Citayam Fashion Week Aku
Viral maka Aku Ada Riana A Ibrahim dan Elsa Emiria
Leba : Wartawan Kompas |
KOMPAS, 24 Juli 2022
Mata publik tertuju erat pada fenomena Citayam
Fashion Week belakangan. Anak muda tetangga Ibu Kota pergi ke kawasan
berorientasi transit Dukuh Atas, Jakarta Pusat, memamerkan penampilan kece
mereka di dunia nyata dan maya. ”Aku viral maka aku ada”, mungkin begitu
batin yang tersirat. Suara rel berdecit berhenti di Stasiun Sudirman,
Minggu (17/7/2022) sore itu. Dari pintu keluar stasiun yang berada di ujung
persimpangan Jalan Blora dan Jalan Kendal tersebut, para muda-mudi keluar
dengan aneka gaya silih berganti menuju suatu titik di antara hutan beton
Jakarta yang tengah menjadi buah bibir, Citayam Fashion Week. Titik itu berpusat di penyeberangan pejalan di dekat
stasiun MRT Dukuh Atas yang berada dalam kawasan berorientasi transit pertama
di Jakarta itu. Manusia dari segala asal, kebanyakan Jabodetabek, menikmati
”pergelaran mode” dadakan para pengunjung yang datang dengan niat tampil.
Ramai dari siang hingga malam. Keriuhan ini terjadi sejak sebutan Citayam Fashion
Week viral di media sosial sejak Juni 2022. Dalam dunia mode, istilah pekan
mode mengacu pada perhelatan acara mode selama sepekan yang biasa digelar di
New York, London, Milan, dan Paris. Pada fenomena Citayam Fashion Week, istilah itu
tercetus bukan untuk mendompleng kegiatan perhelatan pekan mode tingkat dunia
itu, melainkan lantaran frasa fashion week telanjur akrab di telinga awam
sebagai sesuatu yang berkaitan dengan mode. Di Dukuh Atas, beragam cara berpakaian tampil di
sana layaknya sebuah etalase. Seperti Echa (15) yang berasal dari Tigaraksa,
Tangerang, bersama dengan empat temannya. Ia menggunakan kaus kuning
kedodoran yang dilipat-lipat bagian bawahnya kemudian diikat sehingga
menyerupai crop top lalu dipadu dengan celana cargo hitam putih. Tak ada rasa ragu atau takut salah kostum seperti
anak remaja pada umumnya. Meski sedikit malu-malu, mereka merasa apa yang
dipilih untuk dikenakannya adalah identitas diri mereka. ”Iya, mikirin besok
mau kayak apa. Lihat-lihat juga orang-orang lagi ramai pake apa, tapi tetep
pilih yang aku suka juga gayanya,” ungkap Echa. Kesadaran untuk melek gaya juga terjadi pada Reza
Ramadhan (15) dan dua teman yang tengah duduk santai di depan Stasiun
Sudirman. Tiga pemuda dari Bojonggede ini sebenarnya sudah lama main ke Dukuh
Atas, bahkan sebelum Citayam Fashion Week viral, untuk nongkrong dan berburu
spot foto. Namun, beberapa hal sedikit berubah setelah tempat
itu heboh di jagat maya. Selain bertambah ramai, mereka juga mulai
memperhatikan pakaian yang dikenakan. Padahal, sebelumnya memakai kaus dan
celana jins saja sudah cukup ”Dulu enggak tahu soal outfit-outfit gitu, ini
baru tahu sebulan terakhir,” tutur Reza tersenyum. Upaya untuk terlihat keren itu terlihat. Mengambil
tema gaya jalanan ala Jepang, Reza mengenakan jaket varsity satin berwarna
biru, kaus hitam, dan celana gombroh hitam. Ia mengaku harus memutar otak
soal paduan pakaian setiap akan ke Dukuh Atas pada akhir pekan. ”Aku pengin
ada yang notice outfit-ku terus viral, tapi tengsin juga, sih,” ujar Reza malu-malu. Psikolog anak dan keluarga, Roslina Verauli,
mengatakan, pada dasarnya berkumpul dengan teman sebaya merupakan bentuk
pencarian identitas diri. Interaksi membuat mereka merasa diterima dan
disukai. Saat berkumpul, anak-anak muda yang berkumpul di
Dukuh Atas menampilkan penampilan versi terbaik diri mereka terlepas dari
latar belakang. ”Ini adalah eskapisme yang produktif. Ketika mereka mampu
membuat dirinya terlihat, mereka jadi sadar punya nilai,” ujarnya. Barter baju Seperti dua sisi mata uang, kemunculan fenomena
Citayam Fashion Week mengundang puji sekaligus cemooh. Beberapa mengapresiasi
kreativitas mereka, tetapi beberapa mengganjar mereka dengan sebutan
”kampungan”. Olok-olok itu tak menghentikan mereka berkarya.
Meskipun pakaian yang mereka kenakan ada yang hanya berkisar Rp 30.000 atau
Rp 150.000, mereka berani mengekspresikan diri. Malah ada juga yang melakukan
padu padan unik yang membuat salut. Tidak perlu neko-neko, cukup berburu di toko daring
dengan metode pembayaran langsung di rumah atau pergi ke pasar, membuat
mereka bisa berganti gaya yang mereka mau. Anak-anak muda ini juga menerapkan
prinsip ekonomi sirkular agar hemat, tetapi tetap dengan gaya terkini. Barter
pakaian menjadi solusinya. Sama seperti yang dilakukan Perdiansyah (16) yang
berdomisili di Jalan Kampung Lio, Citayam. Pemuda ini kadang membeli baju di
platform e-dagang dan Facebook, tetapi lebih sering melakukan barter lewat
unggahan di Facebook. ”Kalau ada yang suka, ya barter. Habis barter itu
udah jadi punya kita sendiri,” kata Perdiansyah saat ditemui di sebuah warung
di Jalan Kampung Lio bersama empat temannya. Kalau pintar melakukan barter, Perdiansyah
menjelaskan, mereka bisa mendapatkan barang yang lebih bagus dengan nilai
yang lebih tinggi. Saat ini, pakaian yang tengah menjadi tren di antara
mereka adalah celana Yasik dengan motif naga. Barter baju membantu Perdiansyah bisa tetap bergaya
dengan ongkos minim. ”Setelan itu, kan, enggak tentang diri kita sendiri,
tapi dilihat dan dinilai orang lain juga. Kalau menurut diri sendiri udah
keren, di mata orang belum tentu. tapi prinsip saya, sih, be yourself,” kata
Perdiansyah. Reza juga mempunyai trik agar bisa bervariasi,
tetapi selalu berada dalam budget di kisaran harga maksimal Rp 200.000. Agar
punya uang untuk bergaya dan nongkrong, Reza bekerja membantu ayahnya
mengurus ayam. Dia bisa memperoleh Rp 30.000 sampai Rp 60.000. Selain
membeli, kadang dia juga memakai barang yang diberikan teman dan saudara. Ingin viral Selain gaya padu padan kreasi sendiri, mereka juga
sibuk berburu foto yang instagramable demi dipajang di laman media sosial.
”Seneng banget kalau tetiba yang nge-like banyak. Apalagi biasanya kalau udah
pernah gitu nongkrong di Jakarta, jadi makin keren aja di tongkrongan,” tutur
Siti (15) yang berasal dari Depok, Jawa Barat. Tak sedikit juga yang berharap bisa ikut viral atau
diajak membuat konten oleh para kreator konten yang wara-wiri juga di sana. ”Enak
kayaknya bisa terkenal. Duitnya banyak. Mau ke mana-mana gampang,” ucap Nia
dari Tigaraksa, Tangerang, yang sempat diwawancara oleh sebuah program
televisi. Sedikit berbeda, Ali Uroihdi (15) sekarang
pikir-pikir lagi jika ingin terkenal. Pemuda asal Citayam ini pernah viral di
akun Tiktok milik salah satu kreator konten bersama teman perempuannya.
Namun, dia sempat diejek warganet. ”Viral itu seru, tapi pas dicoba gimana gitu. Agak
rada nyesel karena banyak yang ngatain nama panggilan saya,” kata Ali saat
ditemui di rumahnya di pinggir Situ Citayam. Secara terpisah, pakar komunikasi digital dari
Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, menyampaikan kecenderungan anak-anak
yang masuk kategori sebagai gen Z ini memang lekat dengan penggunaan
perangkat digital yang memiliki fasilitas media sosial. ”Mereka mewujudkan gagasannya itu dalam bentuk
konten media digital. Mereka pun akan dipandang eksis dari kontennya, jumlah
likes, dan lain-lain. Dari situ, bisa jadi mereka akan mendapatkan posisi
sosial tertentu, setidaknya dalam peer group-nya. Ini yang menggerakkan
mereka untuk adu konten,” jelas Firman. Pembingkaian tema mode melalui Citayam Fashion Week
dalam pembuatan konten di media sosial oleh para remaja ini dianggap menarik.
”Ini bisa menggeser dari yang tadinya temanya pergaulan bebas, pacaran anak
usia segitu, sekarang jadi berbicara tentang gaya. Kontennya membaik,” ujar
Firman. Di Citayam Fashion Week, anak-anak muda pinggiran
Jakarta ini menemukan diri. Segala cemooh, ocehan, dan celaan hanyalah
sandungan sesaat. Mereka cukup fokus membangun diri menjadi versi terbaik
diri masing-masing dengan cara positif. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/gaya-hidup/2022/07/23/aku-viral-maka-aku-ada |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar