Minggu, 24 Juli 2022

 

Bagaiman PLTB dan PLTS Menggantikan Batu Bara

Dody Hidayat :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 23 Juli 2022

 

 

                                                           

KEBUN jagung Laonding hanya berjarak 50 meter dari kincir angin milik Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap. Ada 30 kincir angin setinggi 80 meter yang terhubung dengan jalan berbatu di perbukitan Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan, itu. Tiap hari, Laonding, 34 tahun, dengan sepeda motor melewati jalan berbatu selebar 2 meter itu dari rumah ke kebunnya yang berjarak sekitar 1 kilometer.

 

Laonding mengaku tak mengetahui kegunaan kincir angin yang tingginya hampir tiga kali lipat pohon kelapa itu. “Kata orang, kincir angin itu pembuat strong (listrik),” ujar warga Kampung Tonrongnge, Dusun Pabbaresseng, Desa Mattirotasi, Watang Pulu, tersebut saat ditemui pada Rabu, 13 Juli lalu. “Awalnya mengganggu karena mengeluarkan suara buk…buk…buk,” tutur Laonding. “Karyawan (PLTB Sidrap) datang bertanya ke masyarakat dan bunyi akhirnya dikurangi. Lama-lama masyarakat terbiasa.”

 

Kehadiran PLTB Sidrap mengubah kehidupan Laonding dan warga Tonrongnge lain. Sejak awal tahun ini, mereka bisa menikmati listrik untuk pertama kalinya. “Aliran listrik itu dari Kota Parepare, bukan langsung dari kincir angin. Tapi meteran listriknya dibelikan perusahaan. Kami tinggal membeli token,” ucapnya. Adapun Berlian, tetangga Laonding, mengaku bisa membuka kebun berkat kincir angin itu. “Dulu ini hutan semua,” kata perempuan 35 tahun tersebut, yang tengah memanen jagung.

 

Niko Priyambada, Senior Developer PT UPC Renewables Indonesia—bersama PT UPC Sidrap Bayu Energi mengelola dan memiliki PLTB Sidrap—mengatakan perusahaannya membantu penyambungan listrik ke rumah warga Dusun Pabbaresseng dan Kampung Tonrongnge melalui program tanggung jawab sosial perusahaan. “Kami mengusahakan 85 keluarga di dekat lokasi PLTB Sidrap mendapat aliran listrik dari PLN,” ucap Niko saat ditemui di kantornya di Jakarta, Selasa, 5 Juli lalu.

 

Menurut Niko, PT UPC Sidrap berencana mengembangkan PLTB Sidrap Ekspansi yang merupakan proyek penambahan kapasitas sebesar 60 megawatt (MW) dari PLTB Sidrap yang berkapasitas 75 MW. PLTB yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 2 Juli 2018 itu menjadi PLTB berskala besar pertama di Indonesia. “PLTB Sidrap Ekspansi kini sudah siap konstruksi, tinggal menunggu dibukanya proses pengadaan oleh PT PLN. Statusnya sama dengan PLTB Sukabumi,” tutur Niko.

 

PLTB Sukabumi yang dimaksud Niko adalah PLTB yang dikembangkan anak usaha UPC Renewables Indonesia lain, PT UPC Sukabumi Bayu Energi, di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, yang bakal menjadi PLTB terbesar di Indonesia. “Pengembangan PLTB Sukabumi ini diawali nota kesepahaman (MOU) yang ditandatangani dengan PLN pada 2015. Isi MOU itu mengenai alokasi pengembangan PLTB berkapasitas 350 MW di seluruh Indonesia, termasuk di Sukabumi dengan kapasitas 150-200 MW,” ujar Niko.

 

Menurut Niko, kapasitas besar ditawarkan karena kondisi angin di Sukabumi berbeda dengan di Sidrap. Pembangunan terminal khusus pun membutuhkan biaya tinggi sehingga dengan kapasitas 60 MW tidak bisa ditawarkan tarif yang kompetitif dengan biaya pokok produksi listrik di jaringan Jawa-Madura-Bali. “Kami telah memohon ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral agar mengembalikan kapasitas dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 ke kapasitas awal 150 MW,” katanya.

 

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana membenarkan adanya permohonan dari PT UPC Sukabumi agar alokasi PLTB Sukabumi dapat ditingkatkan. “Pada prinsipnya kami mendukung pengembangan PLTB tersebut, tapi tetap mempertimbangkan keseimbangan supply dan demand, serta pembangunannya dilakukan bertahap,” ucap Dadan melalui jawaban tertulis kepada Tempo, Selasa, 12 Juli lalu.

 

Menurut Dadan, PT UPC selaku pengembang PLTB Sukabumi saat ini dalam tahap penyelesaian studi kelayakan PLTB dengan kapasitas 150 MW. “Mereka telah memulai pengurusan izin seperti analisis mengenai dampak lingkungan, izin lingkungan, dan izin pembangunan terminal khusus. Namun pada tahap awal, sesuai dengan RUPTL PT PLN 2021-2030, kapasitas PLTB yang dapat dikembangkan adalah sebesar 60 MW,” tutur Dadan.

 

Ihwal terminal khusus, kata Niko, fasilitas itu diperlukan untuk mendaratkan komponen PLTB yang berukuran besar. “Terminal khusus akan dibangun di Pantai Cikeueus, Desa Girimukti, Kecamatan Ciemas, karena pelabuhan besar terdekat adalah Pelabuhan Ciwandan di Cilegon, Banten,” ujarnya. Menurut dia, akan sangat sulit bila mengirim komponen lewat jalur darat dari Pelabuhan Ciwandan ke lokasi proyek yang berjarak 300-an kilometer. “Dari Pantai Cikeueus ke lokasi tiap turbin jaraknya 15-40 kilometer.”

 

Niko berharap tahap konstruksi PLTB yang bernilai investasi US$ 230 juta ini bisa dimulai pada tahun depan. Hal itu, Niko menjelaskan, sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2021 tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana dan Kawasan Jawa Barat Bagian Selatan. RUPTL PLN 2021-2030 juga menyebutkan waktu operasi komersial PLTB Sukabumi pada 2024. “Setidaknya butuh waktu 18 bulan untuk membangun proyek,” kata Niko, yang juga Direktur PT UPC Sukabumi Bayu Energi.

 

•••

 

KAKI Dimas Kaharudin mantap melangkah di jalan tanah merah berdebu di sisi timur laut Waduk Cirata di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Direktur Operasi PT PJB-Masdar Solar Energy (PMSE) yang tengah membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung berkapasitas 145 megawatt AC itu antusias menunjukkan aktivitas proyek. “Fokus saat ini adalah pembangunan fasilitas darat seperti substation atau gardu induk, transmisi, dan kantor pembangkit,” ucap Dimas di Waduk Cirata, Selasa, 12 Juli lalu.

 

Menurut Dimas, pemasangan panel surya sebagai peralatan utama PLTS terapung Cirata akan dilakukan pada semester kedua tahun ini. Panel surya yang dipakai, dia menjelaskan, berbeda dengan yang biasa dipasang di darat. “Karena dipasang di atas air yang selalu bergerak, panel surya akan mengalami kelembapan dan stres yang lebih tinggi. Jadi dibutuhkan panel surya khusus yang lebih kuat,” tuturnya. Panel surya itu berteknologi gelas ganda dan memiliki tingkat efisiensi tertinggi saat ini.

 

Pemakaian panel surya berefisiensi tertinggi itu, kata Dimas, bertujuan menghemat lahan karena area PLTS terapung Cirata yang disyaratkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tentang Bendungan tak boleh lebih dari 5 persen luas waduk. "Jika menggunakan panel surya berefisiensi rendah, area yang diperlukan untuk mencapai 145 MW itu akan lebih dari 5 persen," ujarnya. Menurut dia, panel surya akan dipasang dalam konfigurasi 13 pulau dengan total jumlah 340 ribu unit.

 

Dimas bercerita, ide PLTS terapung bermula pada 2011-2012. Kala itu ia masuk tim Unit Pembangkitan Cirata di PT Pembangkitan Jawa Bali yang bertugas mencari energi terbarukan yang paling tepat untuk masa depan. Energi surya, dia melanjutkan, menjadi pilihan, tapi ada keterbatasan karena membutuhkan lahan yang luas. “Kami melihat, daripada memakai lahan produktif, mengapa tidak di waduk seluas 6.500 hektare ini saja," ucapnya. "Sejak itu, kami bercita-cita mengembangkan PLTS terapung skala besar."

 

Angan-angan itu, kata Dimas, kian dekat dengan kenyataan ketika muncul PLTS terapung berskala besar pada 2016. Namun kendala lain adalah tarif PLTS yang tinggi. Dia menjelaskan, untuk mencari cara terbaik menurunkan tarif PLTS, pemerintah melakukan studi banding dan kerja sama antar-pemerintah dengan Uni Emirat Arab (UEA). "UEA berhasil mengembangkan PLTS bertarif sangat ekonomis, US$ 2,9 sen per kilowatt-jam,” tuturnya. “Dari situ ketemu Masdar yang juga mau mengembangkan PLTS terapung di Indonesia.”

 

Mendorong pembangunan PLTS memang strategi paling memungkinkan bagi pemerintah guna mencapai target 23 persen bauran energi baru dan terbarukan (EBT) pada 2025. Menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi Dadan Kusdiana, PLTS menjadi prioritas pengembangan EBT karena potensinya mencapai 3.295 gigawatt. Selain itu, pembangkit bisa dibangun di atap rumah dan waduk sehingga tak dibutuhkan lahan baru. “Teknologinya tak serumit EBT lain dan waktu pengembangan dan pembangunan relatif cepat,” ujarnya.

 

Pertimbangan lain, Dadan menambahkan, adalah harga teknologi PLTS makin kompetitif dan biaya investasinya tak sebesar pembangkit EBT lain. Dadan membantah kabar bahwa harga listrik EBT mahal. Ia membandingkannya dengan setrum batu bara yang harganya saat ini US$ 200 per ton. “Hitungannya, 1 kilogram batu bara itu menjadi 1 kilowatt-jam (kWh). Jadi, kalau US$ 200, harga listriknya US$ 20 sen per kWh,” tutur Dadan sembari membandingkan tarif listrik PLTS terapung Cirata yang hanya US$ 5,81 sen per kWh.

 

Dadan tidak menampik pandangan bahwa harga batu bara bisa turun. Tapi ia memastikan harga EBT tidak akan naik. “Harganya tetap saja segitu. Malah, dari sisi kebijakan harga yang sekarang masih disusun, harganya tinggi di awal, setelah itu turun,” katanya. Menurut dia, secara harga, biaya PLTS terus turun. “Dengan adanya teknologi yang baru, harga material memang tetap akan naik. Tapi dari sisi efisiensi panel surya juga naik. Sekarang ada PLTS yang efisiensinya 24 persen,” ujar Dadan saat ditemui di kantornya, Selasa, 19 Juli lalu.

 

Ihwal PLTS terapung, Dadan mengatakan potensinya cukup besar, yakni 11,9 gigawatt. “PLTS terapung dapat diimplementasikan di semua waduk atau danau di Indonesia, dengan tetap memperhatikan kebutuhan sistem kelistrikan setempat,” ucapnya. Dalam RUPTL 2021-2030 disebutkan sejumlah waduk yang direncanakan menjadi lokasi PLTS terapung dengan total kapasitas 612 MW, yakni Waduk Wonogiri (100 MW), Waduk Sutami (122), Waduk Jatiluhur (100), Waduk Mrica (60), Waduk Saguling (60), Waduk Wonorejo (122), dan Danau Singkarak (48).

 

PLTS terapung Cirata menjadi yang pertama. Menurut Dadan, kemajuan pembangunan konstruksinya mencapai 24,80 persen. Proyek pembangkit yang biayanya sebesar Rp 2,1 triliun dengan 80 persen pendanaan berasal dari kreditor internasional—Sumitomo Mitsui Banking Corporation, Standard Chartered Bank, dan Société Générale—ini ditargetkan rampung pada November 2022. “Apabila beroperasi, PLTS terapung Cirata akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 145 MW,” kata Dadan.

 

Bagi Dimas Kaharudin, kontribusi PLTS terapung Cirata bukan pada bauran energi, melainkan perannya sebagai pionir proyek serupa di kemudian hari. Melalui PLTS terapung Cirata, dia menuturkan, Indonesia masuk daftar negara yang memiliki PLTS berskala besar. Selain itu, Indonesia mampu mengembangkan PLTS terapung dalam kondisi yang menantang. “Tarif kami bisa bersaing dengan pembangkit listrik bahan bakar fosil yang ada saat ini dan PLTS ini didanai oleh international lender,” ucap Dimas.

 

Pendiri Indonesia Research Institute for Decarbonization, Paul Butarbutar, membenarkan klaim PLTS terapung Cirata sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. “Di seluruh dunia pun tak banyak PLTS terapung berkapasitas besar,” tuturnya pada Jumat, 22 Juli lalu. Menurut dia, kapasitas PLTS Indonesia masih sangat kecil. Yang besar hanya PLTS Likupang, Sulawesi Utara, yang berkapasitas 21 MW dan PLTS Kupang dengan kapasitas 5 MW. Selebihnya berkapasitas 1-2 MW dan kurang dari 1 MW. Selain PLTS terapung Cirata, pada tahun ini akan beroperasi dua PLTS 25 MW di Bali. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/ilmu-dan-teknologi/166485/bagaiman-pltb-dan-plts-menggantikan-batu-bara

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar