Kisah "Penyelundupan"
Persatuan Indonesia lewat Jurnal Terlarang Christopher Reinhart : Kontributor
Tirto.id |
TIRTO.ID, 28 Oktober 2022
Hingga
permulaan 1920-an, gagasan persatuan kebangsaan Indonesia adalah sesuatu yang
masih asing bagi penduduk pribumi di Hindia Belanda. Meskipun seluruh tanah
yang kini disebut Indonesia akhirnya memasuki pengalaman kolonialisme bersama
dengan berakhirnya Perang Aceh (1873–1904), tapi ide-ide tentang kebebasan
masih berfokus pada daerah atau kelompok identitas. Budi Utomo
yang berdiri pada 1908 mengangkat solidaritas Jawa Raya, sedangkan Sarekat
Islam yang menyusulnya pada 1911 mengangkat persatuan kaum muslim. Di sisi
pemuda, berbagai organisasi yang mula-mula muncul juga berasaskan identitas
daerah atau kelompok, seperti Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917),
Jong Islamieten Bond (1925), dan sebagainya. Ide tentang
perlunya identitas kebangsaan yang mencakup seluruh suku bangsa di Hindia
Belanda justru muncul di Negeri Belanda melalui wadah Indische Vereniging
atau Perhimpunan Hindia yang berdiri pada 1908--yang kemudian secara bertahap
berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (1925). Kemunculan
kesadaran ini disebabkan oleh keperluan solidaritas yang mampu mengikat
pelajar-pelajar yang berasal dari Hindia Belanda. Mereka sama-sama menjadi
orang "asing" di negeri asing yang perlu berkolaborasi. Selain itu,
pencerahan melalui aneka ragam wawasan di Eropa yang akhirnya menyadarkan
bahwa persoalan kolonialisme adalah konflik kepentingan antara pihak yang
berkuasa dan yang dikuasai--seperti yang dicantumkan Perhimpunan Indonesia
dalam jurnal Indonesia Merdeka (Februari 1925:3). Perhimpunan
Indonesia besutan Sutan Kasayangan Soripada dan R. M. Noto Suroto, seperti
diungkapkan John Ingleson dalam Perhimpunan Indonesia and the Indonesian
Nationalist Movement, 1923–1928 (1975), mendapat roh perjuangan setelah
bergabungnya Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Cipto Mangunkusumo.
Mereka mulai aktif membagikan gagasan persatuan dan kedaulatan lewat jurnal
Hindia Poetra (1916–1924) dan Indonesia Merdeka (sejak 1924). Di
jurnal-jurnal inilah kritik terhadap praktik eksploitasi kapitalis-kolonial
dimuat, dan ide mengenai “Indonesia bersatu yang mengesampingkan
perbedaan-perbedaan” diangkat. Namun, haluan jurnal yang sarat perjuangan
politik itu akhirnya bermuara pada larangan beredar di Hindia Belanda. Di
titik inilah peran Sugondo Djojopuspito menjadi penting. Menurut Keith
Foulcher dalam Sumpah Pemuda: The Making and Meaning of a Symbol of
Indonesian Nationhood (2000:378–79), gagasan persatuan yang dihidupkan oleh
Perhimpunan Indonesia menjadi populer dan mendapat dukungan yang signifikan
dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Berdasarkan tulisan Daradjadi dalam Mr.
Sartono: Pejuang Demokrasi dan Bapak Parlemen Indonesia (2014), perlintasan
ide kedua organisasi terjadi di antara Mohammad Hatta dan Sukarno melalui
perantaraan Sartono. Namun, sebelum
ide persatuan itu menjadi populer pada tahun 1927, Sugondo secara tidak
langsung telah mulai membangun fondasi penerimaan publik dengan
"menyelundupkan" gagasan ini. Bagaimana dia melakukannya? Estafet Indonesia Merdeka Sugondo
Djojopuspito adalah putra penghulu dari Tuban. Pada 1924, dia sedang dalam
masa transisi dari Algemene Middelbare School (AMS) Yogyakarta ke Recht
Hoogeschool (RHS) atau Sekolah Tinggi Ilmu Hukum di Batavia. Sugondo mendapat
beasiswa dari pemerintah kolonial dalam studi lanjutnya itu. Semasa kuliah
di RHS, dia menumpang di rumah seorang pegawai Kantor Pos Pasar Baru yang
terletak di sekitar Jalan Rijswijk (kini Jalan Veteran dan Jalan Juanda), dan
bersua dengan kawan-kawan satu pondokan yang merupakan para pegawai kantor
pos. Melalui persentuhan itu, Sugondo mendapatkan akses untuk membaca jurnal
terlarang Indonesia Merdeka.Menurut Sutjiatiningsih dalam Soegondo
Djojopoespito: Karya dan Pengabdiannya (1999:21–22), salah seorang kawan
sepondokannya adalah petugas pos yang bertugas menyortir surat-surat yang
masuk. Jurnal Indonesia Merdeka yang seharusnya dibakar, justru ia berikan
kepada Sugondo. Setelah
membaca gagasan persatuan kebangsaan Indonesia yang dimuat di jurnal ini,
Sugondo--dalam artikel "Ke Arah Kongres Pemuda II" yang dimuat
dalam majalah Media Muda (1973:9)--"menyetujui pola pikiran Perhimpunan
Indonesia" dan "merasa tidak bahagia melihat kehidupan organisasi
pemuda waktu itu yang masih berpola kedaerahan/kesukuan". Pandangan ini
mengawali estafet seri Indonesia Merdeka ke lingkaran para pelajar di Batavia. Sugondo
mula-mula meneruskan Indonesia Merdeka kepada Suwiryo, kawannya semasa AMS di
Yogyakarta dan sama-sama belajar di RHS Batavia. Sugondo juga meneruskan
jurnal itu kepada Usman Sastroamidjojo, adik politikus terkemuka Ali
Sastroamidjojo. Usman kemudian meneruskan lagi kepada kawannya, Muksinun.
Empat orang ini kemudian mengadakan pertemuan mingguan di pondokan Sugondo di
Gang Rijksman (kini wilayah utara dari Jalan Juanda). Sugondo menyebut
pertemuan rutin itu sebagai “hari ngobrol politik”. Elizabeth
Buettner dalam Europe After Empire: Decolonization, Society, and Culture
(2014:82) menerangkan bahwa tulisan-tulisan yang dimuat secara anonim dalam
Indonesia Merdeka, membeberkan bagaimana kolonialisme yang dipandang baik dan
dirayakan di Eropa menunjukkan wajah bobroknya di tanah jajahan. Inilah yang
menjadi bahasan acara “ngobrol politik” grup Sugondo. Pertemuan
rutin mereka akhirnya ditinggalkan oleh Usman pada tahun 1926 karena ia
keluar dari RHS dan menjadi pengajar di Taman Siswa Yogyakarta. Sedangkan
Muksinun menjadi tidak aktif akibat kesibukannya. Namun, pada tahun yang
sama, hadir anggota baru “ngobrol politik”: Sigit (mahasiswa RHS), dan dua
orang mahasiswa School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau
Sekolah Dokter Hindia yaitu Gularso dan Darwis. PPPI dan Jalan Menuju Kongres Pemuda Kedua Mereka
akhirnya mendirikan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dengan Sigit
sebagai ketuanya. PPPI merupakan wadah penyampai gagasan fusi di antara
organisasi-organisasi pemuda. Sugondo ingin
menyampaikan gagasan fusi dan persatuan Indonesia ini ke kalangan yang lebih
senior seperti Agus Salim dan Ketua Budi Utomo saat itu, Kusumo Utoyo. Namun,
di hadapan para senior, Sugondo "tidak bisa bicara apa-apa, hanya
menjawab pertanyaan tentang profesor-profesor di sekolah […] dan tetek bengek
lainnya.” Pada tahun
1927, Sigit ditunjuk menjadi ketua Indonesische Clubgebouw (Gedung Klub
Indonesia). Posisinya sebagai ketua PPPI diganti oleh Sugondo. Pertalian
organisasi yang dipimpin oleh mereka akhirnya menguatkan sinyal fusi
antarorganisasi. Sugondo mengumpulkan para pimpinan organisasi pemuda dan
menyampaikan kepada mereka tentang pentingnya persatuan. Namun, gagasan
fusi itu banyak terpengaruh oleh latar kultural Jawa yang sentralistik.
Banyak organisasi khawatir bahwa Jong Java sebagai organisasi besar akan
menghegemoni organisasi baru yang lahir dari fusi antarorganisasi. Untuk
membahas masalah ini, akhirnya disepakati akan dibentuk panitia yang
mempersiapkan sebuah kongres pemuda. Panitia ini diketuai oleh Sugondo yang
nantinya melahirkan Kongres Pemuda Kedua (27–28 Oktober 1928)--belakangan
dijuluki sebagai “Sumpah Pemuda”. Rapat tersebut
diadakan dalam tiga sesi di tiga tempat berbeda. Rapat pertama digelar pada
27 Oktober 1928 di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (Persatuan Pemuda
Katolik), dekat Waterlooplein (kini Lapangan Banteng). Rapat kedua dan ketiga
diadakan pada 28 Oktober 1928, masing-masing di Gedung Bioskop Oost-Java
(kini di Jalan Veteran III), dan Gedung IC di Kramat (kini Museum Sumpah
Pemuda). Resolusi rapat disusun oleh Sugondo, Amir Syarifudin, dan Muhammad
Yamin yang akhirnya—setelah bahasanya dipoles oleh Yamin—berpokok pemikiran:
bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan, Indonesia. Sugondo: Terus Terang dan Dialektis Perannya pada
hari itu sebenarnya tidak dapat disebut sebagai penanda puncak kontribusi
Sugondo pada perjuangan kebangsaan Indonesia. Setelah Kongres Pemuda Kedua,
Sugondo masih aktif sebagai anggota PNI, namun fokus utama hidupnya adalah
bidang pendidikan dan pers. Setelah
menikah dengan Suwarsih pada 1932, orientasinya pada ilmu pengetahuan dan
dunia pendidikan menjadi semakin terang. Sugondo sempat mendirikan sekolah
Loka Siswa yang berumur pendek di Bogor, serta mengajar di Bandung, Semarang,
dan Batavia. Sekalipun perannya dalam "menyelundupkan" gagasan
persatuan Indonesia sangat vital, tapi Sugondo tidak bombastis. Dia bahkan
tidak segan mengkritik orang-orang yang mengakui peran mereka bila itu tak
senyata fakta. Dalam
tulisannya di buku 45 Tahun Sumpah Pemuda (1974:212–14), Sugondo
mempertanyakan tulisan Mardanus Safwan yang menyebut bahwa terdapat
orang-orang yang menjadi tenaga pemikir (braintrust) dan pendorong
terciptanya Kongres Pemuda Kedua—yang disebutnya terdiri dari sembilan orang.
Sugondo mengungkapkan bahwa tidak ada serangkaian tenaga pemikir seperti itu
dan Kongres Pemuda Kedua memiliki tujuan sederhana, yaitu fusi
antarorganisasi—dan tidak perlu "dewan pemikir" untuk merumuskannya. Sifatnya yang
kritis dan terus terang dibawa ke dalam hubungan rumah tangganya dengan
Suwarsih. Melalui cuplikan singkat yang ditunjukkan oleh Sutjiatiningsih
dalam Soegondo Djojopoespito: Karya dan Pengabdiannya (1999:6), kita dapat
melihat bahwa sepasang pemikir yang sama-sama mencintai buku itu: “suka
sekali membanding-bandingkan pendapat, […] mendiskusikannya, [dan] karena tak
jarang menimbulkan perdebatan [tampak] bagi orang lain yang kurang memahami
pribadi mereka […] seperti sebuah pertengkaran.” Hubungan
Sugondo dan istrinya yang terbuka dan penuh dialog, menjadi model yang
menantang pengetahuan mapan kita di masa kini, yang memfantasikan masa lalu
sebagai realitas yang kolot dan konservatif. ● |
Sumber : https://tirto.id/kisah-penyelundupan-persatuan-indonesia-lewat-jurnal-terlarang-gdlS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar