Minggu
yang Gila Jean
Counteau : Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas |
KOMPAS, 20 November 2022
Minggu yang baru lewat ini luar biasa padatnya!
Luar biasa karena jumlah peristiwa global yang menyita perhatian kita. Saking
banyaknya, bisa jadi kita luput menanggapi maknanya. Ada pertemuan akbar presidensi G20 di Bali, di
mana Indonesia menjamu 17 pemimpin negara, untuk ikut berkiprah mengemudikan
ekonomi global keluar dari krisis pasca-Covid. Konon sukses dari sudut citra
bagi Indonesia, tetapi tidak mengurangi ketegangan jangka panjang dunia.
Bahkan ada salah satu anggota G20 yang kebetulan absen, masih tetap sibuk
mengebom tetangganya. Lebih penting lagi, ada pertemuan akbar COP 22 di
Sharm-el-Sheik, di Mesir. Topiknya perubahan iklim dan ekologi. Di situ
Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, sangat gamblang: bila kita tidak mampu
mengubah pola hidup dan menurunkan emisi CO2, keberlanjutan umat manusia pun
terancam, katanya serius. Artinya kiamat. Bukankah es yang menyelimuti
Greenland sudah mulai meleleh, bukankah sungai besar sudah mulai kekurangan
air pada musim panas, bukankah serangga pengolah humus tanah menghilang di
mana-mana, dan bukankah kenaikan air laut mengancam kota-kota pantai sedunia,
dan bukankah sejumlah negara besar seperti Pakistan sebentar lagi tak layak
huni karena terlampau panas. Tetapi berita seru tidak berhenti disitu saja.
Terdengar juga berita bahwa jumlah manusia sudah mencapai 8 miliar orang,
dibandingkan dengan 1,5 miliar awal abad yang lalu. Bahkan diperkirakan bakal
mencapai 11 miliar pada tahun 2100, dengan 40 persen di Afrika dari 18 persen
sekarang. Hal-hal ini berarti bahwa ketegangan sosial –dan
geopolitik terkait--akan kian meningkat. Terutama antar Global South, yang
haus pembangunan pemakan energi, dan Global North, yang telah maju dengan merusak
alam. Di situ kita ada pilihan: hanya melihat jangka pendek dan kepentingan
sendiri; atau sebaliknya melihat juga jangka panjang dan menyadari bahwa
kedaruratan masalah menuntut kesadaran dan solidaritas bukan lagi lokal atau
nasional, tetapi global. Sayangnya, memandang sejarah tidak menimbulkan
optimisme. Kekinian kita adalah buah dari kapitalisme, yang sejak abad ke-16
telah mengkombinasikan rasionalisme ekonomi dan rasionalisme teknologis untuk
melahirkan kemodernan gaya konsumtif kita. Namun, apakah kita menerapkan
rasionalitas serupa dalam hal pengelolaan hal-ihwal sosial politik. Tidak! Sejak topik “kehidupan bermasyarakat” mulai
menjadi perhatian para pemikir Eropa abad ke-18, apa yang telah dihasilkan?
Pencerahan, konon, tetapi di otak saja! Kegelapan di ranah tindakan. Mau
contoh! Ketika lalu-lintas kapital mulai menciptakan negara bangsa sebagai
ruang ekspansinya kapital, apakah manusia dicerahkan? Tidak! Terjadilah
expansi kolonial di wilayah dunia yang lemah, serta bentrokan-bentrokan negara-negara
besar dalam perebutan wilayah— memicu perang. Bahkan kebencian atas nama
bangsa dijadikan sedemikian umum hingga memuncak di dalam teori pembasmian
etnis-rasial (1939-1945). Tidak terhenti disitu. Ketika Marx menelanjangi hukum
Kapital sebagai produsen ketidakadilan yang tiada hentinya, apakah kesadaran
ini bermuara pada upaya mencapai keadilan sosial yang rasional? Tidak. Ia
sebaliknya bermuara pada patgulipat konsep “moralitas revolusioner” Lenin
pasca-1917, yang membenarkan pembunuhan musuh kelas atas nama utopia keadilan
sosial total “kelak di masa depan”. Dan lihatlah sekarang, ketika muncul hasrat untuk
hidup di bawah naungan agama untuk memberikan makna pada semua perombakan
makro ini, apakah dunia lebih damai? Tidak! Dari kalangan ahli agama keluar
seruan demi seruan untuk membenci dan bahkan membunuh, seperti kerap terlihat
di Timteng dan bahkan kini di India dan Burma. Apakah saya berlebih-lebih? Bukankah demokrasi
juga terlihat tumbuh di mana-mana. Ya, tetapi selama ini hanya terlihat
tumbuh di jeda-jeda masa, sesudah petaka-petaka historis telah terjadi. Kita
telah gagal mengelola masalah kebangsaan, gagal mengelola masalah keadilan
sosial, gagal mengelola masalah keagamaan. Selama ini, pemahaman intelektual
telah selalu kalah di hadapan ideologisasi segala problematika sosial, yang
mana senantiasa bermuara pada kefanatikan. Maka saya bertanya: melihat
kegagalan-kegagalan di atas, akankah kita mampu merespons tantangan
ekologis-demografis-politik dunia kita ini, yang sesungguhnya berdimensi jauh
lebih besar daripada tantangan manapun sepanjang sejarah manusia sebelumnya. Adakah jawaban. Ya! Pendidikan. Mengajar anak
kita memahami kompleksitas “kepentingan” kita semua. Mengajarkan mereka
memahami kepentingan ekonomi diri–dan orang lain; mengajarkan mereka memahami
kepentingan nasional diri–dan bangsa lain; mengajarkan memahami kepentingan
spiritual diri–dan manusia lain; dan, terutama, mengajarkan mereka memahami
kepentingan kita semua dalam menjaga keutuhan Pertiwi, tempat huni kita
semua. Kesadaran global tak cukup terbatas pada sepak bola! ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/19/minggu-yang-gila |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar