Catatan Pinggir
Guncangan Politik
dalam Apokalipse Kitab Lama Goenawan Mohamad : Sastrawan, Pendiri Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 30
Oktober 2022
Kasandung
wohing pralaya, Kaselak
banjir ngemasi… SELALU muram, menakutkan,
selalu apokaliptik. Apa yang sering disebut sebagai “ramalan” dalam pelbagai
karya sastra Jawa hampir selamanya distopia, imajinasi tentang masa depan
yang membungkam harapan baik di hari nanti. Di atas kita baca potongan
kata-kata yang konon diucapkan Sabdo Palon, seorang pendeta di masa akhir
Majapahit, pembela identitas “Jawa”—meskipun mungkin sekali ia tokoh
fiktif—di hadapan sesuatu yang mengancam. Dengan menggunakan kerusakan alam
sebagai pasemon, ia tak membicarakan malapetaka perubahan iklim, melainkan
guncangan sosial-politik. Udan
barat salah mangsa, Angin
gung anggegirisi, Kayu
gung brasta sami, Tinempuhing
angina angun, Katah
rebah amblasah, Lepen-lepen
samya banjir, Lamun
tinon pan kados samodra bena. Hujan angin salah musim Badai deras menakutkan, Merobohkan pepohonan besar Yang terlanda, semua Bergelimpangan, berantakan Dan sungai-sungai yang
banjir Tampak seperti lautan. “Sabda Palon”, entah siapa
sebenarnya penulisnya, mendeskripsikan tatanan yang runtuh, ketika
batas-batas yang dipatuhi hilang. Di sana diuraikan kejatuhan Majapahit, yang
terkenal dilambangkan sebagai sirna ilang kertaning bumi atau “punahnya
kesejahteraan semesta”, ketika kerajaan Hindu Jawa itu melorot, bersama
datangnya “zaman Islam”. Mungkin teks itu ditulis
sekian abad pasca-Majapahit, ketika sejarah Jawa berubah jadi cerita
kerajaan-kerajaan Islam yang tak henti-hentinya diguncang perang perebutan
takhta, sejak Demak di abad ke-15 sampai dengan Mataram di abad ke-19—ketika
tak ada lagi karya monumental seperti kitab Nagarakretagama dan Candi
Borobudur dan Prambanan. Pola apokaliptik ini juga
tampak dalam “ramalan” yang lebih termasyhur, yang diduga ditulis di abad
ke-17, Jangka Jayabaya—meskipun dalam teks yang beredar kini kita temukan
bahasa abad ke-20 ( kata “rakyat”, “buruh”). “Ramalan” dimulai dengan
bait-bait tentang mobilitas manusia yang berubah. Pulau Jawa berkalung besi
(artinya “akan dililit rel kereta api”), dan kendaraan bergerak tanpa kuda,
dan perahu berjalan di angkasa.... Tapi Jangka Jayabaya bukan
cerita tentang perubahan teknologi transportasi yang memikat. Bahkan itu
semua pertanda “zaman kalabendhu”, tatkala, menurut penyusun nubuat yang tak
berbahagia ini, khaos merajalela dan penduduk serba terpojok. Kana-kene
saya angkara murka (Di mana-mana angkara
murka menjadi-jadi) Sing
weruh kebubuhan (Mereka yang
berpengetahuan terkena beban) Sing
ora weruh ketutuh (Mereka yang tak
berpengetahuan disalahkan) Para literati yang
menulisnya (atau yang mengartikannya berkali-kali) tampak mencemaskan
perubahan. Mungkin mereka—kebanyakan pujangga keraton—orang-orang tua yang
menanggungkan masa akhir hidup mereka dengan encok. Atau mungkin mereka
sejumlah orang yang posisinya tergerus. Sebab sebenarnya bisa juga dilihat,
deretan keburukan yang mereka gambarkan akan berlangsung itu lebih merupakan
kritik sosial kepada keadaan yang sedang dialami. “Ramalan” Kalatida
Ranggawarsita, misalnya, bisa dibaca sebagai suara keluh kesah sang penyair
tentang nasib dirinya dan situasi buruk yang mengitarinya—yang ia nilai
sebagai “zaman edan”. Mungkin karena tak berani berterus terang, kekacauan
sosial diletakkannya sebagai “kelak”, bukan gambaran “kini”, ketika sang
penyair hidup dalam pengawasan istana. Dalam pada itu, Jayabaya
memaparkan keburukan yang akan dan telah terjadi dengan ukuran nilai yang tak
baru: munculnya para penipu, berjayanya para pendusta, dan seterusnya. Dasar ethiknya
konservatif, bahkan reaksioner. Teks Jayabaya, misalnya, melihat status
sebagai takdir yang dilanggar: “Bupati dadi rakyat/Wong cilik dadi priyayi”. Dan ketika perubahan
sosial dikeluhkan sebagai hilangnya ketetapan makna, sang penggubah “ramalan”
ini terasa doktriner. Baginya “edan”—situasi buruk—adalah ketika hidup
menampakkan kacaunya sistem simbolik. Dalam “ramalan” Sabdo
Palon, misalnya, sungai akan tinon pan kados samodra bena, tampak seperti
lautan. Dengan kata lain, ambiguitas merisaukan. Kekacauan adalah keadaan
ketika “gagak hitam disebut bangau putih”, dhandhang diunekake kuntul, dan
“timah dianggap perak, emas disebut tembaga”. Apokalipse Jayabaya adalah
ketika perbedaan tak lagi dilembagakan dengan penanda yang pasti;
percampuran, atau alih peran, jadi pola yang negatif: Jaran
doyan mangan sambel (Kuda suka makan sambal) Wong
wadon nganggo pakeyan lanang (Perempuan berpakaian
pria) Dalam hubungan itu tiap
konflik dilihat dengan sendirinya sebagai tak wajar. Di beberapa baris teks
ini memang ada sikap yang membela yang tertindas, kaum tani yang dibelenggu.
Tapi, di bagian lain, naskah Jayabaya mengecam keadaan ketika “Akeh buruh
nantang juragan”, banyak buruh melawan majikan. “Ramalan” itu pada
dasarnya sebuah gugatan. Ia ingin dikesankan sebagai rasa risau kepada sebuah
situasi buruk. Tapi sebenarnya ia diutarakan dengan geraham yang tak gemertak
marah. Deskripsi “muram” Jayabaya dibangun dari bunyi rima kalimat yang
nyaman: Sing
ne-kat mbre-kat. Sing
jer-ih ketin-dhih. Terasa suara sang pujangga
bukan suara protes. Apokalipsenya manis. ● Sumber :
https://majalah.tempo.co/read/catatan-pinggir/167281/guncangan-politik-dalam-apokalipse-kitab-lama |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar