Tentang
Satu Masa Depan Nusantara Yanuar
Nugroho; Dosen Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara Jakarta; Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura; Pendiri Nalar
Institute; Penasihat CIPG Jakarta |
KOMPAS, 27 Juli 2022
Satu di antara warisan Presiden Joko Widodo yang
paling banyak diperdebatkan adalah pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke
Nusantara, sebuah kota baru yang akan dibangun di Kabupaten Penajam Paser
Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Perdebatan berkisar pada perlu tidaknya dan urgensi
pemindahan ibu kota negara (IKN) beserta potensi masalahnya. Mereka yang mengkritik—bahkan menolak—gagasan
pemindahan IKN merujuk pada waktu (timing) yang tak tepat, minimnya sumber
daya untuk membangun, dan berbagai persoalan sosial-lingkungan, mulai dari
integrasi dan konflik dengan penduduk lokal dan masyarakat adat, status
lahan, hingga potensi kerusakan lingkungan. Seolah pembangunan IKN hanya akan
menuai bencana. Sebaliknya, mereka yang habis-habisan mendukung
pemindahan IKN—khususnya pemerintahan Jokowi saat ini—mengajukan optimisme
lahirnya pusat pertumbuhan ekonomi baru serta ibu kota baru yang cerdas,
modern, dan hijau. Bahkan, untuk menampik dan menyangkal berbagai keraguan,
pembangunan Nusantara kini dikebut. Setelah UU IKN disahkan dan Otorita IKN
dibentuk, kini pembangunan fisik infrastruktur digenjot secara masif dengan
target berpindahnya pemerintahan ke Nusantara pada awal 2024. Seolah-olah,
tak akan ada masalah dalam pembangunan Nusantara dan pasti membawa berkah
masa depan. Kita yang paham hakikat realitas tentu mengerti
bahwa keduanya salah kaprah melihat masa depan IKN. Tak ada masa depan yang
sepenuhnya suram atau sepenuhnya cemerlang. Masa depan tidak diperkirakan
atau diramalkan. Ia dibentuk—dengan kesadaran. Dan kesadaran inilah yang
sekian lama tersisih oleh riuh rendah dangkal antara yang pro dan kontra,
yang kehilangan kedalaman melihat gagasan pemindahan IKN ini. Kesadaran masa depan Masa depan tidak pernah tunggal. Dalam studi tentang
masa depan, ia selalu ditulis dalam bentuk jamak (futures studies) dan selalu
bicara tentang berbagai kemungkinan-keterbentukannya (futures
plausibilities). Demikian pula dengan masa depan IKN—masa depan Nusantara.
Dari banyak kemungkinan masa depannya, satu akan diperdalam sebagai upaya
membangun kesadaran bersama. Pemindahan IKN semestinya punya fondasi kesadaran
kunci: bahwa kesempatan memindah atau membangun ibu kota baru adalah
kesempatan untuk memperbarui cara menata dan mengelola kehidupan berbangsa
dan bernegara. Pemindahan IKN bukan upaya membangun sebuah kota atau pusat
pertumbuhan ekonomi baru semata, melainkan menunjukkan tekad kepada warga
Indonesia dan dunia, bahwa republik ini mau sungguh berbenah—mencari cara
baru dalam mengelola negara. Tanpa kesadaran ini, perdebatan tentang IKN tak akan
ada akhirnya. Bahkan IKN akan selalu jadi komoditas politisasi. Tak usah
disangkal: salah satu kekhawatiran terbesar saat ini adalah jika pemerintah
yang terbentuk dari Pemilu 2024 tidak meneruskan, bahkan membatalkan
pemindahan IKN, karena UU IKN pun bisa dibatalkan jika mayoritas DPR
menyetujuinya—dan kita tahu ini perkara konsolidasi kekuatan politik belaka.
Jika terjadi, proyek IKN ini bisa jadi proyek mangkrak terbesar yang pernah
ada. Inilah kesadaran yang mestinya menjadi arah
membentuk masa depan IKN: sebagai bagian dari upaya menjadi bangsa besar,
membangun ibu kota baru menjadi kesempatan tidak hanya untuk membangun kota
dan prasarana fisik, tetapi juga membangun komitmen menata ulang berbagai
aspek pemerintahan dan kenegaraan secara serius. Sebelum menyelisik lebih jauh tata ulang kenegaraan,
setidaknya ada empat dimensi fundamental yang terkait langsung dengan masa
depan IKN. Pertama, secara fisik, pemindahan IKN memberi
kesempatan mengurangi beban Jakarta yang sudah terlalu besar sebagai pusat
kegiatan—dari pemerintahan, bisnis, keuangan, perdagangan, sosial, hingga
budaya. Carrying capacity (daya dukung alam) Jakarta sudah berada di batas
terendah untuk menopang seluruh aktivitas manusianya. Selain itu, ancaman
bencana alam, seperti banjir, tsunami, dan gempa, serta krisis sumber daya
air juga makin menghantui. Karena itu, memindah pusat pemerintahan ke
Nusantara akan membantu Jakarta membenahi dirinya sebagai salah satu pusat
aktivitas sosial-ekonomi. Memang satu tantangan utama pembangunan fisik IKN
adalah terbatasnya kapasitas keuangan negara. Apalagi ada kebutuhan untuk
penanganan dampak pandemi dan respons pada krisis global akibat konflik di
berbagai belahan dunia. Karena itu, diupayakan berbagai skema pembiayaan
pembangunan Nusantara untuk mengurangi beban negara: utang luar negeri,
investasi, kerja sama pemerintah-badan usaha (KPBU) dengan melibatkan swasta
dan juga BUMN. Kedua, pemindahan IKN adalah pengakuan sekaligus
upaya koreksi atas pembangunan yang selama ini memang berpusat di Jawa dan
belum merata. Dari kontribusi ekonomi terhadap produk domestik bruto (PDB),
Jawa mendominasi dengan 57,89 persen, dan 17,23 persennya disumbang Jakarta. Pembangunan Nusantara diproyeksikan memunculkan
sentra pertumbuhan ekonomi baru, termasuk lewat penciptaan lapangan kerja,
serta menopang pertumbuhan di wilayah tengah dan timur Indonesia yang selama
ini tertinggal. Ibu kota modern di masa depan tidak hanya menjadi pusat
pemerintahan, tetapi juga sebagai penghubung berbagai aktivitas, rantai
nilai, dan penggerak ekonomi nasional. Ketiga, pembangunan IKN berarti peluang untuk
melakukan perencanaan dan pembangunan ibu kota dari nol—mengoreksi segala
kekurangan Jakarta dan tak mengulangi kesalahan pengembangannya yang
problematik dari masa ke masa. Nusantara mesti menjadi kota maju, cerdas,
lestari, dan inklusif. Disparitas sosial dan terpinggirkannya warga asli
Betawi dari akses sumber daya sosial-ekonomi-politik Jakarta tak boleh
terulang di Nusantara. Keberadaan setidaknya 20.000 orang dari 21 kelompok
adat asli Kalimantan Timur (AMAN, 2021) mesti dijamin, juga haknya atas akses
pada sumber daya pembangunan di sana. Tata kotanya sebagai kota cerdas,
hijau, dan hutan (intelligent, green, and forest city) mesti menjamin
keberlanjutan dan kelestarian lingkungan, dan bukan ancaman bagi ekosistem
hayati seperti dikhawatirkan Forest Watch, Jatam, TrendAsia, dan Walhi,
mengingat ia terletak di pusat paru-paru dunia. Terakhir, Nusantara tak boleh menjadi sekadar
showcase, tetapi mesti menjadi lokomotif transformasi tata kelola
pemerintahan dan reformasi birokrasi negeri. Tak ada ibu kota modern di
negara maju mana pun yang aparat pemerintahan serta birokrasi negaranya
lamban, korup, tidak cakap, dan tidak efisien dalam menyediakan layanan publik
yang berkualitas. Ini mesti dimulai dari memastikan pembangunan IKN
bersih dari berbagai konflik kepentingan, termasuk konsesi, kepemilikan, dan
tata guna lahan (Forest Watch Indonesia, 2021; NarasiNews, 2021). Membangun
Nusantara mesti menjadi awal melakukan transformasi struktural pemerintahan
serta penataan kelembagaan dan aparatur negara secara menyeluruh di republik
ini. Singkatnya, pemindahan IKN harus menjadi momentum
penataan ulang dan pembaruan pengelolaan negeri ini. Momentum pembaruan Di jantung setiap pembaruan adalah manusia.
Pembaruan pengelolaan pemerintahan menuntut pembaruan manusia pelaku tata
kelola kenegaraan: aparatur sipil negara (ASN). Pemindahan IKN mesti jadi
momentum strategis pembaruan talenta ASN, bukan sekadar urusan pemindahan
pegawai pemerintahan. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) memperkirakan 118.000 hingga 180.000
ASN akan pindah ke IKN (Kompas, 26/2/2022). Dari jumlah ini, 60.000 orang
sudah akan berada di Nusantara akhir 2023 (Kompas, 11/3/2022). Namun, hingga
saat ini jumlah pasti dan skenario pemindahan belum diketahui. Yang jelas, pemerintah menyiapkan fasilitas bagi ASN
yang pindah ke IKN berupa biaya pindah dan perumahan dinas, insentif
kemahalan, dan flexible facility arrangement, seperti kemudahan akses,
kelengkapan fasilitas, pemilihan rumah tinggal, fleksibilitas cara kerja, dan
pengembangan kompetensi (Bappenas, 2022). Namun, cukup banyak ASN tak
berminat, membangkang, atau mengajukan mutasi untuk menghindari pemindahan
dirinya ke ibu kota baru. Mereka tak bisa disalahkan, karena selain skema
pemindahan di atas, mereka tak tahu peta jalan dan cetak biru pemindahan ASN
ke Nusantara yang berdampak pada nasib mereka dan keluarganya. Jelaslah,
untuk menarik para abdi negara ke IKN, tidak cukup iming-iming remunerasi dan
tunjangan. Hampir seluruh wacana kebijakan pemindahan IKN
didominasi oleh rencana pembangunan fisik ibu kota dan hampir tak ada ruang
membicarakan soal manusianya. Komunikasi kebijakan pemindahan IKN, khususnya
yang terkait dengan ASN, tidak berjalan optimal. Padahal, tata kelola ASN
dalam pemindahan IKN ini menjadi pintu masuk strategis untuk pembenahan tata
pemerintahan secara keseluruhan. Ia membawa pesan: memindah IKN adalah
membarui tata kelola pemerintahan lewat pembaruan penataan ASN. Bahkan, ini
kesempatan menata satu generasi baru korps ASN kita. Tuntutan kualitas SDM di ibu kota baru dan di
Indonesia baru tak lagi memadai jika meneruskan pola lama di ibu kota lama
dan Indonesia lama: dominasi ASN berusia tak lagi muda dengan kualitas
relatif rendah dalam struktur birokrasi dan terbatasnya talenta ASN muda
dalam posisi strategis Dari 3,99 juta ASN—meliputi 936.860 pegawai
kementerian/lembaga dan 3,06 juta pegawai pemda—38,1 persen (1,52 juta)
berusia 51-60 tahun dan 31 persen (1,25 juta) berusia 41-50 tahun. Hanya
sekitar 30 persen berusia 40 tahun ke bawah (Badan Kepegawaian Negara, 2021).
Ini masalah serius yang perlu dipikirkan. Apalagi dengan niat pemerintah
meraih bonus demografi yang waktunya bersamaan dengan proses pemindahan IKN,
ASN muda di Nusantara adalah bagian dari kalkulasi strategis masa depan. Itu sebabnya, memindahkan IKN adalah sekaligus
momentum menata manajemen talenta ASN kita. Pemindahan ASN ke IKN tidak hanya
didorong lewat remunerasi dan tunjangan, tetapi juga kesempatan akselerasi
karier dan kenaikan pangkat. Di Singapura, mayoritas PNS meraih posisi
permanent secretary (setara dirjen, deputi, atau pejabat eselon IA di
Indonesia) saat berusia 45 tahun. Mengapa itu tak bisa kita lakukan? Mengapa tak kita
mulai saat memindahkan IKN—dan ASN—ke Nusantara? Kita bisa memberikan
insentif percepatan kenaikan pangkat bagi ASN muda yang akan mengawaki
Nusantara dan Indonesia baru: bisa meraih eselon I saat berusia 45 tahun. Jika
akselerasi karier dan kenaikan pangkat sebagai bagian dari manajemen talenta
ASN ini bisa diwujudkan, kinerja pemerintahan akan membaik dan pembaruan akan
terjadi. Berusia 45 tahun saat jadi eselon I, para pejabat
ini akan punya waktu hingga 15 tahun sebelum pensiun untuk bekerja optimal.
Keberlanjutan kebijakan akan terjaga karena rentang posisi dan masa jabatan
cukup untuk melakukan berbagai terobosan yang dibutuhkan untuk memajukan
negeri. Ini juga menjawab masalah banyaknya kebijakan yang saat ini mandek
dan bussines as usual karena posisi strategis eselon I dan II diisi mayoritas
ASN berusia di atas 50, bahkan 55 tahun, dan akibatnya tak cukup waktu
melakukan terobosan karena terburu tergulung usia pensiun. Dari perspektif eksternal pun, menghadapi dinamika
global saat ini yang berada dalam era VUCA (volatile, uncertain, complex,
ambiguous/bergejolak, tak pasti, kompleks, dan serba ambigu), peremajaan
birokrasi dan manajemen talenta ASN adalah sebuah keniscayaan. Kita tak mau
melihat kinerja kebijakan dan pelayanan publik yang begitu-begitu saja. Kita
mesti serius mewujudkan Indonesia yang maju dan modern. Memindah IKN bukan hanya perkara membangun gedung
dan istana di lokasi baru. Memindah IKN adalah kesempatan menata ulang semua
aspek kenegaraan dan pemerintahan, termasuk dan khususnya pembaruan sumber
daya pembangunan manusianya, yakni aparaturnya. Dengan kesadaran ini, debat
soal IKN seharusnya ”naik kelas”: bukan lagi soal setuju tidaknya, apalagi
politisasinya, melainkan bagaimana membentuk masa depan Nusantara dan
Indonesia. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/26/tentang-satu-masa-depan-nusantara |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar