Perkembangan dan
Lanskap Organisasi Cek Fakta di Indonesia
Irma Garnesia : Mahasiswa
Master of Media and Communication at TU Ilmenau, Jerman
SINDONEWS, 24
Juli
2022
HOAKS telah dipandang
sebagai salah satu ancaman terbesar bagi demokrasi. Hoaks sering digunakan
untuk merujuk pada berita palsu (fake news), informasi yang salah (false
information), hingga disinformasi (Kaur et al, 2018). Hoaks juga telah
menjadi fenomena global, salah satu momentumnya misalnya di Amerika, ketika
Donald Trump diangkat sebagai Presiden Amerika Serikat dan juga fenomena
Brexit di Inggris. Pada masa ini pula mencuat politik politik pasca-kebenaran
(post-truth), serta menurunnya kepercayaan pada peran media arus utama dan
juga pada jurnalis (Silverman, 2015). Hoaks di
Indonesia mulai ramai tersebar pada Pemilihan Presiden 2014, Pemilihan
Gubernur Jakarta 2017, hingga Pemilihan Presiden 2019 (Tomsa & Setijadi,
2018). Beberapa studi misalnya menunjukkan hoaks digunakan dengan membuat
situs-situs yang secara visual terlihat seperti media berita arus utama dan
digunakan sebagai propaganda dan juga perang ideologi, salah satunya pada
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Permasalahan
hoaks kemudian direspons dengan berbagai inisiasi untuk melakukan cek fakta
di berbagai negara. Tercatat hingga 2022 ini terdapat 88 lembaga pemeriksa
fakta terverifikasi di seluruh dunia dan jumlah tersebut terus meningkat.
Praktik pengecekan fakta bukanlah praktik baru dalam dunia jurnalisme. Namun,
inisiatif pengecekan fakta dalam konteks saat ini, yang dirancang khusus
untuk memerangi hoaks dalam lanskap media digital, dapat dikatakan masih
relatif baru. Saat ini
terdapat dua model pengelolaan organisasi cek fakta: Model Ruang Berita
(newsroom) dan Model NGO (Non-Governmental Organization) (Graves &
Cherubini, 2016). Praktik pemeriksaan fakta dalam jurnalisme sebenarnya bukan
praktik eksklusif yang muncul sebagai dampak atau reaksi dari menjamurnya
hoaks. Dalam tradisi
jurnalistik, praktik pengecekan fakta telah dilakukan misalnya oleh seorang
editor yang bertugas sebagai penjaga gerbang (Gate Keeper) yang melakukan
pengeditan dan pemilahan artikel yang ditulis oleh para jurnalis sebelum publikasi
terakhir. Namun, praktik-praktik pengecekan fakta yang berusaha mengatasi
peredaran hoaks saat ini adalah kegiatan berbeda yang terpisah dari pekerjaan
internal editor jurnalistik. Di Indonesia
sendiri saat ini terdapat enam media dan organisasi cek fakta di Indonesia.
Mereka adalah Cek fakta Liputan6, Cek fakta Suara.com, Tirto.id, Hoax atau
Fakta Kompas.com, Tempo.co, dan TurnBackHoax Mafindo. Keenam organisasi ini
telah mendapat sertifikasi dari International Fact-Checking Network (IFCN). Inisiasi cek
fakta di Indonesia memang dimulai oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia
(MAFINDO) serta Forum Anti Fitnah Hasut dan Hoax (FAFHH), komunitas Hoax
Buster Indonesia (IHB) Indonesia, dan berbagai komunitas lain di tahun 2015.
Komunitas-komunitas ini bergerak berdasarkan mekanisme crowdsourcing, di mana
setiap orang yang bergabung dengan komunitas berpartisipasi sebagai
agregator. Dengan kata
lain, anggota komunitas dapat saling bertukar informasi yang mereka temui
dalam kegiatan mereka sehari-hari dan kemudian praktik pengecekan fakta dan
proses verifikasi informasi dilakukan secara bersama-sama. Kegiatan komunitas
ini juga dilakukan secara langsung di masyarakat antara lain dengan adanya
sosialisasi terkait hoaks. Forum Anti Fitnah Hasut dan Hoax adalah pelopor
dalam pengembangan situs web khusus untuk melawan Hoax yaitu turnbackhoax.id
(Astuti, 2017). Setelah
dimulai oleh Mafindo dalam bentuk komunitas, inisiatif cek fakta juga
dilakukan oleh berbagai media arus utama dalam bentuk kolaborasi. Salah satunya
adalah pada Pilkada Serentak 2018 dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Kerja sama ini diikuti oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo),
Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan 22 media arus utama. Inisiatif itu
dinamakan CekFakta.com yang dimulai pada Mei 2018 di Jakarta (Thorn &
Curnow, 2021). Masih banyak
tantangan yang ditemui dalam praktik cek fakta setiap harinya, terutama pada
sumberdaya/tenaga yang mengerjakan praktik pemeriksaan fakta. Apabila
newsroom yang mengerjakan cek fakta termasuk newsroom kecil, mereka akan
kesulitan mencari konfirmasi pada sumber yang tepat. Berbeda dengan newsroom
yang sudah mapan, dengan asumsi bahwa mereka punya jaringan yang lebih besar,
maka konfirmasi pada narasumber/ahli akan lebih mudah dilakukan. Kemudian,
tidak banyak perkembangan pada keanggotaan IFCN dari Indonesia. Sejak
Suara.com bergabung dengan IFCN pada 2019, belum ada organisasi lain yang
tergabung dalam keanggotaan IFCN. Hal ini tidak sebanding dengan misalnya
India atau Amerika Serikat, negara dengan jumlah penduduk padat dan isu yang
cukup banyak seperti Indonesia. India memiliki 15 organisasi yang
terverifikasi IFCN, sementara Amerika Serikat memiliki 13 organisasi. Memang cukup
banyak inisiasi cek fakta yang dilakukan oleh pemerintah, misalnya Jala Hoaks
yang dijalankan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, cek fakta yang dilakukan
oleh Kominfo, atau juga media-media lain yang juga mempublikasikan konten cek
fakta, meski media-media tersebut hanya sebatas melakukan publikasi artikel
saja dan tidak melakukan proses cek fakta dengan metodologi yang benar. Selanjutnya
yang teramati adalah media-media yang masuk keanggotaan IFCN adalah media
nasional dan berpusat di Pulau Jawa. Belum ada media lokal yang memiliki
sertifikasi IFCN. Hal ini dapat dipahami karena lanskap industri media
sebagian besar masih berpusat di kota-kota besar dan membuat investasi dalam
bidang media dan jurnalistik masih berpusat di Pulau Jawa. Pengembangan
inisiatif organisasi fakta lokal yang berfokus pada konteks lokalitas dan
kedaerahan menjadi salah satu hal yang dapat dikembangkan ke depannya, karena
hoaks politik dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) masih
ditemukan (Muliya, 2020). Selain itu, upaya untuk melawan hoaks terkait
pandemi Covid-19 misalnya, juga telah dilakukan dengan menggunakan pendekatan
bahasa daerah dan konteks lokal (Kliwantoro, 2020). Oleh karena
itu, acara Data and Computational Journalism Conference 2022 (DCJ) bisa jadi
peluang bagi jurnalis dan media lokal/nasional untuk berkolaborasi dan
belajar mengenai cara mengembangkan praktik fact-check di newsroom
masing-masing. DCJ Conference
2022 merupakan konferensi data dan komputasional pertama di Indonesia yang
dapat membantu jurnalis dan juga media untuk mengeksplorasi teknologi dan
piranti jurnalisme data, menyoroti praktik jurnalisme data, tantangan dan
peluangnya selama pandemi, serta bertukar pengetahuan antara para ahli dari Indonesia,
AS, dan negara lain. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar