Politisasi
Kebangkrutan Sri Lanka Editorial
: Administrator Media Indonesia |
MEDIA INDONESIA, 15 Juli 2022
KEBANGKRUTAN Sri Lanka beberapa waktu
belakangan ini menimbulkan perdebatan hangat di publik. Sebagian menilai
kegagalan negara seperti yang terjadi di negeri yang baru saja ditinggal
kabur kepala negaranya tersebut bisa pula menimpa Indonesia. Di lain pihak, lebih banyak lagi yang
meyakini ketahanan Indonesia jauh lebih kuat ketimbang Sri Lanka. Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimistis dengan data perekonomian hasil
survei Bloomberg bahwa risiko resesi ekonomi yang dialami Indonesia saat ini
hanya sebesar 3%. Para ekonom hampir semuanya kompak
mendukung pendapat itu. Mereka memaparkan indikator-indikator yang
menunjukkan relatif kukuhnya fundamen perekonomian nasional. Kondisi Sri Lanka lebih tepat disamakan
dengan saat Indonesia mengalami resesi 1998. Ketika itu, inflasi melonjak
hingga di atas 70%, korupsi merejalela, dan kepemimpinan negara kehilangan
kepercayaan. Meski begitu, bukan berarti keadaan
Indonesia aman dari ancaman resesi. Malah bukan Indonesia saja, seluruh dunia
pun kini dibayangi krisis. Perekonomian global memang sedang tidak baik-baik
saja. Perang antara Rusia dan Ukraina menjadi
penyebab utama serta memperparah tekanan yang ditimbulkan oleh pandemi
covid-19 selama dua tahun terakhir. Dunia juga belum terlepas dari pandemi
kendati cengkeraman covid-19 sudah jauh melemah. Masyarakat di Tanah Air mulai merasakan
kenaikan harga bahan-bahan pokok. Harga sejumlah bahan kebutuhan malah ajek
terus naik dan tidak kunjung kembali ke normal meski telah melewati tiga
hajatan pengerek inflasi. Mulai dari perayaan Natal 2021 dan Tahun Baru, Hari
Raya Idul Fitri, hingga Hari Raya Idul Adha yang baru berlalu. Kondisi ini sangat rawan dimanfaatkan
para provokator untuk merongrong stabilitas pemerintahan. Mereka memancing
kekhawatiran berlebihan masyarakat tentang kemungkinan merembetnya
kebangkrutan Sri Lanka ke Indonesia. Politisasi kebangkrutan Sri Lanka ini
sangat berbahaya. Jika para penghasut berhasil, Indonesia akan kehilangan
salah satu pilar ketahanan terhadap krisis, yakni stabilitas politik dan
pemerintahan. Pemerintah harus bekerja lebih keras
mencegahnya. Caranya dengan menunjukkan kepada masyarakat langkah-langkah pengendalian
inflasi yang efektif. Pemerintah tidak bisa sedikit-sedikit
melemparkan kesalahan kepada konflik Rusia-Ukraina. Padahal, sejauh ini
inflasi dari barang impor belum banyak tergambar di laju inflasi Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut
angka inflasi tahunan pada Juni 2022 mencapai 4,35%. Angka tersebut tertinggi
sejak lima tahun terakhir. Kelompok makanan, minuman, dan tembakau memberikan
sumbangan inflasi yang terbesar, yakni 8,26%. Mayoritas penyumbang inflasi di kelompok
pengeluaran tersebut merupakan produk dalam negeri. Inflasi impor hanya 0,5%.
Itu berarti kita menghadapi potensi inflasi akan terus naik seiring dengan
mulai derasnya kontribusi inflasi dari produk impor. Pemerintah telah berhasil menunjukkan
kepemimpinan efektif dalam penanganan pandemi covid-19. Rakyat mengharapkan
kerja pengendalian inflasi yang setidaknya sama kerasnya dengan ketika
pemerintah berupaya mengatasi dampak pandemi. Kondisi global yang penuh ketidakpastian
semestinya membuat kita sigap mengantisipasi skenario yang semakin memburuk
akibat faktor eksternal. Seiring dengan itu, pengendalian faktor-faktor
internal seperti inflasi yang disumbangkan produk dan jasa dalam negeri,
tidak boleh disepelekan, apalagi dibiarkan. Jangan beri kesempatan para penghasut
memanfaatkan celah-celah kelemahan pemerintah dalam mengantisipasi persoalan
perekonomian. Rakyat perlu diyakinkan bahwa kondisi Indonesia jauh dari
kebangkrutan. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2709-politisasi-kebangkrutan-sri-lanka |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar