Minggu, 24 Juli 2022

 

Apa Peran Ferdy Sambo dalam Kematian Brigadir Yosua

Linda Trianita :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 23 Juli 2022

 

 

                                                           

SATU per satu kepingan teka-teki kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir Yosua, 27 tahun, mulai terungkap. Salah satunya misteri ambulans yang membawa Yosua dari rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan. Sebelumnya, tak ada tetangga yang melihat ambulans meluncur dari rumah Ferdy pada hari itu.

 

Tempo menelusuri pemilik kamera pengawas (CCTV) di sekitar Kompleks Polri. Tim majalah ini menemukan rekaman CCTV di kafe sekaligus kantor advokat Denny AK Andrian di Jalan Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, pada Kamis, 21 Juli lalu. “Polisi juga sudah datang dan meminta rekaman CCTV itu,” kata Davit Arlianto, pengacara di kantor advokat Denny AK Andrian, pada Kamis, 21 Juli lalu.

 

Rekaman CCTV yang menghadap jalan raya menunjukkan satu unit ambulans dengan lampu sirene menyala yang diduga membawa jenazah Brigadir Yosua melintas diikuti dua mobil Provos Kepolisian RI pada Jumat, 8 Juli lalu, pukul 19.28. Tapi jam CCTV tak menunjukkan waktu sebenarnya alias terlambat 25 menit. Artinya, ambulans melintas di depan kantor sekitar pukul 19.53.

 

Penyidik baru mengambil rekaman CCTV tersebut pada Selasa, 19 Juli lalu. Padahal peristiwa yang disebut polisi sebagai "baku tembak" di rumah dinas Ferdy Sambo dan menewaskan Yosua itu berlangsung sebelas hari sebelumnya atau pada Jumat, 8 Juli lalu. “Polisi ingin memastikan ambulans tersebut yang membawa jenazah Yosua ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati,” tutur Davit.

 

Polisi yang meminta rekaman CCTV itu berasal dari Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Polda tengah menangani dua perkara: dugaan pencabulan oleh Brigadir Yosua kepada istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, dan upaya pembunuhan yang diduga dilakukan Yosua kepada Putri.

 

Polisi menyebutkan Yosua tewas ditembak Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu, 24 tahun, setelah mendengar teriakan Putri dari dalam kamar. Richard sudah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara ini. “Dia sudah diamankan ke Polda Metro Jaya,” ucap Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo pada Jumat, 22 Juli lalu.

 

Sebelumnya, polisi merilis Bharada Richard menembakkan lima peluru ke tubuh Yosua. Perhitungan ini diperoleh dari pengakuan Richard dan magasin pistol Glock 17 yang digunakan untuk menembak Yosua bersisa 12 peluru. Magasin Glock tersebut maksimal menyimpan 17 peluru.

 

Menurut seseorang yang mengetahui perkara ini, belakangan diketahui Richard menembak lebih banyak dari pengakuannya. Lima tembakan di antaranya mengenai tubuh Yosua. Pistol yang digunakan Richard tersebut juga tercatat sebagai satu dari enam Glock 17 milik Divisi Propam. “Ada banyak fakta yang baru terungkap, termasuk soal CCTV.”

 

Bukan hanya CCTV di luar kompleks, penyidik baru menerima rekaman beserta kamera pengawas di pos satuan pengamanan Kompleks Polri Duren Tiga sekitar sepekan setelah kematian Brigadir Yosua. Menurut seorang petinggi di Markas Besar Polri, pejabat di Divisi Propam yang memerintahkan Provos menyita rekaman dan kamera tersebut. “Katanya untuk mengamankan kamera supaya enggak diambil pihak tak bertanggung jawab,” ujar pejabat itu.

 

Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo membenarkan kabar bahwa kamera tersebut sempat diambil personel Provos. Ia menegaskan, kamera dan rekaman sudah diserahkan kepada penyidik dan dalam kondisi utuh.

 

Ia juga mengklaim penyidik sudah mengantongi rekaman CCTV perjalanan dua mobil Lexus RX yang ditumpangi Putri Candrawathi dan Yosua dari Magelang, Jawa Tengah, menuju Jakarta. Salah satunya rekaman di salah satu rest area di jalan tol Cikampek menuju Jakarta.

 

Potongan rekaman disebutkan menunjukkan Putri dan Yosua menumpang di dua mobil yang berbeda. Dalam rekaman itu, Yosua mengenakan kaus putih merek Zara yang di belakangnya ada tulisan “We Need Art In Our Lives” dan celana jins ketat berwarna biru.

 

Baju yang sama terlihat saat Yosua tiba di rumah pribadi Ferdy Sambo di Jalan Saguling III, Duren Tiga, pada Jumat, 8 Juli lalu, sekitar pukul 15.00. Jarak antara rumah pribadi dan rumah dinas Ferdy sekitar 500 meter.

 

Saat mereka tiba, Ferdy berada di rumah. Semua aktivitas mereka terekam kamera pengawas di dalam rumah. Sesaat sebelum penembakan, mobil Ferdy diklaim terlihat berbalik arah dan menuju rumah dinas. Ia disebutkan menuju rumah dinas karena ditelepon oleh Putri yang tengah histeris. “Semua rekaman itu sudah ada di tangan penyidik,” tutur Inspektur Jenderal Dedi.

 

Kaus putih itu pula yang dikenakan Brigadir Yosua saat ia tewas. Tempo melihat foto jenazah Yosua yang terkapar bersimbah darah di bawah tangga dan di depan pintu kamar mandi rumah dinas Ferdy. Ceceran darah terlihat menyebar di sekitar tubuhnya hingga mengalir ke anak tangga menuju kamar mandi.

 

Posisi tubuh Yosua tertelungkup dengan tangan kanan menjulur ke depan. Pistol HS 9 yang disebut polisi miliknya tergeletak di dekat tangan kanannya. Tak terlihat bekas luka di bagian belakang badan Yosua.

 

Salah satu foto menunjukkan tubuh Yosua dalam posisi terbalik. Baju depannya terlihat berlumuran darah. Wajahnya masih tertutup masker berwarna hitam. Seorang petugas mengatakan volume darah yang terkumpul di sekitar Yosua berjumlah 760 mililiter serta 150 gram darah yang sudah membeku.

 

Berbeda dengan kronologi perjalanan rombongan dari Magelang hingga menuju Jakarta yang dikuatkan oleh berbagai rekaman CCTV, penyidik hanya mengandalkan keterangan ajudan Ferdy lain dan Bharada Richard saat penembakan terhadap Yosua. Namun sebagian kesaksian Bharada Richard tak sinkron dengan kronologi versi polisi.

 

Seseorang yang mengetahui perkara ini mengatakan Richard bersaksi awalnya satu kali menembak Yosua ke arah dada. Kemudian dia bersembunyi di dinding tangga karena Yosua membalas tembakan. Richard menembak lagi sebanyak dua kali. Ia mengakhiri dengan dua tembakan lain ke arah dada saat posisi Yosua sudah nyaris tersungkur di lantai.

 

Sementara itu, seorang petinggi Mabes Polri mengatakan Richard mengakhiri baku tembak dengan menjulurkan tangan dari dinding tangga, lalu meletuskan pistol sebanyak satu kali. Kepalanya tetap bersembunyi di balik tangga. Tembakan tersebut ditengarai mengenai kepala di dekat telinga, lalu tembus ke arah rahang.

 

Dari sejumlah kejanggalan ini, para pejabat pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo, berharap polisi menuntaskan selubung kematian Brigadir Yosua. Publik turut sangsi terhadap kronologi versi polisi yang menyebutkan tembak-menembak bermula dari dugaan pelecehan seksual Brigadir Yosua kepada bosnya, Putri Candrawathi. Sebab, kasus kekerasan seksual umumnya terjadi karena relasi kuasa: derajat atau kekuasaan pelaku lebih tinggi ketimbang korban.

 

Seorang petinggi Mabes Polri mengaku sempat menolak kronologi versi lembaganya yang menyertakan motif pelecehan seksual di balik penembakan Yosua. Ia sempat mengusulkan, jika memang ada perundungan, lebih baik hal tersebut dibuktikan di pengadilan. “Jangan langsung di-publish,” tuturnya. Tapi ia kalah suara.

 

Inspektur Jenderal Ferdy Sambo tak kunjung merespons permintaan wawancara Tempo hingga Sabtu, 23 Juli lalu. Pengacara Putri Candrawathi, Arman Hanis, menegaskan bahwa pelecehan memang terjadi. “Yosua masuk ke kamar dan melecehkan klien saya,” ujarnya.

 

•••

 

ARMAN Hanis mengatakan Putri Candrawathi masih terguncang setelah penembakan ajudan yang merangkap sopirnya, Brigadir Yosua. Penyidik masih menunggu kondisi perempuan 48 tahun itu stabil agar bisa dimintai keterangan.

 

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bersama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berupaya mewawancarai Putri di kamar rumah pribadinya pada Sabtu, 17 Juli lalu. Beberapa hari sebelumnya, Putri meminta perlindungan ke LPSK. Kedua lembaga itu gagal mengumpulkan informasi karena Putri masih sulit diajak bicara.

 

Saat ditemui LPSK dan Komnas Perempuan, Putri tengah terbaring dan menutup tubuhnya dengan selimut. Tak terlihat bekas luka di wajahnya. Ia hanya menangis dan tak berbicara.

 

Keterangan Putri dibutuhkan untuk menentukan status perlindungan. “Kedatangan LPSK untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan laporan permohonan perlindungan yang diajukan,” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu.

 

Dalam pertemuan itu, suami Putri, Ferdy Sambo, bolak-balik masuk ke kamar. Dari sejumlah pemeriksaan saksi, termasuk Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu, Ferdy terlihat kerap mendampingi atau mengutus anak buahnya di Divisi Profesi dan Pengamanan.

 

Peran Ferdy Sambo dan anak buahnya dari Divisi Propam juga menonjol saat Brigadir Yosua ditemukan tewas. Seseorang yang mengetahui penyidikan penembakan Brigadir Yosua mengatakan, selain menghubungi Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Selatan, Ferdy meminta anak buahnya di Divisi Propam datang ke rumah dinasnya.

 

Akibatnya, Provos yang datang ikut membantu mengolah tempat kejadian perkara (TKP) dan mengamankan sejumlah barang bukti, termasuk rekaman kamera pengawas. Keberadaan personel Divisi Propam di rumah dinas Ferdy Sambo terlihat dari foto yang dilihat Tempo.

Olah TKP pun tak berjalan maksimal. Polres Metro Jakarta Selatan hanya mengirim satu anggota Inafis untuk mengidentifikasi dan mencari barang bukti di lokasi kejadian. Ia tak mengambil sampel asam deoksiribonukleat (DNA) di tangga dan kamar Putri Candrawathi. Ia juga tak menyisir secara detail proyektil di rumah dinas Ferdy. “Olah TKP yang ala kadarnya itu membuat penyidikan berjalan lambat,” ujar sumber tersebut.

 

Polisi baru mengulang olah TKP empat hari kemudian atau pada Selasa, 19 Juli. Proses olah TKP kembali dilakukan dua kali pada hari-hari berikutnya.

 

Keberadaan Provos di rumah Ferdy Sambo dianggap mencemari lokasi kejadian. Apalagi mereka menguasai sejumlah barang bukti, termasuk dua unit telepon seluler merek iPhone 13 milik Yosua. Diduga akibat diutak-atik tanpa mengetahui kata sandi, sistem software kedua ponsel itu terkunci otomatis dan baru bisa dibuka satu setengah tahun kemudian.

 

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo mengakui penyidik sudah mengambil ponsel milik Yosua dan kini berada di tangan Pusat Laboratorium Forensik Polri. “Sedang diupayakan untuk dilihat isinya,” tuturnya.

 

Seorang petinggi kepolisian mengatakan peran Ferdy Sambo yang dominan kerap membuat Inspektorat Pengawasan Umum dan tim khusus bentukan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tidak bekerja optimal. Mereka kesulitan memeriksa saksi yang “dikuasai” Ferdy.

 

Petinggi lain mengatakan jabatan Ferdy Sambo sebagai pejabat utama di Mabes Polri membuat rekan-rekannya membutuhkan waktu mengungkap kasus penembakan Brigadir Yosua. Mabes Polri baru merilis kasus ini ke publik tiga hari setelah peristiwa penembakan. Sempat muncul rasa sungkan dan kaget karena peristiwa ini dialami oleh seorang petinggi di Trunojoyo—sebutan untuk Mabes Polri.

 

Padahal beberapa sumber mengatakan peristiwa ini sudah diketahui Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada malam peristiwa penembakan. Dimintai konfirmasi soal sejumlah kejanggalan penyidikan kematian Yosua, Listyo berjanji membuka secara transparan kasus ini ke publik. “Titik terang sudah mulai terlihat dan nanti akan disampaikan secara transparan dan didukung pembuktian scientific,” ucapnya.

 

Jenderal Listyo akhirnya menonaktifkan Ferdy Sambo pada Senin, 18 Juli lalu. Dua hari berselang, Kapolri menonaktifkan Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan serta Kepala Polres Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto.

 

Sanksi untuk Budhi lantaran ia dianggap tak profesional saat pertama kali menangani olah TKP di rumah Ferdy. Sementara Hendra dinonaktifkan karena membuat gaduh ketika menyerahkan jenazah dan menghadapi keluarga Yosua di Jambi.

 

Dua petinggi Mabes Polri mengatakan rapat penentuan status nonaktif Ferdy Sambo sangat alot. Para pejabat utama menggelar rapat dari Ahad malam hingga Senin dinihari untuk membahas hal ini.

 

Beberapa jenderal bintang tiga beralasan Ferdy Sambo harus berstatus nonaktif agar memudahkan penyidikan. Mereka juga mengacu pada hasil survei mingguan kepuasan publik terhadap polisi yang nilainya berada di garis oranye menuju merah.

 

Artinya, tingkat kepercayaan kepada polisi menjadi rendah akibat kasus kematian Brigadir Yosua. Jenderal Listyo akhirnya setuju dengan argumentasi para bawahannya dalam hal status Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo tak membantah atau membenarkan informasi ini. “Kalau kepercayaan publik sudah diraih, tim khusus akan terpacu lebih baik kerjanya,” katanya. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/166500/apa-peran-ferdy-sambo-dalam-kematian-brigadir-yosua

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar