Untuk Apa Saja Rp 15 Ribu Triliun dalam
Transisi Energi Abdul Manan ; Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Juli
2022
INVASI Rusia ke
Ukraina menyeret dunia ke krisis energi. Negara anggota Uni Eropa, yang
selama ini bergantung pada energi Rusia, kini mencari alternatif dari negara
lain, termasuk Indonesia. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Arifin Tasrif, Jerman berminat membeli batu bara. Juga ada permintaan gas dari
Eropa, tapi permintaan itu tak mudah dipenuhi karena Indonesia sudah terikat
kontrak dengan pihak lain. Bagi Indonesia,
sebagai negara net importer, dampak krisis ini yang paling memukul adalah
melambungnya harga minyak mentah. Kenaikan itu memperbesar subsidi yang
ditanggung pemerintah untuk menjaga pasokan stabil dan harganya tak melonjak.
"Tentu kami mengimbau masyarakat juga bisa membantu pemerintah dengan
menghemat bahan bakar minyak (BBM)," kata Arifin kepada Tempo di kantornya
di Jakarta pada Kamis, 21 Juli lalu. Dalam wawancara
sekitar satu jam, mantan direktur utama di PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk
Sriwidjaja, dan PT Pupuk Indonesia ini menjelaskan target pengurangan emisi
dari sektor industri, termasuk energi, agar bisa bebas karbon pada 2060
sesuai dengan komitmen Indonesia. Dia juga menguraikan potensi energi
terbarukan, peta jalan transisi dari energi fosil ke energi baru dan
terbarukan, serta dampak krisis Eropa terhadap energi di Indonesia. Sejauh
mana perkembangan transisi energi kita? Sesudah meratifikasi
Perjanjian Paris 2016, Indonesia punya target mengurangi emisi karbon
dioksida (CO2). Target kita dalam dokumen kontribusi yang ditentukan secara
nasional (NDC) adalah 29 persen pada 2030. Itu untuk apa yang bisa kita upayakan
sendiri. Tentu saja kami menginventarisasi apa yang kita miliki dan bagaimana
melaksanakannya. Untuk itu, kami mencoba membuat target capaian bebas karbon
(net zero emission) pada 2060. Banyak program yang disusun dalam peta jalan
tersebut. Intinya, pada 2060 paling tidak ada 1,5 gigaton CO2 yang harus bisa
dikurangi. Sekarang Indonesia baru mencapai 84-85 juta ton CO2 dengan banyak
kontribusi dari sektor kehutanan. Dari industri, yang paling banyak memberi
kontribusi adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Salah satu tantangan
adalah bagaimana bisa mengatasinya karena sejauh ini kita memang mengandalkan
batu bara. Sumber kita banyak dan biaya kita cukup kompetitif. Ada harga DMO
(kewajiban memenuhi pasar domestik) yang bisa membantu pemerintah menyediakan
listrik yang terjangkau masyarakat berpenghasilan belum tinggi. Kami juga
harus melakukan beberapa konversi, seperti konversi dari pembangkit listrik
tenaga diesel ke gas. Program ini sudah kami canangkan pada 2020 dan kami
harap bisa diakselerasi. Ini akan memberikan manfaat berganda. Pertama, akan
mengurangi emisi, paling tidak separuhnya. Dari sisi biaya, dengan krisis
energi saat ini, dengan harga minyak demikian tinggi dan komoditas diesel
juga ikut naik, kita bisa menghemat lebih dari US$ 120 juta per tahun. Bagaimana
dengan kapasitas listrik PT Perusahaan Listrik Negara yang berlebih? Kapasitas tenaga
listrik kita saat ini memang bisa dikatakan berlebih. Ditambah dari
perencanaan sebelumnya dan kemudian pandemi yang menyebabkan tekanan terhadap
konsumsi listrik. Juga dimulainya proyek 35 ribu megawatt. Kami coba atasi
dengan meningkatkan permintaan, antara lain dengan program kompor induksi.
Kalau program ini bisa dilakukan secara masif dengan target 35 juta rumah
tangga, paling tidak bisa meningkatkan konsumsi (listrik) sebesar 7 gigawatt. Kita punya 142 juta
unit kendaraan—115 juta sepeda motor dan sisanya roda empat. Nah, ini semua
mengkonsumsi BBM. Kalau 115 juta sepeda motor bisa kami konversi ke listrik,
sehari akan memakai tiga perempat liter saja, kalikan dengan 115 juta. Itu
ekuivalen dengan 600 ribu barel minyak mentah per hari. Belum yang roda
empat. Ini bisa menghemat banyak devisa, menumbuhkan industri dalam negeri,
dan menyerap tenaga kerja. Untuk mobil,
pemerintah sudah menyiapkan investasi sampai ke hilir. Akan dibangun industri
baterai listrik. Pabrik mobil listrik sedang dibangun dan akan menghasilkan
150 ribu motor per tahun. Ada juga program untuk mengangkat karbon dan
menginjeksikannya ke perut bumi. Namanya carbon capture. Kami juga harus
mendorong upaya mengefisienkan pemakaian energi di gedung-gedung dan
perumahan. Seberapa
besar potensi sumber energi baru dan terbarukan (EBT) kita? Kita punya sumber EBT
yang sangat besar. Kalau kami hitung secara mudah, potensinya sampai 3.000
gigawatt. Satu megawatt listrik dari sinar matahari bisa dihasilkan dengan
memanfaatkan 0,7 hektare lahan. Nah, kita punya lahan yang cukup luas dan
tidak perlu menebang hutan untuk bisa memasangnya. Kita punya area bekas
lahan tambang, atap perumahan, atap industri, permukaan danau, dan waduk yang
bisa kita manfaatkan. Untuk itu, kami memang perlu dukungan dari industri
manufaktur yang bisa memenuhi kebutuhan program ini. Kita juga punya
angin. Lokasinya tentu saja tidak di mana-mana. Ada titik-titik angin yang
mempunyai tiupan yang kencang. Kita lihat sekarang negara-negara Eropa sudah
memanfaatkan energi angin ini secara maksimal. Sekarang kemampuan teknologi
juga sudah maju. Jadi, kalau dulu satu tiang hanya bisa menghasilkan 1 megawatt,
sekarang 12 megawatt. Kita juga punya geotermal, tapi masih mahal. Bagaimana
agar lebih murah? Harus ada dukungan regulasi. Ini yang sedang kami siapkan. Rancangan
peraturan presidennya akan mengatur apa? Tarif EBT. Tentu kami
perlu masukan yang komprehensif supaya dalam pelaksanaannya nanti bisa
berjalan. Kami harapkan (peraturan akan keluar) dalam waktu dekat. Bagaimana
memastikan regulasi ini bisa dilaksanakan? Regulasi pembangkit listrik tenaga
surya (PLTS) atap, misalnya, belum bisa dieksekusi. Betul. Memang itu ada
"leher botol" di output. Kapasitas listrik masih berlebih. Kami
berupaya mengatasi ini dengan meningkatkan kebutuhan. Juga program PLTU tua,
yang efisiensinya sudah menurun. Ini bisa diistirahatkan. Apakah
mungkin merenegosiasi kontrak PLTU? Memang itu yang akan
dilaksanakan. Berapa nilainya dan bagaimana kompensasinya? Ini menjadi
perhatian lembaga keuangan internasional untuk bisa membantu Indonesia karena
mereka melihat sekarang Indonesia, meskipun memiliki sumber fosil besar,
komitmennya untuk mencapai net zero emission demikian tinggi dan ada potensi
sumber dayanya. Hal ini yang menyebabkan lembaga-lembaga pendanaan
internasional tertarik masuk. Tapi mereka memerlukan kepastian, regulasi yang
tegas, yang juga memberikan satu gambaran bahwa ia juga bisa memiliki tingkat
pengembalian yang baik. Win-win solution. Kita kan enggak bisa mendanai
semuanya dengan kemampuan kita sendiri. Untuk bisa mendukung program transisi
energi, paling tidak butuh US$ 1 triliun. Dananya
dari mana? Kami akan melibatkan
semua sumber dana. Tentu saja proyek-proyek ini harus memberikan nilai
keekonomian yang baik dan bisa memberikan keuntungan kepada investor,
pemerintah, dan masyarakat. Kami juga (memerlukan) penggerak untuk bisa
segera bisa menuju industri bebas karbon karena sekarang negara-negara
tertentu sudah menerapkan pajak karbon. Nah, kalau ini diterapkan, ke depan
kita khawatir produk-produk kita akan kurang dapat bersaing karena dikenai
pajak karbon dulu. Bukankah
kita sudah punya undang-undang tentang pajak karbon? Pajak karbon sudah
ada undang-undangnya. Cuma, penerapannya masih menunggu waktu yang tepat.
Tadinya sudah mau dilaksanakan. Tapi, dengan krisis saat ini, yang memberikan
dampak ke mana-mana, pelaksanaannya mungkin pada 2023. Pajak
karbon ini akan dimulai dari PLTU? Saat ini kami akan ke
sektor itu dulu. Kami akan menentukan target cap-nya berapa untuk
distandarkan. Apakah
ini tidak akan makin membebani PLN? Tidak diberlakukan
menyeluruh dulu, bertahap. PLN memang harus proaktif bagaimana bisa mengambil
langkah-langkah operasional yang mengurangi emisi. Bagaimana
caranya? Teknologi kan banyak.
Contohnya, PLN sekarang mencampur batu bara dengan biomassa. Itu oke. Jepang
sekarang akan mencampur batu bara dengan amoniak. Mereka minta sekarang
amoniak harus biru, ke depan harus hijau. Kemudian kita punya banyak gas. Gas
ini bisa kita pakai untuk menjadi jembatan transisi dari heavy carbon,
medium, baru ke low dan zero carbon. Salah
satu kendala pengembangan EBT adalah harga listriknya lebih mahal daripada
setrum batu bara. Bagaimana mengatasinya? Coba kita lihat di
mana mahalnya. Per kilowatt-jam (kWh). Kita bandingin dulu. Di Arab bisa US$
2 sen tenaga matahari. Mungkin yang dilihat itu adalah skala dan karakter
EBT. Matahari ini kan intermittent (tidak ajek). Dalam empat-lima jam
sinarnya redup, intensitasnya kurang, energinya kurang. Mengapa negara-negara
luar bikin gede-gedean? Idealnya memang harus ada penyimpanan, baterai.
Misalnya kita perlu 1 megawatt listrik. Tapi 1 megawatt ini cuma bisa untuk
enam atau empat jam. Jadi kita harus pasang enam atau empat biji. Tapi di
mana kemudian harus disimpan? Dalam baterai. Sekarang belum ada baterai yang
berkapasitas besar. Mengapa Arab dan Vietnam bisa? Indonesia sekarang baru punya
fotovoltaik (pengubah energi matahari menjadi listrik) 200 megawatt. Vietnam
17 ribu megawatt. Bagaimana mereka bisa mengatasinya? Ada sistemnya. Mereka
kombinasikan. Semestinya
PLN bisa melakukan itu? Semestinya itu yang
bisa dikaji. Tak usah keseluruhan. Ambil per sektor. (Harga) yang ditawarkan
terakhir kepada kami kan di bawah US$ 4 sen per kWh. Batu bara US$ 5-6 sen. Dengan
kondisi krisis energi saat ini, apakah listrik dengan batu bara masih
kompetitif? Sekarang US$ 5-6 sen
per kWh dengan batu bara. Karena harga batu bara US$ 70, kami kasih cap, DMO.
Kalau dilepas, ya, lain. Mengapa tetap kami pertahankan? Ya, kita perlu harga
murah untuk bisa mendukung kebutuhan listrik masyarakat. Kalau tidak,
subsidinya, kompensasinya, membengkak. Harga
minyak yang tinggi ini apakah momentum yang tepat untuk memaksimalkan EBT? Ya. Kalau (harga batu
bara untuk pembangkit) itu kita lepas, jebol anggaran pemerintah.
Keseimbangan ini yang selalu kami jaga. Sama dengan minyak. Minyak sekarang,
Pertalite itu, kalau dihitung ongkos produksi dan biayanya saja, secara
keekonomian di atas Rp 17 ribu. Kami jual Rp 7.650. Hampir Rp 10 ribu yang
disubsidi. Pertamax juga masih Rp 18 ribu. Dijual dengan harga Rp 12.500.
Tapi pemerintah ingin menjaga kestabilan supaya tidak membebani daya beli
masyarakat. Kalau enggak, inflasi. Berapa
lama pemerintah bisa menahan harga Pertalite tetap Rp 7.650? Kami upayakan. Tentu
kami mengimbau masyarakat juga bisa membantu pemerintah dengan menghemat BBM. Sekarang
harga minyak mentah US$ 100 per barel. Pertahanan kita bisa sampai di harga
berapa? Tadinya US$ 120, lalu
turun US$ 117 per barel. Di atas US$ 100 per barel, itu jadi Rp 17 ribu per
liter. Kami berharap masyarakat yang mampu tidak memakai Pertalite, tapi
Pertamax. Berapa
subsidi yang ditanggung pemerintah untuk BBM? Total subsidi Rp 440
triliun. Subsidi BBM itu kira-kira separuhnya. Dengan
perang Rusia-Ukraina saat ini, bagaimana proyeksi harga minyak mentah? Dalam kasus terburuk
bisa US$ 200. Skenario baiknya bisa di bawah US$ 100. Tapi siapa yang bisa
menebak? Dalam
forum G20, apa yang diusung Indonesia mengenai EBT? Salah satu pilar yang
kita usung adalah transisi energi, keterjangkauan. Bagaimana energi itu bisa
dinikmati oleh seluruh masyarakat. Kemudian ketersediaan teknologi. Jangan
menyulitkan proses transisi. Pendanaan juga harus kuat untuk bisa mendukung
semua ini. Dalam
G20, apakah ada komitmen alokasi dananya? Ada. Misalnya Bank
Dunia siap US$ 5 miliar. Ada juga dari Kreditanstalt für Wiederaufbau Jerman,
Bank Pembangunan Asia, dan Jepang. Jepang bilang bisa mempersiapkan US$ 10
miliar. Dalam
peta jalan pemerintah, pada 2030 EBT sudah lebih dari 50 persen. Mungkinkah
itu dicapai? Dalam sepuluh tahun
konsumsi kita kan pasti meningkat sesuai dengan pertumbuhan ekonomi,
investasi, dan manufaktur. Itu kan pasti butuh listrik banyak. Itu akan bisa
membuka peluang permintaan baru yang kami isi dengan EBT. Bisa
terkejar? Ya. Permintaannya
tercipta dulu. Industri kan mulai banyak yang masuk. Satu lagi yang harus
bisa dilakukan PLN adalah memasukkan listriknya ke industri yang punya IPP
(pembangkit listrik swasta) sendiri. Bagaimana PLN bisa memberikan suplai
listriknya. Ini akan meningkatkan output PLN, sementara industri tertolong
tidak perlu ada maintenance lagi, enggak perlu beli bahan baku lagi. Apakah
cukup waktunya sampai 2030? Kita masih punya
waktu delapan tahun. Bismillah. Apakah
industri kita bisa memproduksi sel surya? Itu memang
(tantangannya). Kita punya sumber daya alam banyak, tapi teknologinya tidak
kita dalami. Ada
rencana mendorong industri di sektor ini? Harus. Seperti RUPTL
(rencana usaha penyediaan tenaga listrik) sampai 2030, ada sekian gigawatt
program panel surya. Belum termasuk PLTS atap. Ini potensi pasar yang
seharusnya bisa kita buka sehingga investasi manufaktur kita harapkan bisa
masuk dan membantu dengan regulasi yang mendukung. Sekarang kita cuma
merakit. Pada
2031 direncanakan tidak ada PLTU baru dan 2055 sudah tidak akan memakai PLTU
batu bara. Masih seperti itu rencananya? Pada 2031 kami tidak
membangun (PLTU) lagi karena kan yang ada sudah berlebih. Dari sektor
pemerintah tidak ada lagi perencanaan baru. Dengan PLTU yang ada sekarang
diperkirakan pada 2056 sudah habis sendiri. Secara alami. Kontraknya 30-an
tahun. Pembangkit
listrik tenaga nuklir kapan akan dibangun? Kami perkirakan
sesudah 2040. Apakah
masih optimistis bisa net zero pada 2060? Krisis sekarang
memberi dampak karena negara-negara membuat perencanaannya berdasarkan
situasi dengan tidak mempertimbangkan yang tidak normal. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar