Pilpres
2024 dan Narasi Persatuan Ikhwan
Arif, Pendiri Indonesia Political Power |
MEDIA INDONESIA, 20 November 2022
DALAM praktik pemilu yang demokratis, negara
menyelenggarakan sistem politik dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi
yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman sebagaimana yang tertuang
dalam dasar negara yaitu Pancasila. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, pemilu sangat
sarat dengan perbedaan kepentingan politik baik itu antara kandidat maupun
rakyat sebagai pemilih. Adanya kebebasan berpolitik menimbulkan perbedaan
berpendapat dan perbedaan argumentasi terhadap informasi-informasi politik,
sehingga hal ini menjadi alarm bagi praktik demokrasi. Dalam konteks ini, pemilihan umum legislatif
(pileg) dan pemilihan umum presiden (pilpres) 2024, diharapkan terbebas dari
keterbelahan publik dan narasi perpecahan. Dibutuhkan narasi politik yang
positif dan bijak dalam mengekspresikan kebebasan berpolitik. Berdasarkan pemahaman ini, menurut Henry B Mayo
(1960) dalam bukunya yang berjudul Introduction to Democratic Theory, dia
mengatakan sistem politik yang demokratis ditentukan oleh kebijaksanaan umum
atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat
dalam pemilihan-pemilihan berkala, atas dasar prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Atas dasar sistem yang demokratis ini, rakyat
sebagai unsur terpenting dalam sebuah negara memiliki kesamaan dalam hak-hak
berpolitik baik untuk dipilih dan memilih wakil-wakil rakyat melalui sistem
pemilu yang sudah ditentukan. Kemudian negara membentuk penyelenggara pemilu
melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Bawaslu sebagai institusi yang
ditunjuk untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu 2024. Menyikapi keberagaman Seiring berjalannya waktu, pemilu terutama dalam
konstelasi pilpres kerap ditumpangi oleh narasi-narasi negatif atau narasi
yang berpotensi memecah belah bangsa. Hal ini sangat bertentangan dengan
nilai-nilai kemajemukan dan bukan merupakan bagian dari kebudayaan politik
kita. Nilai-nilai kebebasan berpolitik justru disalahartikan. Masyarakat harusnya menganggap keberagaman
(diversity) itu sebagai sesuatu yang wajar. Kita mengakui adanya keberagaman
tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan, serta tingkah laku.
Untuk itu perlu terselenggaranya masyarakat yang terbuka (open society) dengan
tetap menjaga agar tidak melampaui batas, sebab di samping keanekaragaman
diperlukan juga persatuan serta integrasi. Berkaca pada Pilpres 2019 munculnya narasi yang
bernuansa politik identitas telah menggoreskan luka baru dalam praktik pemilu
di Indonesia. Rakyat disuguhkan dengan penggunaan narasi agama sebagai alat
politik identitas meskipun pada akhirnya kedua kandidat yang bertarung
kembali merajut dan mengupayakan rekonsiliasi politik. Terpilihnya Presiden Jokowi dan KH Ma'aruf Amin
pada Pilpres 2019, kemudian rivalnya diangkat menjadi Menteri Pertahanan
Prabowo Subianto dan Sandiga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif, justru menunjukkan sebuah proses kedewasaan berpolitik di Indonesia.
Nilai persatuan dan kesatuan tetap dijunjung tinggi untuk meredam polarisasi
yang terbentuk dalam masyarakat pasca-Pilpres 2019. Meskipun demikian, tidak semua publik menerima
upaya rekonsiliasi politik, karena ada narasi politik identitas selama
Pilpres 2019. Namun, proses penyembuhan luka tidak secepat upaya
rekonsiliasi, akan tetapi membutuhkan waktu yang relatif lama. Dalam dimensi yang berbeda dan konteks yang sama,
narasi politik yang bernuansa politik identitas kembali dipertontonkan.
Kondisi ini terjadi ketika 'identitas politik' dipersepsikan sebagai 'politik
identitas'. Memang kita dituntut untuk
berhati-hati menggunakan identitas politik yaitu identitas agama, suku dan
kesamaan daerah dalam kampanye politik. Misalnya menggunakan narasi memilih
Presiden Jokowi atas persamaan agama Islam atau memilih presiden atas
persamaan orang Jawa, Batak, Sunda, Minang dan suku-suku lainnya. Narasi ini yang kemudian ditafsirkan berbeda,
dibungkus dengan unsur kebencian serta menganggap agama dan suku tertentu
lebih buruk daripada yang lain. Narasi
seperti ini memiliki ruang tersendiri dalam Pilpres 2024. Jika terus
diproduksi dan secara berulang dipertontonkan akan merusak nilai-nilai
kemajemukan. Secara sosiologis narasi ini menyasar terhadap struktur sosial
masyarakat yang berdasarkan faktor agama, suku, ras dan faktor daerah. Jika dilihat pada kondisi terkini, ruang gerak
dan porsi politik identitas memang jauh berbeda pada Pilpres 2019. Pasalnya
di 2019 kandidat yang bertarung terbelah menjadi dua poros koalisi. Dua poros
koalisi menimbulkan ketimpangan dan keterbelahan politik seperti bambu
dibelah dua, bahkan seperti jurang pemisah antara dua kutub politik yang
berbeda. Ketajaman politik identitas 2019 dinilai menurun di Pilpres 2024. Berdasarkan pada pengamatan dinamika politik dan
penjajakan poros koalisi, sudah terlihat potensi besar akan terbentuknya tiga
atau empat pasang kandidat, dengan demikian politik identitas akan tergerus,
sehingga menghambat ruang gerak berkembangnya narasi politik yang memecah
belah bangsa. Realitasnya, masing-masing poros koalisi yang
sudah terbentuk, memiliki representasi politik baru untuk mewakili aspirasi
mereka di ruang publik melalui narasi politik kebangsaan. Melalui narasi
kebangsaan ini politik identitas akan tergerus secara perlahan, misalnya
Koalisi Indoneisa Bersatu (KIB) mengedepankan politik gagasan, Koalisi
Indonesia Raya (KIR) menggunakan narasi pembangunan berkelanjutan dan
menyatukan kekuatan nasionalis dan religius. Kemudian PDIP masih disibukkan
dengan narasi menuntaskan program kerja di akhir masa jabatan Presiden
Jokowi. Terakhir, ada poros perubahan yaitu NasDem, PKS, dan Demokrat tengah
membangun narasi konsolidasi untuk perubahan politik yang positif dan
menciptakan kedewasaan berpolitik. Berdasarkan pada narasi tersebut, jika
masing-masing poros koalisi mengusung nama-nama bakal calon dengan komposisi
tiga atau empat pasang calon kandidat, polarisasi seperti Pilpres 2019 akan
dapat dihindari. Selain itu juga sulit menciptakan narasi yang bernuansa
memecah belah bangsa. Masing-masing poros koalisi seyogyanya membentuk narasi
positif berdasarkan narasi politik kebangsaan, melalui figur atau tokoh yang
mampu mendistribusikan nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Dengan memilih
figur atau sosok yang tepat, narasi persatuan dijamin akan terdistribusi
dengan baik mulai dari tingkat elite politik sampai kepada tingkat akar
rumput atau daerah. Untuk merealisasikan narasi politik persatuan,
harus ada peran pengawasan penyelenggara pemilu baik itu KPU maupun Bawaslu.
Penyelenggara pemilu mempunyai peran penting dalam membantu masyarakat agar
tidak terjebak dalam narasi perpecahan misalnya KPU mensosialisasikan kepada
para pemilih pentingnya memilih dan menghindari politik identitas. Sedangkan
Bawaslu mulai dari sekarang membentuk aturan pengawasan yang efektif dan menyasar
pada politik identitas. Jangan sampai dilupakan pentingnya pendidikan
politik atau sosialisasi politik dari partai politik. Lalu elite politik yang
tergabung dalam poros koalisi parpol mengupayakan proses integrasi bangsa
dengan menawarkan ide-ide atau gagasan-gagasan yang kemudian diproduksi
melalui narasi positif persatuan kepada masyarakat. Menempatkan nilai-nilai dan semangat persatuan
dalam Pemilu 2024, akan membantu proses konsolidasi politik dan
pendistribusian kepentingan politik secara menyeluruh. Dengan begitu calon
pemimpin masa depan, dihasilkan melalui proses demokrasi yang bernilai
tinggi. Dengan semangat optimisme serta emosional rasa persatuan dan
persaudaraan, narasi positif akan cenderung menarik daripada percakapan
tentang perpecahan, kebencian, dan adu domba yang diproduksi oleh
kelompok-kelompok tertentu. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/538809/pilpres-2024-dan-narasi-persatuan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar