Bisnis
Pertunjukan, Industri Budaya Populer Global Rahma
Sugihartati : Guru Besar Sains Informasi FISIP Universitas Airlangga |
MEDIA INDONESIA, 24 November 2022
DI tengah kesibukan masyarakat urban, kehadiran
sejumlah aksi pertunjukan tampaknya menjadi oase tersendiri. Di kota-kota besar,
khususnya Jakarta, sejumlah pertunjukan telah dan akan digelar sejak
pemerintah melonggarkan pembatasan covid-19. Grup musik asal Yogyakarta,
Sheila On 7, berencana akan menggelar aksi mereka pada 28 Januari 2023 nanti.
Dilaporkan, tiket sebanyak 50 ribu yang ditawarkan pada tanggal 7 November
2022 lalu oleh panitia dengan harga Rp300 ribu ludes hanya dalam tempo kurang
dari 30 menit. Pola yang sama juga terjadi dalam aksi
pertunjukan lain. Sejumlah grup band terkenal dan penyanyi papan atas, baik
dari dalam negeri maupun luar negeri, seperti Dewa 19, Weslife, On Republic,
Blackpink, dll, telah memastikan agenda menggelar pertunjukan musik di
Indonesia. Mereka semua menyadari bahwa Indonesia ialah salah satu pangsa
pasar yang sangat besar dan senantiasa haus menyambut event-event pertunjukan
budaya populer global yang menghibur. Sebagai bagian dari industri budaya populer
global, aksi panitia menggelar pertunjukan musik tentu bukan sekadar ingin
menawarkan gaya hidup urban dan aktivitas pleasure. Namun, itu juga didorong
motif untuk meraup keuntungan ekonomi. Dalam perkembangan masyarakat
postmodern, menghadirkan sejumlah selebritas dan industri hiburan ialah hal
yang tidak terhindarkan untuk memancing hasrat masyarakat menikmati budaya
populer global. Bisnis pertunjukan merupakan komodifikasi gaya hidup yang
seolah tidak pernah lekang oleh waktu. Budaya populer global Di era masyarakat digital, perkembangan subkultur
anak muda urban memang tidak lagi bisa dibatasi ruang atau batas-batas
administrasi wilayah, bahkan batas negara. Kehadiran industri media dan
produk budaya populer global telah mendorong kelahiran subkultur anak muda
yang sesuai dengan perkembangan zamannya. Subkultur anak muda dalam masyarakat global itu
muncul dalam kaitannya dengan perkembangan perusahaan multimedia dan
munculnya ruang budaya anak muda yang bersifat transnasional. Sudah lazim
terjadi, anak-anak urban di Indonesia ialah penggemar dari artis global.
Mereka meruoakan kelompok penggemar yang tidak dikerangkeng semangat nasionalisme
karena bagi mereka apa yang digemari tak lain ialah produk dan selebritas
industri budaya global. Kehadiran grup-grup musik yang terkenal dari
mancanegara, penyanyi kelas dunia, semua telah memicu perkembangan budaya
anak muda global yang sering kali bersifat sinkretis dan menunjukkan adanya
budaya-budaya hibrida yang kreatif. Bentuk-bentuk budaya hibrida yang
dikembangkan anak muda berakar dari hubungan-hubungan sosial sinkretisme yang
mendorong terjadinya proses yang mengubah pemahaman diri anak muda sebagai
bagian dari industri budaya yang lebih mengglobal. Teknologi komunikasi telah ikut mengonstruksi
berbagai komoditas, makna, dan identifikasi budaya anak muda yang sanggup
melintas batas ras atau negara dan bangsa. Seperti yang dikatakan Redhead (1997),
budaya anak muda telah ditandai dengan berakhirnya autentisitasnya karena
subkultur anak muda sangat dipengaruhi dan dibentuk industri hiburan global
yang mana budaya populer menjadi bagian integral di dalamnya. Perubahan platform kapitalisme, dalam
mengembangkan pasar dan keuntungannya, memang sangat terbuka sejak kehadiran
teknologi digital, media konvergen, serta internet. Ruang web diciptakan
dengan mudah dan tidak sebatas untuk memberi kesempatan konsumen menikmati
berbagai produk budaya populer. Namun, juga memberikan peluang seluas-luasnya
bagi penggemar untuk memproduksi dan menyebarkan bentuk-bentuk kreativitas
mereka sendiri sekaligus untuk berkomunikasi dengan sesama penggemar. Kapasitas teknologi baru yang memungkinkan
antarpenggemar budaya populer melakukan aktivitas interaktif dan
berpartisipasi dalam dunia virtual telah menyediakan ruang tersendiri bagi
pembentukan identitas. Bahkan, dunia maya menjadi ruang untuk menampung
segala aktivitas. Karena itu, cyberspace menjadi ruang yang sangat menentukan
bagi kemungkinan-kemungkinan permainan konstruksi identitas (Barker, 2012). Kahn dan Kellner (2008) menyatakan bahwa produk
industri budaya global yang berkembang di kalangan warga urban merupakan bentuk
kompleksitas budaya akibat proliferasi media dengan produk industri budaya
populer dalam kehidupan sehari-hari mereka, seperti film, televisi, musik
populer dengan difasilitasi internet. Kehidupan anak muda yang tidak bisa lepas dari
internet dan media sosial itulah yang menjadi pendorong pengembangan lebih
lanjut di bawah kerangka kerja institusional dari 'kabel' dunia yang bersifat
'desa global' dan 'mal global'. Berbagai industri budaya global yang
mengembangkan website untuk anak muda telah menciptakan 'peliharaan' virtual
yang senantiasa dirawat anak muda yang konsekuensi berikutnya telah
memunculkan budaya anak muda online, global, hibrida, dan kompleks. Profil
kultural anak muda seperti inilah yang kemudian dijadikan modal bagi para
kapitalis untuk menggelar sekaligus mengeruk keuntungan dari acara-acara
musik yang mereka gelar. Efek samping Pasang surut bisnis pertunjukan, sebagai bagian
dari industri budaya popular global, ialah keberadaan penggemar. Berbeda
dengan sekadar massa yang tidak memiliki ikatan loyalitas, penggemar (fandom)
ialah kelompok masyarakat urban yang memiliki keterikatan, emosi, dan bahkan
kecanduan untuk terus mengikuti perkembangan tokoh idola yang menjadi
pujaannya. Meski sempat meredup, kini bisnis pertunjukan
kembali naik daun ketika pemerintah tidak lagi memberlakukan pembatasan
mobilitas sosial masyarakat gara-gara pandemi covid-19. Bagi para pebisnis
dunia hiburan, keputusan pemerintah melonggarkan pembatasan sosial tentu
menjanjikan harapan baru. Hingga tahun depan nanti, di tengah ancaman resesi
global yang kini menghantui Indonesia, para pebisnis tampaknya tetap
optimistis bahwa pertunjukan yang mereka gelar tetap akan berjalan sukses. Dalam kondisi orang-orang yang lapar akan hiburan
karena selama dua tahun terakhir vakum, kehadiran bisnis pertunjukan wajar
jika disambut antusias berbagai kalangan. Masalahnya sekarang ialah tinggal
bagaimana panitia mampu memastikan agar bisnis pertunjukan yang digelar tidak
melahirkan efek samping yang merugikan perkembangan industri budaya populer
global. Belajar dari tragedi yang belakangan ini sempat
terjadi dan menelan begitu banyak korban, seperti tragedi di Kanjuruhan
Malang, Itaewon Korea Selatan, dan tempat-tempat yang lain, ke depan panitia
diminta waspada. Penyelenggara bisnis budaya populer global seyogianya tidak
hanya mengejar keuntungan secara membabi-buta, tetapi malah lupa menjaga
keselamatan para penggemar yang sudah lama kecanduan penyanyi idolanya.
Jangan sampai terjadi, maksud hati ingin mencari hiburan, tetapi justru malah
petaka yang dialaminya. Perlindungan bagi penggemar mutlak dibutuhkan, selain
kepentingan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/539663/bisnis-pertunjukan-industri-budaya-populer-global |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar