Pengaruh Besar Agama
pada Filantropi Indonesia Fina Nailur Rohmah : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 15 Juli 2022
Rakyat
Indonesia adalah rakyat paling dermawan di dunia dan motivasi utamanya
kemungkinan besar adalah agama. Setidaknya begitulah data dan analisis
laporan World Giving Index (WGI) 2021 dari lembaga nirlaba Internasional
Charities Aid Foundation (CAF). CAF secara 2 tahun berturut-turut telah
menahbiskan Indonesia sebagai peringkat pertama negara paling pemurah di
dunia. Pada laporan
WGI tahun 2021, disebut bahwa terdapat kenaikan skor kedermawanan Indonesia,
dari 59 persen pada 2018 menjadi 69 persen pada 2020, yang pendorong utamanya
kemungkinan besar adalah agama dan praktik Zakat. Di jajaran 10
besar negara paling dermawan 2020, Indonesia bersanding dengan negara Asia
Tenggara lain seperti Myanmar dan Thailand. Indeks itu didasarkan pada 3
indikator: ketersediaan membantu orang asing, menyumbangkan uang, dan
keterlibatan dalam kegiatan kerelawanan/volunteer. Dalam hal
menyumbang uang misalnya, CAF mencatat 83 persen penduduk atau setiap 8 dari
10 orang Indonesia telah berderma pada 2020. Skor ini nampak paling unggul
ketimbang 2 kategori lain. Senada dengan
temuan WGI ini, Direktur Filantropi Indonesia Hamid Abidin menilai,
keberhasilan Indonesia mempertahankan ranking kedermawanan ini didukung oleh
beberapa faktor, salah satunya kuatnya pengaruh ajaran agama dan tradisi
lokal yang berkaitan dengan kegiatan bederma dan menolong sesama. "Temuan
WGI mengonfirmasi hal ini dengan menunjukkan bahwa donasi berbasis agama,
khususnya zakat, infaq, dan sedekah, adalah pendorong utama aktivitas
filantropi di Indonesia selama pandemi," katanya pada rilis tertulis
tertanggal 15 Juni 2021. Bahkan, lebih
lanjut, Deputi Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) RI Moh. Arifin Purwakanta
juga menyampaikan dalam diskusi daring bertajuk “Polemik Pengelolaan Dana
Filantropi,” Sabtu (9/7/2022), bahwa angka filantropi di Indonesia tidak
turun saat ada kesusahan. “Tapi kita
sudah memperkirakan bahwa penderitaan yang diberitakan itu akan mendorong
sebagian orang yang tidak kena krisis untuk bisa menaikkan donasinya,”
katanya. Memang, sifat
masyarakat yang gemar berderma ini berita baik bagi filantropi di Indonesia.
Namun, kecenderungan ini bukannya tak rentan disalahgunakan. Teranyar,
sebuah lembaga kemanusiaan yang mengelola dana publik, Aksi Cepat Tanggap
(ACT), juga diduga melakukan penyelewengan dan pemborosan dana donasi,
menukil laporan Majalah Tempo edisi 2 Juli 2022. Majalah Tempo
melaporkan bahwa sejumlah kampanye donasi ACT dianggap berlebihan dan tak
sesuai fakta, dan bahwa dana yang masuk diduga dipotong dalam jumlah besar. Teranyar,
mantan Presiden ACT Ahyudin dan Ibnu Khajar sebagai Presiden ACT saat ini
diduga menggelapkan dana kompensasi dari Boeing bagi korban kecelakaan
pesawat Lion Air JT-610, yang terjadi pada 2018, dilansir dari laman Polri
pada 9 Juli 2022. Dana sosial yang diselewengkan ditengarai berjumlah Rp138
miliar. Seharusnya, dana ini disalurkan dalam bentuk kegiatan, salah satunya
mendirikan sekolah. Menyusul
dugaan penyelewengan ACT, Kementerian Sosial (Kemensos) lantas mencabut ijin
Penyelenggaran Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) yang dinyatakan dalam
Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 133/HUK/2022 tanggal 5 Juli
2022, tentang Pencabutan Izin Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan Kepada
Yayasan ACT. Polemik ini
kemudian memancing pertanyaan, seperti apakah gambaran aktivitas dan lembaga
filantropi di Indonesia? Apakah memang agama menjadi pendorong utama? Lalu,
bagaimana dampak carut-marut ACT dan langkah pemerintah terhadap ekosistem
filantropi? Yayasan Agama Dominasi Pendayagunaan Dana Merujuk
laporan Indonesia Philanthropy Outlook terbaru yang dirilis Filantropi
Indonesia bekerja sama dengan lembaga riset Kedai KOPI, selama 2018-2020,
kegiatan filantropi di Indonesia telah berhasil menyalurkan tak kurang dari
Rp39,6 triliun untuk berbagai kegiatan yang mendukung agenda pembangunan. Mendukung data
dari WGI, dari total dana penyaluran sepanjang periode itu, pendayagunaan
dana terbesar disumbang oleh yayasan keagamaan, jumlahnya sebesar 77,7
persen. Kemudian menyusul adalah sumbangan oleh yayasan perusahaan dan
filantropi perusahaan. Filantropi Indonesia juga melaporkan adanya kenaikan
dana pendayagunaan dari filantropi Islam pada tahun 2019. Meski
didominasi yayasan keagamaan, selama 3 tahun terakhir, program prioritas yang
dilakoni lembaga filantropi itu banyak berkisar pada pendidikan (39,7 persen),
disusul oleh pemberdayaan ekonomi (24,1 persen), dan iklim dan lingkungan
hidup (18,8 persen). Program lainnya juga mencakupi bidang advokasi dan
kesehatan, sedangkan program terkait perlindungan kelompok rentan seperti
lansia atau difabel relatif kurang populer. Lebih lanjut
mengenai laporan tersebut, dari tahun 2019 ke 2020, jumlah penyaluran dana
oleh lembaga filantropi diketahui melonjak signifikan sebesar 23,05 persen,
dari Rp12,52 triliun menjadi Rp15,40 triliun. Begitu pula
jumlah penerima manfaat yang mengalami kenaikan terbesar pada 2020, yakni
menjadi 38,71 juta jiwa dari tahun sebelumnya sebanyak 27,42 juta jiwa
lantaran terjadi pandemi COVID-19. Pandemi di sisi yang lain turut
mengakselerasi penggunaan teknologi dalam berdonasi. Perlu diketahui
bahwa Filantropi Indonesia mengategorikan yayasan agama sebagai filantropi
dengan sumber pendanaan utama dari aktivitas keagamaan. Jika menelusuri laman
lembaga nirlaba yang terdiri atas sejumlah organisasi dan individu pegiat
filantropi itu, ACT masuk dalam kelompok filantropi keagamaan, di samping
beberapa yayasan lain termasuk NU Care Lazisnu, Dompet Dhuafa, BAZNAS, dan
Rumah Yatim Arrohman Indonesia. Sementara
yayasan perusahaan sendiri mendapat pendanaan utama dari perusahaan, yang
mana relevan dengan visi-misi perusahaan. Dalam banyak kasus, perusahaan
memiliki yayasan atau organisasi terpisah yang mengelola secara khusus dana
filantropi perusahaan, tetapi ada juga perusahaan yang tidak terpisahkan
dengan dana CSR. Laporan
perdana dari Filantropi Indonesia ini merupakan hasil wawancara kepada 224
lembaga filantropi dan institusi pemerintah, serta survei telepon kepada 22
lembaga filantropi. Studi itu dilakukan selama Januari-Maret 2022. Lembaga Filantropi setelah Kasus ACT? Pasca
kegaduhan kasus ACT, Arifin dari BAZNAS menyebut kasus tersebut sebagai
tragedi yang menurunkan kepercayaan publik kepada lembaga filantropi. Jauh
lebih daripada itu, anak muda yang bercita-cita menjadi amil (pihak yang
bertindak mengelola zakat) juga ia khawatirkan mulai merenungkan kembali
keinginannya. “Sekarang
terasa dampaknya, bahwa masyarakat sekarang lebih hati-hati. Apakah ini akan
menggangu kedermawanan? Mungkin iya, tapi saya menyangka tidak seperti itu.
Jadi yang turun adalah kepercayan terhadap lembaga, sedangkan kebaikan
manusia-manusia Indonesia itu akan tetap,” katanya. Mengenai
langkah yang diambil pemerintah, menurut Pakar Hukum Tata Negara Bivitri
Susanti, pemerintah seharusnya tidak sekadar mencabut ijin ACT sebab tak
menyelesaikan masalah. “Apalagi
sekarang, orang yang diduga melakukan penyelewengan- penyelewengan itu sudah
disuruh mundur, kemudian sekarang bikin organisasi lagi baru. Padahal
masalahnya, diduga ada di orang itu. Nah artinya, cara penmecahan masalahnya
harus lebih struktural,” pungkas Bivitri, masih dari diskusi daring Polemik
Pengelolaan Dana Filantropi, Sabtu (9/7/2022). Bivitri
berpandangan bahwa kasus penyelewengan ACT seharusnya bisa menjadi momentum
bagi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi Undang-Undang
(UU) lawas Nomor 9 Tahun 1961 tentang PUB dan membuat sistem yang lebih
akuntabel. Dengan demikian negara bisa hadir di tengah potensi besar
filantropi. "UU tahun
1960 ini belum mengangkat aspek akuntabilitas. Jadi sekarang yang terjadi
main dicabut saja, tapi menurut saya nggak menyelesaikan persoalan. Dan
akhirnya kalau temen-temen yang bergiat di sektor ini malah sedih ya, karena
nila setitik rusak susu sebelanga. Keinginan dari menyumbangnya besar sekali,
tapi orang jadi takut,” pungkasnya. Dia mengimbuhkan,
kehadiran negara penting lantaran filantropi merupakan aspek esensial untuk
demokrasi. Sektor filantropi disebut Bivitri dapat membagi pertanggungjawaban
dengan pemerintah untuk mencapai tujuan negara dalam menyejahterakan rakyat. “Itu semua bebannya
bukan semua di pundak negara, nah dibaginya oleh sektor filantropi ini.
Karena itu negara harus membantu sektor filantropi ini dengan cara membuatnya
lebih akuntabel, karena kerja bareng antara negara dengan warga negara.
Sebenernya filosofinya begitu,” pungkas Bivitri. ● |
Sumber
: https://tirto.id/pengaruh-besar-agama-pada-filantropi-indonesia-gt3E
Tidak ada komentar:
Posting Komentar