Semiotika
Islamophobia Lukas Luwarso :
Jurnalis Senior, Kolumnis |
WATYUTINK, 26 Juli 2022
Indonesia
dikenal sebagai negara dengan mayoritas warga beragama Islam adalah fakta.
Jadi logiskah jika belakangan dihembuskan isu dan istilah “Islamophobia” oleh
sekelompok Islamist untuk mengkampanyekan kiprah politiknya? Apa yang
dimaksud dengan phobia pada Islam? Benarkah Islamophobia benar ada sebagai
gejala dan fenomena sosial, atau cuma soal kesalahan semiotika? Sekadar
kesalahan memaknai? Secara
asumtif, juga semantic, Islamophobia dipahami sebagai ekspresi ketakutan,
ketidaksukaan, atau prasangka buruk yang berlebihan pada Islam sebagai agama.
Ekspresi kecemasan pada Islam ini muncul dan menjadi “label” pasca-serangan
teroris 11 September 2001 di Amerika. Islamophobia kemudian dikesankan
sebagai penanda (signify) adanya kekuatan geopolitik untuk melawan Islam,
alih-alih terorisme dan ekstremisme. Istilah
“Islamophobia” menjadi tumpang tindih, dianggap sejenis dengan xenophobia
yang bernuansa rasisme. Satu ketakutan atau kebencian dengan apapun yang
dianggap asing, berbeda, atau aneh. Sikap xenophobic lazim memicu sikap
eksklusivitas (ingroup vs outgroup), selalu mencurigai aktivitas pihak yang
berbeda, bahkan ada hasrat untuk mengeliminasi kubu yang dicurigai, demi
mempertahankan identitas etnis atau ras-nya. Wacana
Islamophobia muncul, selain sebagai respon atas tragedi serangan 9/11, juga
bangkitnya kelompok militan yang ingin menegakkan negara Islam di sejumlah
wilayah. Juga maraknya sikap ekstremisme kelompok imigran muslim di Amerika,
Uni Eropa dan berbagai negara lain. Akibat adanya diskriminasi dan persekusi,
yang memang terjadi pada dunia Islam di Amerika, mendorong munculnya solidaritas
identitas Islam secara global. Pada
15 Maret 2022, PBB bahkan mengadopsi resolusi yang mengesahkan “Hari
Internasional Melawan Islamophobia”. Resolusi itu diajukan oleh Pakistan
mengatasnamakan Organisation of Islamic Cooperation (OIC). Demikianlah,
akhirnya “Islamophobia” menjadi istilah resmi merujuk pada “perlawanan” Islam
pada gejala terjadinya “diskriminasi” dan “persekusi” terhadap kaum muslim. Namun,
secara etimologis, ada misnomer dalam istilah Islamophobia. Pilihan
menggabungan kata “Islam” dan “phobia” terasa tidak pas, bahkan tidak patut.
Islamophobia menjadi “neologisme”, istilah atau frasa baru yang coba
diinternalisasikan agar menjadi mainstream. Namun apakah frasa ini betul
mencerminkan maksud atau konsep yang ingin disampaikan? Benarkah
“Islamophobia” logis dan konsisten sebagai istilah atau frasa yang
menggabungkan kata Islam (ajaran agama) dan phobia (rasa takut), “rasa takut
pada ajaran atau orang Islam”? Frasa
Islamophobia memang pernah dipakai oleh penulis Perancis, Alain Quellien,
dianggap sebagai pengguna pertama kata Islamophobie pada 1910. Alain memakai
istilah ini untuk menandai adanya “prasangka pada Islam yang merebak di
kalangan warga Kristen di Barat.” Namun Istilah ini tidak pernah menjadi
resmi, mainstream, atau populer, termasuk juga tidak eksis di dunia Islam
hingga tahun 1990-an (saat diterjemahkan menjadi ruhāb al-islām, "phobia
pada Islam"). Pusat
studi Islamophobia di Universitas California menganggap, istilah ini juga
agak “dipaksakan”. Sebagai penanda cerminan rasa takut dan prasangka
pemikiran Eurocentric atau orientalisme. Jika saat ini Islamophobia
digembar-gemborkan dan diintroduksi kembali, itu artinya sama saja
membenarkan cara berpikir “Eropa adalah pusat segalanya” yang sudah
ketinggalan jaman dan tidak lagi valid. ● Sumber : https://www.watyutink.com/berpikir-merdeka/pr-5033978843/semiotika-islamophobia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar