Apa Peran Ferdy Sambo
dalam Kematian Brigadir Yosua Linda Trianita : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Juli
2022
SATU per satu kepingan
teka-teki kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir Yosua, 27 tahun,
mulai terungkap. Salah satunya misteri ambulans yang membawa Yosua dari rumah
dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo di
Kompleks Polri Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan. Sebelumnya, tak ada
tetangga yang melihat ambulans meluncur dari rumah Ferdy pada hari itu. Tempo menelusuri pemilik
kamera pengawas (CCTV) di sekitar Kompleks Polri. Tim majalah ini menemukan
rekaman CCTV di kafe sekaligus kantor advokat Denny AK Andrian di Jalan Taman
Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, pada Kamis, 21 Juli lalu. “Polisi
juga sudah datang dan meminta rekaman CCTV itu,” kata Davit Arlianto,
pengacara di kantor advokat Denny AK Andrian, pada Kamis, 21 Juli lalu. Rekaman CCTV yang
menghadap jalan raya menunjukkan satu unit ambulans dengan lampu sirene
menyala yang diduga membawa jenazah Brigadir Yosua melintas diikuti dua mobil
Provos Kepolisian RI pada Jumat, 8 Juli lalu, pukul 19.28. Tapi jam CCTV tak
menunjukkan waktu sebenarnya alias terlambat 25 menit. Artinya, ambulans
melintas di depan kantor sekitar pukul 19.53. Penyidik baru mengambil
rekaman CCTV tersebut pada Selasa, 19 Juli lalu. Padahal peristiwa yang
disebut polisi sebagai "baku tembak" di rumah dinas Ferdy Sambo dan
menewaskan Yosua itu berlangsung sebelas hari sebelumnya atau pada Jumat, 8
Juli lalu. “Polisi ingin memastikan ambulans tersebut yang membawa jenazah
Yosua ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati,” tutur Davit. Polisi yang meminta
rekaman CCTV itu berasal dari Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian
Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Polda tengah menangani dua perkara: dugaan
pencabulan oleh Brigadir Yosua kepada istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi,
dan upaya pembunuhan yang diduga dilakukan Yosua kepada Putri. Polisi menyebutkan Yosua
tewas ditembak Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu, 24 tahun,
setelah mendengar teriakan Putri dari dalam kamar. Richard sudah ditahan dan
ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara ini. “Dia sudah diamankan ke Polda
Metro Jaya,” ucap Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal
Dedi Prasetyo pada Jumat, 22 Juli lalu. Sebelumnya, polisi merilis
Bharada Richard menembakkan lima peluru ke tubuh Yosua. Perhitungan ini
diperoleh dari pengakuan Richard dan magasin pistol Glock 17 yang digunakan
untuk menembak Yosua bersisa 12 peluru. Magasin Glock tersebut maksimal
menyimpan 17 peluru. Menurut seseorang yang
mengetahui perkara ini, belakangan diketahui Richard menembak lebih banyak
dari pengakuannya. Lima tembakan di antaranya mengenai tubuh Yosua. Pistol
yang digunakan Richard tersebut juga tercatat sebagai satu dari enam Glock 17
milik Divisi Propam. “Ada banyak fakta yang baru terungkap, termasuk soal
CCTV.” Bukan hanya CCTV di luar
kompleks, penyidik baru menerima rekaman beserta kamera pengawas di pos
satuan pengamanan Kompleks Polri Duren Tiga sekitar sepekan setelah kematian
Brigadir Yosua. Menurut seorang petinggi di Markas Besar Polri, pejabat di
Divisi Propam yang memerintahkan Provos menyita rekaman dan kamera tersebut.
“Katanya untuk mengamankan kamera supaya enggak diambil pihak tak bertanggung
jawab,” ujar pejabat itu. Inspektur Jenderal Dedi
Prasetyo membenarkan kabar bahwa kamera tersebut sempat diambil personel
Provos. Ia menegaskan, kamera dan rekaman sudah diserahkan kepada penyidik
dan dalam kondisi utuh. Ia juga mengklaim penyidik
sudah mengantongi rekaman CCTV perjalanan dua mobil Lexus RX yang ditumpangi
Putri Candrawathi dan Yosua dari Magelang, Jawa Tengah, menuju Jakarta. Salah
satunya rekaman di salah satu rest area di jalan tol Cikampek menuju Jakarta. Potongan rekaman
disebutkan menunjukkan Putri dan Yosua menumpang di dua mobil yang berbeda.
Dalam rekaman itu, Yosua mengenakan kaus putih merek Zara yang di belakangnya
ada tulisan “We Need Art In Our Lives” dan celana jins ketat berwarna biru. Baju yang sama terlihat
saat Yosua tiba di rumah pribadi Ferdy Sambo di Jalan Saguling III, Duren
Tiga, pada Jumat, 8 Juli lalu, sekitar pukul 15.00. Jarak antara rumah
pribadi dan rumah dinas Ferdy sekitar 500 meter. Saat mereka tiba, Ferdy
berada di rumah. Semua aktivitas mereka terekam kamera pengawas di dalam
rumah. Sesaat sebelum penembakan, mobil Ferdy diklaim terlihat berbalik arah
dan menuju rumah dinas. Ia disebutkan menuju rumah dinas karena ditelepon
oleh Putri yang tengah histeris. “Semua rekaman itu sudah ada di tangan
penyidik,” tutur Inspektur Jenderal Dedi. Kaus putih itu pula yang
dikenakan Brigadir Yosua saat ia tewas. Tempo melihat foto jenazah Yosua yang
terkapar bersimbah darah di bawah tangga dan di depan pintu kamar mandi rumah
dinas Ferdy. Ceceran darah terlihat menyebar di sekitar tubuhnya hingga
mengalir ke anak tangga menuju kamar mandi. Posisi tubuh Yosua
tertelungkup dengan tangan kanan menjulur ke depan. Pistol HS 9 yang disebut
polisi miliknya tergeletak di dekat tangan kanannya. Tak terlihat bekas luka
di bagian belakang badan Yosua. Salah satu foto
menunjukkan tubuh Yosua dalam posisi terbalik. Baju depannya terlihat
berlumuran darah. Wajahnya masih tertutup masker berwarna hitam. Seorang
petugas mengatakan volume darah yang terkumpul di sekitar Yosua berjumlah 760
mililiter serta 150 gram darah yang sudah membeku. Berbeda dengan kronologi
perjalanan rombongan dari Magelang hingga menuju Jakarta yang dikuatkan oleh
berbagai rekaman CCTV, penyidik hanya mengandalkan keterangan ajudan Ferdy
lain dan Bharada Richard saat penembakan terhadap Yosua. Namun sebagian
kesaksian Bharada Richard tak sinkron dengan kronologi versi polisi. Seseorang yang mengetahui
perkara ini mengatakan Richard bersaksi awalnya satu kali menembak Yosua ke
arah dada. Kemudian dia bersembunyi di dinding tangga karena Yosua membalas
tembakan. Richard menembak lagi sebanyak dua kali. Ia mengakhiri dengan dua
tembakan lain ke arah dada saat posisi Yosua sudah nyaris tersungkur di
lantai. Sementara itu, seorang
petinggi Mabes Polri mengatakan Richard mengakhiri baku tembak dengan
menjulurkan tangan dari dinding tangga, lalu meletuskan pistol sebanyak satu
kali. Kepalanya tetap bersembunyi di balik tangga. Tembakan tersebut
ditengarai mengenai kepala di dekat telinga, lalu tembus ke arah rahang. Dari sejumlah kejanggalan
ini, para pejabat pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo, berharap polisi
menuntaskan selubung kematian Brigadir Yosua. Publik turut sangsi terhadap
kronologi versi polisi yang menyebutkan tembak-menembak bermula dari dugaan
pelecehan seksual Brigadir Yosua kepada bosnya, Putri Candrawathi. Sebab,
kasus kekerasan seksual umumnya terjadi karena relasi kuasa: derajat atau
kekuasaan pelaku lebih tinggi ketimbang korban. Seorang petinggi Mabes
Polri mengaku sempat menolak kronologi versi lembaganya yang menyertakan
motif pelecehan seksual di balik penembakan Yosua. Ia sempat mengusulkan,
jika memang ada perundungan, lebih baik hal tersebut dibuktikan di
pengadilan. “Jangan langsung di-publish,” tuturnya. Tapi ia kalah suara. Inspektur Jenderal Ferdy
Sambo tak kunjung merespons permintaan wawancara Tempo hingga Sabtu, 23 Juli
lalu. Pengacara Putri Candrawathi, Arman Hanis, menegaskan bahwa pelecehan
memang terjadi. “Yosua masuk ke kamar dan melecehkan klien saya,” ujarnya. ••• ARMAN Hanis mengatakan
Putri Candrawathi masih terguncang setelah penembakan ajudan yang merangkap
sopirnya, Brigadir Yosua. Penyidik masih menunggu kondisi perempuan 48 tahun
itu stabil agar bisa dimintai keterangan. Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK) bersama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) berupaya mewawancarai Putri di kamar rumah pribadinya pada
Sabtu, 17 Juli lalu. Beberapa hari sebelumnya, Putri meminta perlindungan ke
LPSK. Kedua lembaga itu gagal mengumpulkan informasi karena Putri masih sulit
diajak bicara. Saat ditemui LPSK dan
Komnas Perempuan, Putri tengah terbaring dan menutup tubuhnya dengan selimut.
Tak terlihat bekas luka di wajahnya. Ia hanya menangis dan tak berbicara. Keterangan Putri
dibutuhkan untuk menentukan status perlindungan. “Kedatangan LPSK untuk
mendapatkan informasi yang berkaitan dengan laporan permohonan perlindungan
yang diajukan,” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu. Dalam pertemuan itu, suami
Putri, Ferdy Sambo, bolak-balik masuk ke kamar. Dari sejumlah pemeriksaan
saksi, termasuk Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu, Ferdy
terlihat kerap mendampingi atau mengutus anak buahnya di Divisi Profesi dan
Pengamanan. Peran Ferdy Sambo dan anak
buahnya dari Divisi Propam juga menonjol saat Brigadir Yosua ditemukan tewas.
Seseorang yang mengetahui penyidikan penembakan Brigadir Yosua mengatakan,
selain menghubungi Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Selatan, Ferdy
meminta anak buahnya di Divisi Propam datang ke rumah dinasnya. Akibatnya, Provos yang
datang ikut membantu mengolah tempat kejadian perkara (TKP) dan mengamankan
sejumlah barang bukti, termasuk rekaman kamera pengawas. Keberadaan personel
Divisi Propam di rumah dinas Ferdy Sambo terlihat dari foto yang dilihat
Tempo. Olah TKP pun tak berjalan
maksimal. Polres Metro Jakarta Selatan hanya mengirim satu anggota Inafis
untuk mengidentifikasi dan mencari barang bukti di lokasi kejadian. Ia tak
mengambil sampel asam deoksiribonukleat (DNA) di tangga dan kamar Putri
Candrawathi. Ia juga tak menyisir secara detail proyektil di rumah dinas
Ferdy. “Olah TKP yang ala kadarnya itu membuat penyidikan berjalan lambat,” ujar
sumber tersebut. Polisi baru mengulang olah
TKP empat hari kemudian atau pada Selasa, 19 Juli. Proses olah TKP kembali
dilakukan dua kali pada hari-hari berikutnya. Keberadaan Provos di rumah
Ferdy Sambo dianggap mencemari lokasi kejadian. Apalagi mereka menguasai
sejumlah barang bukti, termasuk dua unit telepon seluler merek iPhone 13
milik Yosua. Diduga akibat diutak-atik tanpa mengetahui kata sandi, sistem
software kedua ponsel itu terkunci otomatis dan baru bisa dibuka satu
setengah tahun kemudian. Kepala Divisi Hubungan
Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo mengakui penyidik sudah
mengambil ponsel milik Yosua dan kini berada di tangan Pusat Laboratorium
Forensik Polri. “Sedang diupayakan untuk dilihat isinya,” tuturnya. Seorang petinggi
kepolisian mengatakan peran Ferdy Sambo yang dominan kerap membuat
Inspektorat Pengawasan Umum dan tim khusus bentukan Kepala Polri Jenderal
Listyo Sigit Prabowo tidak bekerja optimal. Mereka kesulitan memeriksa saksi
yang “dikuasai” Ferdy. Petinggi lain mengatakan
jabatan Ferdy Sambo sebagai pejabat utama di Mabes Polri membuat
rekan-rekannya membutuhkan waktu mengungkap kasus penembakan Brigadir Yosua.
Mabes Polri baru merilis kasus ini ke publik tiga hari setelah peristiwa
penembakan. Sempat muncul rasa sungkan dan kaget karena peristiwa ini dialami
oleh seorang petinggi di Trunojoyo—sebutan untuk Mabes Polri. Padahal beberapa sumber
mengatakan peristiwa ini sudah diketahui Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit
Prabowo pada malam peristiwa penembakan. Dimintai konfirmasi soal sejumlah
kejanggalan penyidikan kematian Yosua, Listyo berjanji membuka secara
transparan kasus ini ke publik. “Titik terang sudah mulai terlihat dan nanti
akan disampaikan secara transparan dan didukung pembuktian scientific,” ucapnya. Jenderal Listyo akhirnya
menonaktifkan Ferdy Sambo pada Senin, 18 Juli lalu. Dua hari berselang,
Kapolri menonaktifkan Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan
Pengamanan Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan serta Kepala Polres Metro
Jakarta Selatan Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto. Sanksi untuk Budhi
lantaran ia dianggap tak profesional saat pertama kali menangani olah TKP di
rumah Ferdy. Sementara Hendra dinonaktifkan karena membuat gaduh ketika
menyerahkan jenazah dan menghadapi keluarga Yosua di Jambi. Dua petinggi Mabes Polri
mengatakan rapat penentuan status nonaktif Ferdy Sambo sangat alot. Para
pejabat utama menggelar rapat dari Ahad malam hingga Senin dinihari untuk
membahas hal ini. Beberapa jenderal bintang
tiga beralasan Ferdy Sambo harus berstatus nonaktif agar memudahkan
penyidikan. Mereka juga mengacu pada hasil survei mingguan kepuasan publik
terhadap polisi yang nilainya berada di garis oranye menuju merah. Artinya, tingkat
kepercayaan kepada polisi menjadi rendah akibat kasus kematian Brigadir
Yosua. Jenderal Listyo akhirnya setuju dengan argumentasi para bawahannya
dalam hal status Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Kepala Divisi Humas Polri
Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo tak membantah atau membenarkan informasi
ini. “Kalau kepercayaan publik sudah diraih, tim khusus akan terpacu lebih
baik kerjanya,” katanya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar