Resolusi Pemuda Menjadi Sumpah dan
Digunakan sebagai Alat Politik Christopher Reinhart : Kontributor
Tirto.id |
TIRTO.ID, 28 Oktober 2022
Pada tahun
1973, Ketua Kongres Pemuda Kedua (27–28 Oktober 1928), Sugondo Djojopuspito,
menuliskan secara detail mengenai asal mula tiga kalimat yang dikenal sebagai
Sumpah Pemuda 1928. Dalam artikel berjudul “Ke Arah Kongres Pemuda II” (Media
Muda No. 6 dan 7, November 1973), alih-alih muncul sebagai elemen sentral
yang telah dipersiapkan sebagai resolusi yang disetujui seluruh anggota
kongres, tiga kalimat “Sumpah Pemuda” justru muncul dalam situasi yang
spontan. Tiga kalimat
“Sumpah Pemuda” diajukan oleh Muhammad Yamin dengan menyodorkan secarik kertas
kepada Sugondo pada saat pembicara terakhir dari Kongres Pemuda Kedua
menyampaikan pidatonya. Akhirnya, Sugondo sebagai ketua rapat membubuhkan
tanda persetujuan untuk resolusi singkat gubahan Yamin itu. Resolusi Yamin
dalam ejaan sekarang berbunyi: “Kami putra dan putri Indonesia mengaku
bertumpah darah satu, tanah Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia mengaku
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Selanjutnya,
dari masa ke masa, resolusi itu akan dikutip berulang kali dengan berbagai
macam kesalahannya, terutama pada bagian ketiga tentang bahasa Indonesia. Apa sebenarnya
yang terjadi pada Kongres Pemuda Kedua, dan bagaimana ia kemudian dikenal
sebagai titik tolak peristiwa sejarah yang disebut orang-orang sebagai Sumpah
Pemuda? Dalam
pandangan Keith Foulcher yang ia tuangkan dalam Sumpah Pemuda: The Making and
Meaning of a Symbol of Indonesian Nationhood (2000), peristiwa kongres dan
“penciptaan” Sumpah Pemuda merupakan dua hal yang berbeda. Kongres pada tahun
1928 memang terjadi, namun narasi Sumpah Pemuda sama sekali belum ada. Hal
ini juga sempat diamini secara tidak langsung oleh Sugondo saat ia dengan
kukuh menyatakan bahwa apa yang terjadi pada 27 hingga 28 Oktober
1928—mengikuti istilah yang ia gunakan—merupakan “Kerapatan Besar Pemuda
Indonesia”. Sugondo sama
sekali tidak menggunakan istilah Sumpah Pemuda untuk merujuk pada kongres
yang ia pimpin. Pada periode 1920-an, semangat persatuan Indonesia sedang digodok.
Organisasi pergerakan tua yang lahir pada dekade 1900-an atau 1910-an seperti
Budi Utomo dan Sarekat Islam sama sekali tidak bersendikan konsep persatuan
yang inklusif. Masing-masing memiliki dasar ideologi atau kultural yang
sangat khusus. Memang, pada
1912, Ernest Douwes Dekker (Setiabudi), seperti yang ia sampaikan dalam “The
Indies Party, Its Nature and Objectives” (1913), sempat mencanangkan paham
kebangsaan yang inklusif bagi semua orang yang tinggal di Hindia. Ia
mendirikan Indische Partij (Partai Hindia). Namun, gerakan politik ini tidak
berumur panjang dan ia justru dibuang ke Eropa. Pandangan
Ernest tentang persatuan bagi “siapa saja yang tinggal di Hindia” ini justru
ditangkap oleh Perhimpunan Indonesia (sebelumnya Perhimpunan Hindia) di Negeri
Belanda. Perasaan sebagai sesama orang asing yang berada di negeri asing
membuat para mahasiswa dari berbagai tempat di Hindia yang berkumpul di
Belanda mencanangkan semacam bentuk awal “persatuan Indonesia”. Gagasan
Perhimpunan Indonesia tentang persatuan itu kemudian kembali “diimpor” ke
Hindia Belanda oleh Sugondo dengan menyelundupkan jurnal-jurnal terlarang
mereka untuk disebarkan kepada siswa-siswa di Batavia. Saat itu, Sugondo
bergerak sebagai tokoh organisasi pemuda. Tujuan utama yang jadi visinya
adalah mempersatukan organisasi pemuda yang waktu itu bersendikan napas
kedaerahan. Namun, dalam
perjalanan menggapai idealisme semacam itu, kelompok Sugondo dihadapkan pada
satu tembok: apakah seluruh organisasi pemuda akan dijadikan satu dan memiliki
satu dewan pengurus (gagasan fusi), atau akan memiliki dewan pengurus
sendiri-sendiri yang akan membentuk badan perundingan bersama (gagasan
federasi). Pertarungan dua konsep tersebut akan terus mewarnai dinamika
politik Indonesia hingga masa awal kemerdekaan. Jong Java
(Pemuda Jawa) dan Sugondo mendukung ide fusi. Namun, kebanyakan organisasi
pemuda non-Jawa mendukung sebaliknya. Dukungan Jong Java terhadap ide fusi
sangat mudah dimengerti sebagai konsekuensi dari latar belakang kultural Jawa
yang sentralistik. Ini juga yang membuat organisasi lain cukup was-was
apabila akhirnya organisasi-organisasi pemuda dilebur. Jong Java yang
besar dan pola pemikiran sentralistiknya dikhawatirkan akan mendominasi
organisasi pemuda baru yang dibentuk di atas dasar fusi. Untuk melakukan lobi
politik agar organisasi pemuda yang lain dapat menerima ide fusi, Sugondo
menyiapkan Kerapatan Besar Pemuda Indonesia (Kongres Pemuda Kedua) pada tahun
1928. Pencapaian
Kongres Pemuda Kedua untuk meluaskan ide persatuan Indonesia memang menempati
posisi penting dalam sejarah. Namun, konsep Sumpah Pemuda tidak dikenal pada
waktu itu. Lalu kapan dan mengapa akhirnya peristiwa 1928 dijadikan tonggak
Sumpah Pemuda? Untuk menjawab
ini, kita perlu memperhatikan bahwa pada perkembangan zaman selanjutnya,
muncul distorsi terhadap resolusi hasil Kongres Pemuda Kedua. Distorsi paling
awal dicatat oleh Foulcher terjadi pada Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938.
Di sini, versi resolusi dikutip dengan agak berbeda oleh Mohammad
Tabrani—tokoh yang tidak ikut dalam Kongres Pemuda Kedua tahun 1928—dengan
perubahan besar pada bagian ketiga: “Kita
bertumpah tanah satu, yaitu bangsa Indonesia; Kita berbangsa satu, yaitu
bangsa Indonesia; Kita berbahasa satu, yaitu bahasa Indonesia.” Tidak jelas apakah
perubahan ini merupakan kesengajaan—dalam arti merupakan perumusan ulang
terhadap resolusi 1928—atau sekadar kesalahan kutip. Namun, perubahan inilah
yang membuat resolusi Kongres Pemuda Kedua diberikan muatan politik dan
selanjutnya ditransformasikan sebagai Sumpah Pemuda. Terdapat
perbedaan makna yang besar antara “menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa
Indonesia” seperti dalam resolusi awal Yamin, dengan “berbahasa satu, bahasa
Indonesia” seperti dalam “gubahan” Tabrani—yang kelak versi tersebut akan
banyak dikutip oleh sejumlah tokoh politik Indonesia. Frasa
“menjunjung bahasa persatuan” menaruh fokus kepada bahasa Indonesia, namun
tidak mengharuskan bahasa lain dilepaskan untuk mengadopsi bahasa Indonesia.
Sementara frasa “berbahasa satu” pada akhirnya meminggirkan berbagai macam
bahasa di Indonesia. Kembali lagi,
konflik konseptual antara persatuan (fusi) dan perserikatan (federasi)
mewarnai debat ini. Sejak terdistorsi lewat kutipan dalam Kongres Bahasa
Indonesia tahun 1938, resolusi Kongres Pemuda 1928 dijadikan simbol persatuan
Indonesia dan legitimasi terhadap arah Indonesia yang cenderung menyetujui
ide negara kesatuan ketimbang negara federasi. Pada dekade
1950-an, ketika Indonesia dilanda berbagai gejolak di sejumlah daerah,
resolusi tersebut mulai disakralkan sebagai Sumpah Pemuda. Peringatan dan
penyematan istilah “sumpah” mulai terjadi pada tahun 1955, diucapkan oleh
Presiden Sukarno ketika banyak media memberitakan kunjungannya ke Solo. Sejak
itu, Sumpah Pemuda dijadikan senjata ideologis Sukarno untuk mempertahankan
ide negara kesatuan yang didukungnya. Menyusul
konsep-konsep kenegaraan lain seperti Pancasila dan Undang-udang Dasar 1945,
Sumpah Pemuda diramu dan dirangkai oleh para penguasa dalam zaman yang
berbeda. Tiga pokok resolusi Kongres Pemuda Kedua 1928 telah bertransformasi.
Mula-mula sekadar resolusi kongres pemuda yang muncul secara spontan,
kemudian ditemuciptakan (reinvented) sebagai sebuah “sumpah” yang sakral, dan
akhirnya digunakan sebagai senjata politik. ● |
Sumber : https://tirto.id/resolusi-pemuda-menjadi-sumpah-dan-digunakan-sebagai-alat-politik-gkG3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar