Dari Ruang Kos-kosan Menuju Indonesia
Merdeka Arif Gunawan Sulistiyono : Pemimpin Redaksi Tirto.id, Mantan Lead
Researcher CNBC Indonesia.com |
TIRTO.ID, 24 Oktober 2022
Pada awalnya
adalah kebutuhan kolonialisme akan tenaga terampil. Dari situ, pemerintah
Hindia Belanda membuka pendidikan bagi rakyat Indonesia. Siapa sangka, benih
nasionalisme justru ikut muncul dari tempat yang tak terprediksi, yakni di
kamar-kamar kos dan kontrakan. Menurut Momon
Abdul Rahman dkk dalam buku Sumpah Pemuda: Latar Sejarah dan Pengaruhnya bagi
Pergerakan Nasional (2008), Indonesia memiliki sekolah modern pertama di pada
24 Februari 1817. Sekolahnya ada
dua, yakni di Weltevreden (sekarang kawasan Gambir) dan Molenvlier (kawasan
Gajah Mada), Jakarta. Sayangnya, sekolah tersebut hanya diperuntukkan khusus
bagi keluarga bupati-bupati Jawa. Perlu 31 tahun
bagi pemerintah Hindia Belanda untuk mengizinkan adanya sekolah yang dibuka
untuk umum—atau istilahnya untuk kaum pribumi, yakni pada 30 Desember 1848.
Lokasinya lebih merata, yakni di ibukota karesidenan, kabupaten, kawedanan,
dan kota pusat bisnis. Meski
tingkatnya hanyalah sekolah dasar, biayanya begitu mahal sehingga hanya
anak-anak dari keluarga priyayi dan kalangan berada yang bisa menikmati.
Sekolah menengah menyusul dibuka, 12 tahun kemudian, yakni pada tahun 1860. Barulah pada
tahun 1900-an sekolah-sekolah tinggi setara universitas dibuka untuk umum.
Salah satunya adalah Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi (School tot Opleiding
van Inlandsche Artsen/STOVIA) pada tahun 1902. Artinya, perlu
setengah abad bagi pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dimulainya
pendidikan dasar bagi rakyat, dan nyaris seabad untuk membuka izin
beroperasinya perguruan tinggi. Dus, jangan
heran jika negeri ini—dan juga negara bekas jajahan lainnya—begitu tertinggal
dalam percaturan dunia modern. Kolonialisme tak hanya merampas hasil bumi dan
sumber daya alam tanah jajahan, tapi juga merampok akses kaum terjajah atas
pendidikan modern. Ketika Ratu
Wilhelmina berpidato di depan Parlemen Belanda pada 1901 tentang politik
etis, ia tak menduga bahwa kebijakannya yang berujung pada pembukaan sekolah
tinggi di Hindia Belanda bakal menciptakan situasi perubahan yang
menggoyahkan kuku kolonialismenya. Sekolah tinggi
yang didirikan Belanda tersebut pada akhirnya mengumpulkan para pemuda
nusantara—umumnya keturunan bangsawan, kalangan berada, atau mereka yang
berotak encer dan disponsori warga Belanda. Diskriminasi
di sistem dan tata kelola sekolah Belanda, seperti yang dialami Ki Hajar
Dewantara, membangunkan kesadaran nasionalisme mereka. Demikian juga berbagai
larangan atas semua ide dan ekspresi yang melawan kezaliman kolonialisme. Maka,
pergerakan pun muncul di ruang-ruang kamar kos, dan kamar kontrakan para
mahasiswa tersebut, seperti yang terjadi dengan Soegondo Djojopuspito dan
Kartosuwiryo di kamar kos HOS Cokroaminoto. Demikian juga
dengan Soetomo—anak kos di Madiun dan di Belanda, yang pertama memakai kata
‘Indonesia’ dalam aktivisme dengan mengubah Indische Vereeniging (Perhimpunan
Hindia) menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) pada tahun
1922. Berkat para
anak kos itulah ‘Indonesia’ sebagai entitas kebangsaan lahir, dan menjadi
kutub perjuangan seluruh rakyat Indonesia, yang diikrarkan melalui Sumpah
Pemuda. Seabad Setelahnya: Ironi Pendidikan & Pemuda Kini, kita
menginjak 1 abad setelah Soetomo menyematkan kata Indonesia dalam pergerakan
para aktivis kemerdekaan. Sumpah Pemuda juga telah kita peringati yang ke-94
kali. Buah pikir dan
keringat para pemuda dan mahasiswa itu telah membawa kita pada kemerdekaan.
Namun tidak dalam hal akses pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Data Badan
Pusat Statistik (BPS) per 2020 mencatat Angka Partisipasi Murni (APM) untuk
perguruan tinggi di Indonesia masih rendah, dengan kesenjangan lebar antara
perdesaan dan perkotaan. APM perkotaan hanya sebesar 24,9%, sedangkan di
perdesaan baru sebesar 11,54%. Hal ini
menunjukkan bahwa hanya seperempat warga perkotaan yang menikmati jenjang
perguruan tinggi, dan hanya sekitar sepersepuluh warga desa yang “makan
bangku sekolah.” APM menunjukkan tingkat partisipasi anak usia sekolah. Makin
tinggi, makin baik. Di tengah
masih terbatasnya akses pendidikan tinggi, kabar buruk menerpa dunia
pendidikan kita, dengan terus menurunnya kualitas perguruan tinggi kita, jika
mengacu pada pemeringkatan World University Rangkings yang disusun oleh
TimesHigherEducation.com. Lima
universitas andalan kita terus kalah bersaing di kancah global dan berpeluang
terlempar ke posisi 1.000+ tahun depan. Sebagai contoh, Universitas Indonesia
(UI) menduduki peringkat 601-800 pada 2016 dan tahun ini terlempar ke posisi
800-1.000. Kondisi
semakin runyam karena akses pendidikan dasar di Indonesia pun belum merata.
APM sekolah dasar secara nasional baru sebesar 97,7%, dengan APM di sekolah
menengah pertama (SMP) sebesar 80,1%. Artinya, pendidikan dasar belum
dinikmati 100% rakyat Indonesia. Mereka yang
belum menikmati pendidikan dasar utamanya di kawasan Timur Indonesia. Tiga
provinsi dengan presentase tertinggi penduduk yang buta huruf berasal dari
sana, yaitu Papua (36,3%), Nusa Tenggara Barat (16,5%) dan Sulawesi Barat
(10,3%). Di tengah
kesenjangan akses pendidikan, hasil pendidikan kita pun masih buruk. Lihat
saja skor PISA (Programme for International Student Assessment) yang pada
2018 jauh tertinggail dari negara lain dan tak pernah mencapai skor rata-rata
negara maju. Hasil survei
PISA terbaru—pada 2018, karena survei 2021 tertunda menjadi tahun ini akibat
pandemi—menempatkan Indonesia di peringkat 74, atau posisi keenam dari bawah.
Skor kemampuan membaca siswa Indonesia di 371 (peringkat 74), skor kemampuan
Matematika di 379 (peringkat 73), dan skor kemampuan sains di 396 (peringkat
71). Bonus Demografi Hanya Slogan Semata? Bicara pemuda,
kita tentu sering mendengar gembar-gembor tentang bonus demografi: besarnya
komposisi pemuda di piramida penduduk. Disebut sebagai ‘bonus’ karena secara
alami, Indonesia mendapat limpahan tenaga kerja muda. Proporsi
penduduk usia produktif (usia 15–64 tahun) yang dianggap sebagai aset penting
penggerak roda ekonomi, jauh melampaui usia tidak produktif (14 tahun ke
bawah dan di atas 65 tahun) yang dianggap sebagai “beban perekonomian.” Menurut
statistik, rasio ketergantungan—perbandingan antara penduduk usia produktif
dengan penduduk usia non-produktif—di Indonesia turun ke bawah 50%. Semakin
kecil rasio ketergantungan, semakin baik juga dampaknya bagi perekonomian. Mengacu pada
prediksi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia
diyakini mendapat window of opportunity (jendela peluang) pada kurun
2010–2030, di mana rasio ketergantungan sangat rendah dan mencapai titik
nadirnya pada 2030 (sebesar 46,9%). Pada kurun
waktu tersebut, penduduk Indonesia diprediksi berjumlah 293 juta jiwa (2030),
dengan jumlah penduduk usia produktif mencapai 200,3 juta. Bonus penduduk
produktif inilah yang diyakini akan menjadi modal dasar untuk memutar mesin
ekonomi dan pembangunan. Terbaru (per
Februari 2022), data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angkatan
kerja di Indonesia berjumlah 144 juta. Sebanyak 135,6 juta orang terserap di
pasar tenaga kerja dan 8,4 juta sisanya masih berstatus pengangguran. Lalu berapa
sih kontribusi anak muda di angkatan kerja? BPS tidak merinci. Namun,
indikasi besarnya kontribusi generasi muda bisa terlacak dari data pembayar
pajak di Kementerian Keuangan. Generasi Y
(kaum milenial) dan Generasi Z—keduanya lahir antara 1981-2012, menyumbang
47% dari pembayar pajak di Indonesia (2021). Persentase tersebut di dunia
nyata tentu lebih tinggi karena data tersebut hanya mencatat penyetor pajak
penghasilan (Pph) pribadi. Artinya, yang
terekam adalah mereka yang bekerja di sektor formal. Di sektor informal,
kontribusi kaum muda terhadap perekonomian jauh lebih tinggi, terutama dari
ekonomi digital—di mana mereka meraja tetapi belum masuk radar perpajakan. Dengan
dominannya generasi produktif di sebuah negara, ekonomi pun berpeluang
berputar lebih kencang. Semakin banyak kaum berpenghasilan, maka semakin
besar pula daya beli di sebuah ekonomi yang mendorong konsumsi serta alokasi
investasi lebih besar. Sebagaimana
diketahui, konsumsi masyarakat menyumbang 53% Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia, sementara investasi berkontribusi sebesar 30%. Keduanya menjadi
mesin utama ekonomi sehingga berperan besar menentukan kencang tidaknya laju
mesin ekonomi nasional. Namun, saat
ini ada situasi yang memprihatinkan dalam struktur keuangan kaum muda
Indonesia yang menisbikan nilai lebih bonus demografi, yakni besarnya
pengeluaran mereka untuk membiayai hidup anggota keluarga (dan bukan untuk
investasi). Kita
mengenalnya dengan istilah sandiwich generation di mana generasi muda
terpaksa harus membayar pengeluaran rutin keluarganya (ayah-ibu, kakek-nenek,
adik-kakak), sehingga daya beli yang mereka miliki kurang terpakai optimal
untuk menopang investasi. Data Indonesia
Milenial Report sebelum pandemi saja (2019) menunjukkan bahwa rata-rata
pengeluaran milenial untuk kebutuhan keluarga mencapai 51,1% dari pengeluaran
rutin mereka per bulannya. Sementara itu, alokasi dana untuk investasi hanya
2%. Belum lagi
jika bicara soal daya saing para pemuda kita di era digital. Contoh nyata
adalah terbatasnya tenaga kerja yang mumpuni di pos-pos vital seperti
programmer dan data scientist. Tidak heran, para startup nasional harus
meng-outsource pekerjaan itu ke India. Pondasi
Indonesia, jika mengacu pada pendapat filsuf Yunani Diogenes, belum cukup
kuat karena pendidikan bagi para pemuda kita masih terkendala. Akibatnya,
penghidupan mereka (milenial dan Gen-Z) terbatas dan kini terjebak dalam
dilema sandwich generation. ● |
Sumber : https://tirto.id/dari-ruang-kos-kosan-menuju-indonesia-merdeka-gxEl
Tidak ada komentar:
Posting Komentar