Rupiah
Digital A Prasetyantoko : Rektor
Unika Atma Jaya. |
KOMPAS, 25 Oktober 2022
Dalam Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan
Penguatan Sektor Keuangan atau RUU P2SK terdapat pasal yang mengatur
keberadaan uang digital. Pasal ini merupakan tambahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang belum mengakomodasi keberadaan uang
digital. Dinyatakan bahwa nilai tukar terdiri dari rupiah
kertas, logam, dan digital. Dengan demikian, nantinya Bank Indonesia bisa
meluncurkan uang digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC) yang
tengah menjadi perhatian hampir semua bank sentral di seluruh dunia
belakangan ini. Sejauh ini baru dua negara yang telah meluncurkan
CBDC, yaitu Bahama dengan sand dollar dan Jamaika dengan Jam-Dex. Beberapa negara
sudah masuk fase percobaan, seperti Nigeria (e-Naira), China (e-CNY), dan
Swedia (E-krona). Hingga Juli 2022 tercatat 15 bank sentral sudah melakukan
uji coba, 15 lainnya di fase perancangan (proof of concept), dan 65 lagi,
termasuk Indonesia, masih pada fase penelitian. Urgensi penerbitan rupiah digital diperdebatkan di
tengah banyaknya persoalan lain. Salah satunya adalah soal ketergantungan
pada likuiditas asing yang diakibatkan dangkalnya pasar keuangan domestik. Akibatnya, rupiah cenderung tidak stabil. Pekan
lalu, Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga acuan atau yang disebut
sebagai BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bps menjadi 4,75
persen. Kebijakan yang tergolong progresif ini diambil terutama untuk
mengantisipasi pelemahan nilai rupiah yang pada akhir minggu lalu mencapai Rp
15,600 per dollar AS. Urgensi penerbitan CBDC tak bisa dilepaskan dari
meningkatnya popularitas uang kripto yang bersifat anonim sehingga
volatilitas sangat tinggi. Sejauh ini, uang kripto sulit menjadi mata uang
karena tidak memenuhi syarat sebagai unit perhitungan (unit of account), alat
penyimpanan (store of value), dan alat tukar (medium of exchange). Belakangan ini dunia kripto terkoreksi sangat tajam,
sekitar 60 persen dari tahun lalu, sehingga dinamai ”crypto winter”.
Menyadari kekurangan ini, banyak pihak mengembangkan stablecoins atau uang
kripto yang dikeluarkan oleh lembaga resmi, seperti Apple, Facebook, dan
perusahaan digital lainnya atau dikaitkan dengan mata uang konvensional (fiat
money). Dengan begitu, nilainya lebih stabil. Kalaupun lebih stabil nilainya, stablecoins tidak
bisa diakui secara luas karena terfragmentasi. Sifat ini menyulitkan jika
digunakan sebagai mata uang dalam skala luas. Karena itu, uang digital yang
dikeluarkan bank sentral menjadi solusi. Kehadiran CBDC penting di tengah
lonjakan minat pada uang atau aset kripto. Fokus pada stabilitas Di Indonesia, investor pada aset kripto sudah
mencapai 15 juta, jauh melebihi investor di pasar modal dan pasar utang. CBDC
menjadi alternatif bagi penggunaan uang kripto yang sulit dibendung di
era-Metaverse nanti. Di masa depan, ketergantungan pada uang kripto meningkat
sehingga menciptakan shadow banking yang berpotensi menimbulkan instabilitas. Meski tidak dalam waktu dekat, CBDC dibutuhkan
sehingga perlu dipersiapkan infrastruktur, baik regulasi maupun teknologinya.
Urgensi CBDC akan berbeda di tiap negara sehingga perlu dirumuskan dengan
persis ruang lingkup kebutuhannya. Sveriges Riksbank of Swedia, misalnya, berencana
bermigrasi penuh pada CBDC. Sebagai salah satu bank sentral tertua di dunia
yang berdiri pada 1668, bank sentral Swedia akan melayani sekitar 10 juta
penduduk dengan tingkat pendapatan per kapita di atas 60.000 dollar AS.
Selain itu, tingkat literasi keuangan dan teknologinya juga cukup baik
sehingga siap untuk menggunakan E-krona secara penuh. Situasi ini tentu saja sangat berbeda dengan kita.
Namun, ketentuan tentang uang digital dalam RUU P2SK sangat membantu jika
suatu saat diperlukan. Secara normatif, penerapan CBDC bisa meningkatkan
transparansi, aksesibilitas yang mendorong kedalaman finansial, dan kecepatan
operasi moneter yang mendukung stabilitas sistem keuangan. Dengan kata lain,
uang digital bisa menjadi bagian solusi dari berbagai persoalan struktural di
sektor keuangan kita. Intervensi politik Meski demikian, ada pasal lain yang perlu mendapat
perhatian dalam RUU P2SK ini. Pertama, terkait hilangnya pasal yang mengatur
independensi Bank Indonesia dari intervensi politik. Bisa jadi dihilangkannya
pasal itu mengandaikan pihak yang terafiliasi politik otomatis tidak bisa
dicalonkan sebagai gubernur dan anggota Dewan Gubernur. Sama seperti Ketua
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan yang
tak secara khusus diatur dalam persyaratan pimpinannya harus bebas dari
afiliasi politik. Namun, ambiguitas segera muncul karena dalam
persyaratan sebagai Dewan Pengawas OJK ataupun Badan Supervisi Perbankan
justru disebut secara eksplisit larangan pihak dengan afiliasi politik. Jika
untuk posisi, baik Dewan Komisioner maupun Dewan Gubernur tidak dituliskan
larangan itu, bisa diinterpretasikan sebagai hal yang dimungkinkan. Guna
memastikan independensi bank sentral, diperlukan pasal yang lugas. Kedua, terkait dengan perubahan tugas Bank Indonesia.
Sebagaimana diatur dalam UU No 23/1999, tujuan Bank Indonesia adalah mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dalam rancangan omnibus law sektor
keuangan, tujuan Bank Indonesia adalah mencapai stabilitas nilai rupiah,
memelihara stabilitas sistem pembayaran, dan turut menjaga stabilitas sistem
keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Formulasi tujuan Bank Indonesia ini membingungkan.
Dalam rumusan tersebut ada dua tugas utama Bank Indonesia, yaitu menjaga stabilitas
nilai rupiah dan memelihara stabilitas sistem pembayaran. Tugas tambahan
adalah turut menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menyebutkan
konteksnya, yaitu dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan. Mengapa aspek stabilitas sistem pembayaran harus
secara eksplisit ditulis? Apakah karena ruang lingkup kebijakan Bank
Indonesia sekarang hanya pada sistem pembayaran dengan berdirinya OJK? Jika
demikian, penyebutan tersebut justru mengerdilkan peran BI. Jika dengan tujuan tunggal Bank Indonesia dianggap
terasing dari kompleksitas persoalan ekonomi, memberi berbagai tugas kepada
Bank Indonesia juga tidak efektif kalau tidak mau dibilang tak realistis.
Setiap tujuan memerlukan perangkat kebijakan yang bisa jadi bertentangan satu
sama lain dalam pelaksanaannya. Jalan tengahnya, memperluas tugas Bank Indonesia
untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan, selain tugas utama menjaga
stabilitas nilai rupiah. Stabilitas nilai tukar dan sistem keuangan merupakan
fondasi utama dari seluruh dinamika dan pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/24/rupiah-digital |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar