Waspadai Migrasi
Besar-besaran Mamit Setiawan :
Direktur Executive Energy Watch |
JAWA POS, 12 Juli 2022
SALAH satu
pertimbangan menaikkan harga BBM nonsubsidi adalah kondisi terakhir harga
minyak dunia. Memang benar harga minyak beberapa waktu terakhir terus
menunjukkan tren kenaikan. Harganya tembus di atas USD 110–120 per barel. BBM
umum alias BBM nonsubsidi mengikuti aturan Kepmen ESDM No 62 Tahun 2020.
Dalam aturan tersebut memang diatur kapan harga perlu dievaluasi. Evaluasi harga
keekonomian BBM dipengaruhi banyak hal. Minyak mentah dunia, kurs rupiah, dan
lain-lain. Kalau pajak, PPN, dan semacamnya itu biasanya tetap. Harga minyak
dunia ini memang mengambil porsi paling besar dalam penentuan harga BBM. Selain faktor
harga minyak mentah dunia yang sedang meningkat, nilai tukar rupiah yang
terus melemah terhadap dolar jadi alasan kuat harga BBM nonsubsidi harus
naik. Kurs rupiah yang melemah akan meningkatkan biaya pokok produksi. Namun, perlu
diketahui bahwa kenaikan harga yang ditetapkan Pertamina untuk tiga BBM
nonsubsidi kali ini nilainya relatif masih di bawah nilai keekonomian yang
seharusnya. Bisa dibandingkan dengan SPBU swasta yang menjual BBM jenis sama
dengan harga lebih tinggi. Sebab, harga mereka memang menyesuaikan harga
minyak mentah dunia. Menurut
perspektif saya, Pertamina cenderung menahan kenaikan harga sedikit lebih
rendah dari yang seharusnya karena dua alasan utama. Pertama, menjaga daya
beli masyarakat, tak terkecuali masyarakat pengguna BBM RON tinggi. Kedua,
yang terpenting adalah menghindari migrasi besar-besaran dari pengguna BBM
RON tinggi ke jenis BBM yang lebih rendah. Disparitas harga yang terlalu
tinggi bisa memicu migrasi tersebut. Memang, potensi
migrasi cenderung kecil, meski tetap harus diwaspadai. Persentase pengguna
pertamax turbo, Pertamina dex, dan dexlite sedikit sekali. Dampak positif
bagi aspek keuangan Pertamina juga dipastikan tidak akan terlalu signifikan.
Pengguna pertamax turbo dan RON 95 lainnya hanya sekitar 5 persen dari total
konsumsi BBM nasional. Di saat yang
sama, harga gas elpiji nonsubsidi juga naik. Tapi, jika ditanya apakah ini
semua akan berdampak pada inflasi Juli 2022, jawabannya adalah tidak terlalu
signifikan. Sama seperti pengguna BBM nonsubsidi, pengguna elpiji 12 kg juga
sangat segmented. Hanya 6 persen dari total penggunaan elpiji secara
nasional. Berdasar data Pertamina, porsi pengguna elpiji nonsubsidi itu hanya
7,4 persen dari total pengguna elpiji secara nasional. Jadi, 92 atau 93
persennya adalah pengguna elpiji 3 kg. Pemerintah dan Pertamina perlu
terus melakukan sosialisasi mengenai subsidi tepat sasaran. Setidaknya
memberikan penjelasan bahwa subsidi hanya untuk masyarakat yang tidak mampu.
Kedua, program pembatasan BBM subsidi seperti saat ini harus diteruskan dan
dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. Ketiga, reformasi subsidi dari
berbasis barang ke berbasis orang harus disegerakan. ● Sumber
: https://www.jawapos.com/opini/12/07/2022/waspadai-migrasi-besar-besaran/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar