilah momentum
PTMA dalam turut serta mewujudkan tema muktamar ke-48. Perguruan Tinggi Muhammadiyah-‘Aisyiyah hari ini
perlu semakin percaya diri untuk menjadi bagian penting dari gerakan tajdid.
Pasalnya, Muhammadiyah hari ini dipimpin oleh professor dari PTM, Professor
Haedar Nashir. Inilah momentum bagi PTMA untuk terus menjadi bagian penting
dalam sejarah panjang Muhammadiyah. Pada akhirnya, Muktamar Pemikiran Buya Syafii dan
Muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah semoga semakin meneguhkan gerakan tajdid yang
telah menjadi ciri dari pesyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada
1912. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/22/meneguhkan-gerakan-tajdid |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar