Membentengi
Kebebasan Ekspresi Herlambang
P Wiratraman: Dosen Departemen Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada |
KOMPAS, 25 Juli 2022
Sistem
hukum pidana haruslah beradaptasi dengan perkembangan peradaban manusia itu
sendiri. Peradaban kemanusiaan itu diupayakan progresif, melalui pengembangan
jaminan kebebasan dan hak-hak dasar yang sifatnya asasi dan universal.
Gagasan dan semangat reformasi hukum pidana seharusnya merefleksikan
sekaligus menuntun kita menuju negara hukum demokratis. Di
sisi lain, dinamika pembentukan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(RKUHP) kita saat ini, perdebatan reflektif negara hukum demokratis justru
absen. Sebaliknya, RKUHP terkesan mengingkari prinsip-prinsip dasar hak asasi
manusia (HAM), terutama jaminan kebebasan ekspresi. Hal ini tampak dari
silang pendapat rumusan pasal penghinaan. Bagaimana membentuk hukum yang
menjamin kebebasan ekspresi, khususnya berkaitan dengan masalah pasal
penghinaan? Di
bawah standar Ada
sejumlah ”pasal penghinaan” yang dianggap mewakili karakter hukum represif
dalam RKUHP, yakni Pasal 218 Ayat (1) dan (2) jis Pasal 219 jis Pasal 220.
Pasal-pasal ini berkaitan dengan konsekuensi pemidanaan atas tindak
penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Pengecualiannya,
disebutkan dalam Pasal 218 Ayat (2), bahwa tidak merupakan penyerangan
kehormatan atau harkat dan martabat jika perbuatan dilakukan untuk
kepentingan umum atau pembelaan diri. Selain itu, Pasal 351 Ayat (1), (2),
dan (3) RKUHP, berkaitan dengan tindak pidana terhadap kekuasaan umum dan
lembaga negara. Dalam
tulisan di Kompas (7/7/2022) yang berjudul ”Penghinaan dan Hukum Pidana”,
Eddy OS Hiariej sebagai Wamenkumham menyebut tiga alasan pasal penghinaan
dipertahankan. Pertama, penghinaan berakibat pembunuhan karakter. Kedua,
penghinaan dianggap tak sesuai tradisi masyarakat Indonesia yang masih
menjunjung tinggi adat dan budaya Timur. Ketiga, penghinaan adalah salah satu
bentuk malaperse atau rechtsdelicten, bukan malaprohibita atau wetdelicten.
Pendekatan hukum pidana menjadi argumen utamanya. Berbeda
dengan bantahannya, Zainal Arifin Mochtar melalui rubrik yang sama (Kompas,
13/7/2022), dengan judul ”Pasal Penghinaan, Hukum, dan Demokrasi”,
mengingatkan soal bahaya rumusan pasal-pasal penghinaan RKUHP tersebut dalam
paradigma negara hukum dan demokrasi. Satu
hal yang paling mendasar dan patut dikhawatirkan dalam argumen hukum pendapat
Hiariej adalah absennya pertimbangan HAM. Padahal, elemen hukum pidana begitu
dekat terkait dengan begitu pesatnya perkembangan hukum HAM, sebagai
instrumen standar internasional, doktrin, dan bahkan yurisprudensi yang
begitu kuat mewarnai criminal justice system. Jaminan
kebebasan ekspresi dapat dibatasi (derogable rights). Perlu ingat bahwa Pemerintah
Indonesia bersama DPR telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Pasal 19 Ayat (1) menegaskan kebebasan berpendapat yang sama sekali tak boleh
dibatasi (non-derogable rights). Sementara pembatasan dimungkinkan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 Ayat (2) dan (3) KIHSP, terutama
berkaitan dengan menghormati hak atau nama baik orang lain dan melindungi
keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum. Pembatasan-pembatasan
harus dinyatakan tegas dalam hukum, mencerminkan alasan yang terlegitimasi
(legitimate aim) dan diperlukan secara proporsional (necessary and
proportional). Sayangnya, alasan Wamenkumham mempertahankan pasal-pasal
penghinaan jelas tak memiliki basis legitimasi ini. Sebaliknya, dalam praktik
akan susah diterapkan secara proporsional mengingat karakter represif hukum
pidana selama ini yang praktiknya kerap mengancam kebebasan sipil. Sekalipun
bisa dibedakan, ekspresi berupa kritik bisa dikonstruksi menghina apabila
rumusan RKUHP demikian. Ekspresi politik yang berbeda, debat politik, dengan
artikulasi seni, seharusnya bisa dilindungi berdasarkan Pasal 19 KIHSP. Figur
publik, orang-orang dalam jabatan publik, adalah subyek yang sah untuk
dikritik sehingga hukum-hukum yang melarang kritik kepada pejabat publik,
misalnya penghinaan dan lese majeste, atau hukum-hukum yang memidanakan
ketidakhormatan pada simbol negara, seperti bendera, seharusnya diatur secara
lebih rinci dan menegaskan substansi legitimasinya (Komentar Umum PBB Nomor
34, para 38). Pembatasan ”penghinaan” yang memiliki basis legitimasi misalnya
tindakan yang mengarah pada penghasutan untuk melakukan kekerasan dan
propaganda perang. Prinsip
7 dalam Prinsip Johannesburg, terkait ekspresi yang dilindungi, menyatakan
bahwa ekspresi damai tidak boleh dianggap sebagai ancaman pada keamanan
nasional atau sebagai bahan pembatasan atau hukuman, yang termasuk di
antaranya adalah kritik atau ”penghinaan” kepada negara atau simbol-simbol
negara. Seseorang juga tidak dapat dihukum atas kritik dan penghinaan
terhadap negara dan simbol-simbol negara, kecuali bahwa kritik dan penghinaan
tersebut dimaksudkan untuk menghasut kekerasan yang nyata (imminent violence)
(Article 19 Prinsip-prinsip Johannesburg, 1 Oktober 1995). Untuk
membenarkan pembatasan berdasarkan keperluan keamanan nasional, pemerintah
harus membuktikan bahwa ancaman berat dapat ditimbulkan, tetapi tidak perlu
membuktikan kemungkinan bahwa ancaman itu mendesak atau sangat mungkin
(Sandra Coliver, 1993, Buku Pedoman Article 19 tentang Kebebasan Menyampaikan
Pendapat, Hukum dan Perbandingan Hukum, Standar dan Prosedur Internasional,
hlm 116). Bahkan, sekalipun penggunaan ketentuan pidana masih dimungkinkan,
harus dibatasi penggunaannya dengan syarat-syarat, antara lain penegak hukum,
termasuk polisi dan jaksa, tidak boleh menjadi pihak yang melaporkan kasus
pidana penghinaan (Article 19, Defining Defamation: Principles on Freedom of
Expression and Protection of Reputation, 2017, hlm 6). Dari
sisi hukum HAM internasional, ketidaklengkapan rumusan pasal penghinaan di
RKUHP masih jauh di bawah standar, bahkan sebaliknya, tak koheren terhadap
KIHSP yang telah diratifikasi Indonesia sendiri. Efek
meluas RKUHP
perlu mempertimbangkan prioritas penggunaan sanksi di luar sanksi denda
ataupun sanksi pidana dalam kasus penghinaan. Penggunaan sanksi denda ataupun
sanksi pidana hanya bisa dilakukan apabila hak untuk mengoreksi atau hak
untuk menjawab tidak cukup untuk memperbaiki kerusakan reputasi yang
ditimbulkan. Penerapan
sanksi denda yang eksesif, bahkan pemenjaraan, sangat mungkin melahirkan efek
meluas yang buruk (chilling effect) terhadap kebebasan berekspresi. Terlebih
rumusan RKUHP dalam Pasal 598 dan 599 justru tegas memasukkan pers dan
pencetak di dalamnya. Kegiatan
jurnalistik sepatutnya tak masuk dalam RKUHP, terlebih standar etika
profesionalnya memberikan ”ruang kesalahan” (a breathing space for error).
Pengecualian demikian telah menjadi doktrin dalam putusan pengadilan HAM
Eropa, ketika kerja jurnalistik tak dianggap penghinaan atau tidak dapat
dipersalahkan apabila tidak bisa menyampaikan pernyataan orang lain secara
akurat (lihat: perkara Observer and Guardian v the United Kingdom, 1991, §
60). Agar
tak menjadi efek buruk yang meluas dan justru merusak elemen partisipasi
publik dalam negara hukum demokratis, RKUHP perlu mempertimbangkan sejumlah
hal. Pertama,
rumusan pasal perlu merujuk Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Komnas HAM
Nomor 5 Tahun 2021 tentang Kebebasan Berpendapat dan Kebebasan Berekspresi.
Kedua, pembatasan ekspresi dirumuskan lebih rinci nan terukur menyediakan
landasan legitimasi atas tujuan dan proporsional sehingga sejalan dengan
prinsip hukum HAM. Ketiga, RKUHP diupayakan mendorong keadilan dan progresivitas
perlindungan kebebasan sipil. Praktik
peradilan yang memberikan landmark decisions, baik di lingkungan Mahkamah
Konstitusi maupun Mahkamah Agung, harus diperkuat. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/23/membentengi-kebebasan-ekspresi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar