Quo
Vadis LPTK Rakhmat Hidayat: Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Dewan Pakar
Pendidikan Perhimpunan Guru (P2G) |
KOMPAS, 15 Juli 2022
Setelah masalah hilangnya kata ”madrasah”
dalam draf Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, kini mencuat
satu topik ke publik soal posisi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK). Isu LPTK menjadi menarik dibahas sejalan dengan topik yang dibahas
dalam diskusi yang diselenggarakan Ikatan Alumni UNJ (Ika UNJ) yang membahas
masa depan LPTK dalam RUU Sisdiknas pada 29 Juni 2022. Paling tidak ada dua masalah penting
terkait posisi LPTK dalam RUU Sisdiknas. Pertama, harus diakui bahwa
pembahasan topik LPTK ini terbilang terlambat karena proses pembahasan RUU
berlangsung sejak awal 2022. Sejalan dengan itu, masalah yang menjadi
perhatian adalah tidak bersuaranya LPTK dalam merespons RUU Sisdiknas, tetapi
yang menyuarakannya adalah ikatan alumni yang sudah di luar struktur
kelembagaannya. Kedua, topik yang krusial dan
problematik adalah keberadaan LPTK sama sekali tidak disebutkan dalam RUU
Sisdiknas. Hal inilah yang menjadi ”kemarahan” kalangan LPTK yang semakin
terancam eksistensinya. Sebenarnya masalahnya beririsan dengan kontroversi
penghilangan kata ”madrasah” dalam pasal RUU Sisdiknas. Pihak Kemendikbudristek menjawabnya ada
dalam penjelasan di luar pasal-pasal. Memang dalam UU Sisdiknas Nomor 20
Tahun 2003 juga tak disebutkan khusus LPTK. Tetapi, penyebutan LPTK secara
eksplisit tertuang dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Bab 1 Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat (14)
UU Guru dan Dosen menyatakan bahwa LPTK adalah perguruan tinggi yang diberi
tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada
jalur pendidikan formal bagi pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan/atau
pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu
kependidikan dan non-kependidikan. Memang di draf RUU Sisdiknas terlihat
secara jelas bahwa LPTK sudah kehilangan perannya. Dalam konteks itulah,
pertanyaan yang muncul adalah di mana suara LPTK dalam merespons RUU
Sisdiknas? Masalah kedua yang penting dijawab adalah mau dibawa ke mana LPTK
dalam dan pasca-RUU Sisdiknas diputuskan. Marjinalisasi sistemik RUU Sisdiknas yang sedang dibahas akan
mengintegrasikan tiga UU, yaitu UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, UU No
14/2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU No 12/2012 tentang Pendidikan
Tinggi. Arahnya terlihat akan menjadikan UU Sisdiknas yang simpel dan
menjangkau semua ranah pendidikan. RUU Sisdiknas ditargetkan disahkan tahun
2022 karena jika molor hingga tahun depan dianggap mustahil dilanjutkan.
Tahun 2023, politisi di DPR sudah fokus mempersiapkan Pemilu 2024. Artinya,
RUU Sisdiknas sedang maraton dibahas dan mengejar tayang pengesahannya. Beberapa praktisi dan pengamat pendidikan
menyebut RUU Sisdiknas sebagai ”mini-omnibus law”. Harus diakui proses
pembahasan RUU Sisdiknas sejak awal tidak melibatkan keberadaan LPTK sebagai
salah satu pemangku kepentingan strategis. Ada beberapa argumentasi yang bisa
diajukan. Pertama, LPTK adalah perguruan tinggi yang diberikan tugas oleh
pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan keguruan (teacher training) pada
berbagai jenjang, dimulai dari anak usia dini, pendidikan dasar, menengah,
dan kejuruan. Saat ini jumlah LPTK di Indonesia baik negeri ataupun swasta
lebih dari 400 lembaga. Sebagai institusi penyedia tenaga
pendidik dan tenaga kependidikan, LPTK merupakan ujung tombak terdepan
pendidikan di negeri ini. LPTK menjadi ”kawah candradimuka” pendidikan guru
di Indonesia. LPTK berkepentingan dengan pasal-pasal terkait posisi guru yang
mana sebelumnya tertuang dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Kedua, dengan sumber daya keilmuan dan
jejaring yang dimilikinya, LPTK seharusnya menjadi referensi strategis dalam
perumusan masukan dan perspektifnya. Pengalaman LPTK dengan jam terbang yang
dimilikinya seharusnya bisa menjadi mitra strategis. Sejatinya bukan hanya dalam RUU
Sisdiknas LPTK tidak dilibatkan, melainkan juga dalam beberapa kebijakan
pendidikan lainnya yang sudah lama berlangsung. Sebut saja kebijakan
Kurikulum Merdeka atau Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Kedua kebijakan
ini yang menjadi awal kebijakan Kemendikbudristek sudah meninggalkan
keberadaan LPTK. LPTK merasa sejak awal ditinggalkan
kehadirannya dan Kemendikbudristek merasa over confidence dengan
kebijakannya. Dalam forum-forum pembahasan program tersebut nyaris tidak
dijumpai akademisi yang berasal dari LPTK. Kurikulum Merdeka yang saat ini
gencar dipersiapkan sejak awalnya tidak melibatkan LPTK, bahkan pihak LPTK
sama sekali miskin informasi terkait Kurikulum Merdeka. Hal tersebut dapat dilihat ketika
prodi-prodi yang ada hanya bisa meraba-raba arah dan orientasi Kurikulum
Merdeka itu seperti apa dan bagaimana. Padahal, prodi adalah ujung tombak
dari LPTK untuk mempersiapkan guru-guru terbaiknya untuk mengajar di sekolah.
Bisa dibayangkan jika prodi hanya bisa menerka-nerka Kurikulum Merdeka dan
kemudian mengajarkannya kepada mahasiswa di ruang perkuliahan. Dalam sejarahnya, setiap perumusan
kurikulum dan perumusan UU Sisdiknas, pihak LPTK baik akademisi maupun
institusinya selalu dilibatkan dalam proses dialog ataupun kerja-kerja
akademiknya. Misalnya ketika transisi Kurikulum 2006 ke Kurikulum 2013, saat
itu akademisi LPTK penuh dilibatkan dalam berbagai kegiatan sosialisasi,
pelatihan, hingga penyiapan buku pelajaran di sekolah. Dalam beberapa forum pertemuan dengan
sejawat dari LPTK, saya coba bertanya apakah pernah diundang atau dilibatkan
dalam pembahasan Kurikulum Merdeka? Mereka menjawabnya sama sekali tidak
pernah. Saya menduga-duga ada masalah serius
dengan Kemendikbudristek dalam memandang posisi LPTK. Pertama, elite-elite
Kemendikbudristek sangat ahistoris tentang sejarah dan rekam jejak LPTK dalam
praksis pendidikan guru di Indonesia. Mereka tidak bisa menginternalisasikan
bagaimana LPTK dalam lanskap pendidikan Indonesia. Baca juga: Masukan untuk RUU Sisdiknas Kedua, kerja-kerja akademik yang
biasanya melibatkan akademisi LPTK diambil alih oleh tim eksternal yang
menopang desain kebijakan Kemendikbudristek. Tim eksternal ini seperti
menjadi think tank penggodok kebijakan pendidikan. Tim eksternal inilah yang sangat
otoritatif merancang semua cetak biru kebijakan pendidikan nasional. Latar
belakang mereka yang bukan dari kependidikan atau LPTK semakin mengafirmasi
bahwa LPTK bukan lagi pihak penting dalam kebijakan pendidikan Indonesia. Implikasi kebijakan Integrasi RUU Sisdiknas jika ditelusuri
mencakup tiga hal penting sesuai dengan tiga UU yang ada. Pertama, jaminan
konstitusi dalam sistem pendidikan nasional yang dilaksanakan seluruh rakyat
Indonesia. Kedua, tata kelola guru dan dosen yang
sejak awal diinisiasi dengan semangat komprehensif mengatur khusus guru dan
dosen untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum. Semangat ini juga
manifestasi dari tujuan bernegara yang tercantum dalam Pembukaan UUD Republik
Indonesia Tahun 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketiga, tata kelola pendidikan tinggi
sebagai bagian sistem pendidikan nasional dalam mencerdaskan kehidupan bangsa
dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibatnya, UU Sisdiknas 2022 terbaru
nanti akan menggabungkan ketiga poin tersebut dalam satu UU Sisdiknas
terbaru. Apa perbedaannya dengan UU Sisdiknas sebelumnya? Pertama, UU Sisdiknas terbaru akan
menjelaskan pasal-pasal yang umum saja sesuai dengan tiga ranah yang
dijelaskan di atas. Berbeda dengan tiga UU yang ada dengan penekanan pada
struktur isi yang lebih komprehensif dalam satu UU. Kedua, UU Sisdiknas terbaru nanti akan
menghasilkan banyak turunan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP).
Penjelasan lebih lengkap yang tidak tertuang dalam isi UU Sisdiknas akan
dijelaskan dalam berbagai PP. Jika dibandingkan dengan ketiga UU
sebelumnya, hanya menghasilkan satu dan dua PP yang ada. Kita lihat di UU No
20/2003 menghasilkan PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. UU No
14/2005 menghasilkan dua PP, yaitu PP No 74/2008 tentang Guru dan PP No
37/2009 tentang Dosen. Adapun UU No 12/2012 menghasilkan PP No 4/2004 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. Dengan menggabungkan ketiga substansi UU
yang ada, dapat dibayangkan bahwa UU Sisdiknas terbaru akan sangat
menyebabkan beberapa implikasi kebijakan dalam jangka panjang. Pertama, akan
terjadi tumpang tindih (over lapping) dari ketiga ranah yang ada. Termasuk di
dalamnya adalah adanya saling bertabrakan dari pembahasan masing-masing pokok
pembahasan. Kedua, masalah dalam hal sinkronisasi
dan harmonisasi UU dengan turunan-turunan seperti PP dan Permendikbudristek.
Diperlukan koordinasi antar-kementerian dan lembaga penyelenggara pendidikan
dalam pembuatan turunan dari UU Sisdiknas. Ketiga, karena UU Sisdiknas terbaru
adalah penggabungan dari tiga UU yang ada dengan penekanan pada pembahasan
yang umum saja, maka akan menghasilkan masalah hukum pasca-penetapan dengan
adanya peninjauan kembali (judicial review) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Pengalaman ini terjadi pada judicial review UU Sisdiknas No 20/2003 yang
ditujukan kepada beberapa pasal yang ada. Dengan mengacu kepada UU yang ada
sebelumnya, kemungkinan permohonan peninjauan kembali sangat besar terjadi
terutama dalam pasal-pasal yang sangat substansial seperti pasal tentang
guru, dosen, dan perguruan tinggi. Kritik diri Ketika LPTK merasa ditinggalkan dan baru
merasakannya di akhir-akhir proses perumusan RUU Sisdiknas, pertanyaannya ke
mana saja LPTK? Kenapa LPTK tidak bersuara sejak awal? Harus diakui bahwa LPTK sejak awal
kebijakan-kebijakan pendidikan diinisiasi tertinggal dalam merespons dan
menyikapinya. Termarjinalkannya LPTK dalam praksis dan diskursus pendidikan
nasional seharusnya menjadi kritik diri (self critics) yang membangun. Pertama, LPTK lamban bergerak dalam
isu-isu kebijakan pendidikan karena energinya dihabiskan dengan ranah
domestifikasi yang menyita energi sangat besar. Hal tersebut misalnya dilihat
dalam kesibukan transisi menuju PTN BH, pemenuhan Indikator Kinerja Utama
(IKU), penyiapan borang akreditasi, meningkatkan kerja sama melalui
memperbanyak MoU dengan kampus-kampus dalam dan luar negeri hingga
urusan-urusan seremoni yang justru dianggap tidak penting menjadi penting. Kedua, LPTK kehilangan basis
intelektualnya dalam ranah publik. Padahal, LPTK sejatinya bisa menempatkan
dirinya sebagai intellectual leaders dan leading issue dan perdebatan publik
kebijakan pendidikan nasional. Pada kebijakan pendidikan harus ditempatkan
isu publik yang memerlukan respons dan partisipasi publik. LPTK nyaris tidak
bersuara dalam berbagai kebijakan pendidikan. LPTK kehilangan elan vitalnya dalam
praksis pendidikan karena terlalu disibukkan dengan urusan internalnya.
Mengembalikan elan vital LPTK dilakukan melalui mendorong dialog dan
perdebatan publik berbasiskan apa yang disebut Michael Burawoy (2021)
reflexive knowledge—bukan sekadar instrumental knowledge—menjadi entitas
penting dialog publik antara komunitas akademik dan publik masyarakat dalam
berbagai isu-isu sosial. Michael Burawoy dalam bukunya berjudul
Public Sociology (2021) menawarkan perspektif kritis sebagai basis reflexive
knowledge dalam perdebatan publik pendidikan yang harus menjadi agenda
strategis LPTK. Munculnya kritik dan suara keras yang mengatakan era LPTK
sudah berakhir dengan adanya RUU Sisdiknas seharusnya tidak direspons secara
reaktif, tetapi menjadi momentum berbenah diri agar tidak sibuk dengan
dirinya sendiri. Tetapi, jauh dari itu, LPTK harus
melakukan berbagai pembenahan internal seperti tata kelola lembaga, proses
input dan out put peserta didik, peningkatan kualitas pembelajaran,
peningkatan kapasitas dosen dan tenaga kependidikan, peningkatan pelayanan
kepada mahasiswa hingga peningkatan kualitas infrastruktur. Seharusnya dengan
adanya Program Revitalisasi LPTK yang sedang berlangsung bisa menjawab semua
kegamangan masa depan LPTK. Jika LPTK tidak ingin dikatakan sudah habis
masanya, bebenah diri adalah pilihannya. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/13/quo-vadis-lptk |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar