Catatan Pinggir
Metafora Lebah dan
Kapitalisme Goenawan Mohamad : Sastrawan, Pendiri Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 27
November 2022
HAMPIR saban dinihari,
pasar itu seperti sarang lebah. Bahkan beberapa jam sebelumnya: menjelang
tengah malam, ke dalam petak tanah seluas 2.000 meter persegi itu—di
sela-sela bangunan bambu yang seadanya—sudah berdatangan benda dan manusia.
Para pedagang kecil, karung dan keranjang, dan tentu saja sayur-mayur, ikan
sungai, udang kering, tempe dan tahu mentah, buah dan cabai, terasi, garam,
tekstil kasar, beras, kelapa…. Berjejal-jejal. Bau dan warna bertabrakan.
Suara tawar-menawar berdengung. Nyaris tanpa henti. Tanpa melodi. Tanpa
irama. Seperti lebah. Tapi, sebagaimana lebah
yang tampak kacau hilir mudik di sekitar sarangnya, khaos itu hanya kesan
permukaan. Dalam kenyataan, tak ada situasi kalang-kabut di sarang tawon,
juga di pasar. Yang ada energi. Para pedagang kecil itu,
yang siap bergulat dengan bau apak dan tengik, yang duduk berkeringat tanpa
baju seragam di lantai kotor, hidup dengan ujung yang guyah: tanpa pendapatan
tetap. Tapi mereka kekuatan
tersendiri. Mereka mandiri. Mereka tak bermajikan dan tak tergantung dilayani
orang lain. Mereka besar jumlahnya namun terserak kecil-kecil, hingga
kekuasaan apa pun tak berhasil mencengkeram mereka. Mereka seakan-akan
berantakan, tapi itu karena mereka tak tunduk kepada tata yang dipaksakan
dari luar. Mereka akan menolak datang ke pasar. Pada pukul 03:00, pasar
menunjukkan para pedagang memulai kerjanya lebih dini ketimbang buruh pabrik.
Dalam truk pick-up atau goboks mereka berimpitan dengan karung goni dan
keranjang komoditas. Mereka keras kemauan. Tentu mereka tak elegan
seperti para priayi. Bahasa yang mereka pakai—yang sering disebut “bahasa
pasar”—bisa “kasar”. Mereka hanya mau serba praktis. Tapi mereka seakan-akan
bukan bagian dunia modern seperti pekerja di sektor industri. Mereka tak
berbendera dengan gambar roda mesin atau palu besi, alat-alat zaman kini. Dalam kosakata politik
yang dicangkok dari sejarah Eropa modern, mereka “kaum borjuis kecil”. Kaum
kiri mengejek mereka sebagai kelas yang plin-plan. Kaum kanan yang feodal
merendahkan mereka. Dalam kitab Wulangreh, ajaran priayi Jawa, mereka “wong
ati sudagar” (berhati saudagar), yang siang-malam hanya memikirkan laba.
Mereka setara pemadat dan penjudi. Dalam politik demokrasi
mereka nyaris diabaikan—meskipun di Indonesia dan di Asia umumnya jumlah
mereka lebih besar ketimbang kelas proletariat. Mereka hampir tak pernah
bersuara. Kaum kapitalis besar di dunia punya forum Davos, para buruh punya
gerakan internasional, tapi para borjuis kecil, para bakul, tak punya majelis
setara itu. James Scott pernah menulis dengan judul “Two Cheers for
Petite-Bourgeoisie”; ia menunjukkan pernah ada “Kongres Kaum Borjuis Kecil”
di tahun 1901 di Brussels, tapi tak ada lanjutannya. Pusat mereka pasar. Ciri
pusat itu adalah uang. Sementara itu, hasrat memperoleh uang oleh Injil,
dalam Timotius, disebut sebagai “akar segala kejahatan”. Ada juga yang
mengatakan, di pasarlah hilangnya nilai yang benar dalam benda dan jasa;
mereka berubah jadi sekadar “nilai tukar”. Para moralis pun menganggap, di
pasar, sifat mementingkan kepentingan sendiri adalah watak utama. Tapi, jika kita
menganalogikan pasar dengan sarang tawon (binatang yang sengatnya
menakutkan), kita sebenarnya harus juga melihat yang oleh seorang pakar
biologi disebut swarm intelligence: kecerdasan gerombolan lebah dalam
mengambil keputusan. Sementara itu, ada analogi
yang lain. Pada 1714, Bernard Mandeville, seorang cendekiawan Belanda yang
hidup di Inggris, menerbitkan sajak berjudul “The Fable of the Bees”. Sajak
itu melukiskan sebuah koloni lebah di mana semua warganya mengesampingkan
kepentingan diri demi kemaslahatan sarang mereka. Akibatnya celaka. Sarang
itu hancur. Pengumpulan nektar dari bunga-bunga di hutan merosot drastis.
Produksi madu macet. Yang hendak ditunjukkan Mandeville: dalam sebuah
masyarakat yang tanpa pamrih pribadi, kesejahteraan bersama justru memburuk. Paradoks itu mengilhami
Adam Smith ketika menulis The Wealth of Nations, yang sering dianggap pembuka
jalan bagi kapitalisme. Menurut Smith, yang bisa diibaratkan lebah adalah
pembuat roti. Mereka inilah, juga para pedagang di pasar yang “berhati
saudagar”, yang seraya memikirkan kepentingan diri berlomba membikin
masyarakat hidup. Dalam prosesnya, dengan mekanisme pasar “private vices”,
sikap buruk masing-masing warga, berakhir jadi kebaikan publik. Di zamannya, Adam Smith
percaya, dinamika pasar—ibarat tangan yang tak kasatmata—akan melahirkan
kemaslahatan sosial. Tapi di abad ke-21, pasar, sebagai tempat tawar-menawar
dan jual-beli, berubah. Ia makin abstrak—di “pasar modal”. Para bakul
disisihkan lebih jauh oleh para kapitalis. Pasar dibentuk dan
membentuk kebutuhan, tapi dari mana datangnya kebutuhan? Dengan informasi
yang akurat, dengan memanfaatkan logaritma, kebutuhan, bahkan gaya hidup
masyarakat, dibentuk dari “atas”, lewat derasnya iklan. Terkadang isinya
dusta dan hasilnya bukan yang baik bagi kehidupan bersama. Tentu, lebah masih
punya sarang, namun jauh dalam hutan. ● Sumber :
https://majalah.tempo.co/read/catatan-pinggir/167527/metafora-lebah-dan-kapitalisme |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar