Ancaman Resesi
Global, Seberapa Kuat Indonesia Bertahan Kali Ini? Selfie Miftahul Jannah : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 17 Juli 2022
Presiden Joko
Widodo akhir Juni lalu mengingatkan perekonomian 60 negara di dunia terancam
runtuh. Pernyataan Jokowi ini berdasarkan laporan berbagai lembaga keuangan
dunia, mulai dari Bank Dunia, dana moneter dunia (IMF) hingga Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). “Terakhir baru
kemarin saya mendapatkan informasi 60 negara akan ambruk ekonominya, 42
dipastikan sudah menuju ke sana,” kata Jokowi saat memberikan sambutan pada
Rakernas PDIP, di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, 21 Juni
2022. Karena itu,
Jokowi menekankan, Indonesia harus waspada untuk tidak masuk dalam kelompok
negara dengan ancaman keruntuhan ekonomi. Ia pun meminta agar semua pihak
harus berjaga-jaga, meningkatkan kewaspadaan dan berhati-hati. Sebab,
perekonomian dunia saat ini tidak sedang berada dalam kondisi normal. Berdasarkan
laporan terbaru Bank Dunia berjudul 'Global Economic Prospect June 2022',
perekonomian dunia memang tidak baik-baik saja. Laporan tersebut
memperlihatkan kondisi perekonomian global sedang mengalami tekanan. Kondisi
itu tidak terlepas dari dampak pandemi COVID-19 dan invasi Rusia ke Ukraina
yang memicu perlambatan ekonomi di seluruh dunia. Presiden Bank
Dunia, David Malpass menyatakan, dampak langsung akibat pandemi dan perang
berujung pada penurunan tingkat pendapatan per kapita di negara berkembang.
Bahkan merosot hampir 5 persen di bawah tren sebelum pandemi. Kondisi ini
semakin dekat dengan jurang resesi global. Menteri
Keuangan, Sri Mulyani Indrawati bahkan menyatakan resesi di Amerika Serikat
sudah di depan mata. Kondisi ini setelah inflasi terjadi di negeri Paman Sam
melonjak sampai 9,1 persen yang direspons dengan kenaikan suku bunga The Fed.
Inflasi ini disebut yang tertinggi sejak 41 tahun terakhir di AS. Analisis dari
berbagai ekonom dan policy maker hampir sama. Sri Mulyani menuturkan mereka
menilai kebijakan AS dalam merespons inflasi tinggi dengan kenaikan suku
bunga memungkinkan terjadinya resesi di tahun ini. Tak hanya AS,
sejumlah negara di Asia dan Eropa juga terancam mengalami resesi ekonomi.
Dalam survei yang dilakukan Bloomberg, Indonesia masuk ke dalam 15 negara
yang berpotensi mengalami resesi. Survei itu menunjukkan pada peringkat 1-15
secara berurutan, yaitu: Sri Lanka, New Zealand, Korea Selatan, Jepang, Cina,
Hongkong, Australia, Taiwan, Pakistan, Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina,
Indonesia, dan India. Sri Lanka
menempati posisi pertama negara berpotensi resesi dengan prosentase 85
persen, New Zealand 33 persen, Korea Selatan dan Jepang 25 persen. Lalu Cina,
Hongkong, Australia, Taiwan, dan Pakistan 20 persen. Malaysia 13 persen,
Vietnam dan Thailand 10 persen, Filipina 8 persen, Indonesia 3 persen, dan
India 0 persen. Tanda-Tanda Negara akan Mengalami Resesi Direktur
Center of Economic and Law Studie (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan,
resesi di sebuah negara ditandai dengan tingginya inflasi dan daya beli
masyarakat yang menurun. Hal ini kemudian diikuti dengan kesempatan kerja
yang kian memburuk dan meningkatkan jumlah pengangguran. “Tanda-tanda
resesi selain dari pertumbuhan ekonomi yang kontraksi adalah inflasi yang
tinggi,” kata Bhima saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (14/7/2022). Saat ini,
inflasi tahunan Indonesia telah mencapai 4,35% pada Juni 2022
(year-on-year/yoy). Angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak Juni 2017
dan diprediksi akan terus meningkat hingga akhir tahun. Komponen
inflasi inti Juni secara yoy memberikan andil sebesar 2,63 persen. Kemudian
untuk harga diatur pemerintah mencapai 5,33 persen dan harga bergejolak
mencapai 10,07 persen. Berdasarkan
kelompoknya, makanan, minuman dan tembakau menjadi sumbangsih terbesar
terhadap inflasi Juni secara yoy. Di mana komoditas itu memberikan andil 8,26
persen. Terbesar kedua diikuti sektor transportasi yang berikan andil 5,45
persen. Lalu sektor peralatan pribadi dan jasa lainnya berikan sumbangsih
4,43 persen. Jika dilihat
lebih jauh lagi, Indonesia pernah ada di masa-masa suram selama pandemi
COVID-19. Sepanjang 2020, pandemi menyebabkan krisis ekonomi di seluruh
penjuru dunia. Januari 2021, IMF mengestimasi pertumbuhan ekonomi global di
angka minus 3,5 persen. Saat itu, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi
sebesar -2,07 persen. Kontraksi tersebut pertama kali dialami Indonesia
setelah masa krisis moneter pada 1998. Apabila
dibandingkan dengan krisis ekonomi global 2008, maka yang terjadi pada 2020
terbilang lebih parah. Sebab, pada krisis 2008, harga komoditas saat itu
masih menguntungkan, dan akhirnya membuat ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh
4,6 persen. Krisis
finansial global pada 2008, dipicu oleh krisis yang dirasakan Amerika Serikat.
Krisis mencapai puncak pada 15 September 2008, Lehman Brothers mendaftarkan
kebangkrutannya, menyusul kegagalan di pasar subprime mortgage. Pasar
finansial dunia langsung dilanda kepanikan. Indeks Dow Jones merosot hingga
4,4 persen ke level 10917,51, penurunan terburuk sejak 9/11. Indeks S&P
juga anjlok 4,7 persen, serta Nasdaq turun sampai 3,6%. Kisruh pasar
finansial global berimbas ke Indonesia. IHSG sempat merosot tajam pada 1
November 2008, IHSG tercatat ada di level 1.241,54, setengah dari setahun
sebelumnya. Pada 9 dan 10 Oktober 2008, BEI bahkan melakukan suspensi
perdagangan. Seberapa Kuat Indonesia Bertahan Hindari Resesi? BPS mencatat
pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,01 persen pada kuartal I-2022 atau
Q1 secara year on year. Pertumbuhan ini meningkat dibandingkan kuartal I-2021
yang terkontraksi minus 0,70 persen. “Ekonomi
Indonesia tumbuh sebesar 5,01 persen,” kata Kepala BPS Margo Yuwono, dalam
rilis BPS di Kantornya, Jakarta, Senin (9/5/2022). Margo
mengatakan tingginya angka pertumbuhan ekonomi pada Q1 2022 ini, selain
karena pulihnya aktivitas ekonomi di masyarakat, faktor lain juga karena
pertumbuhan ekonomi pada Q1 2021 saat itu mengalami kontraksi 0,70 persen.
Margo menyebutkan jika dilihat distribusi dari lapangan usahanya, maka 65,74
persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berasal dari industri
pengolahan, perdagangan, pertanian, pertambangan dan konstruksi. Jika dirinci,
industri pengolahan memiliki share 19,19 persen terhadap pertumbuhan ekonomi
Q1 2022. Adapun pengungkit industri pengolahan ini disokong oleh tumbuhnya
subsektor industri tekstil dan pakaian jadi 12,45 persen kemudian makanan dan
minuman 3,75 persen. “Tekstil dan
pakaian jadi dan makanan minuman masing-masing tumbuh," jelas dia. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia memang semakin membaik. Berdasarkan catatan Tirto, pertumbuhan
ekonomi pada triwulan 1 2022 mencapai 5,01 persen, triwulan IV 2021 tercatat
5,02 persen, triwulan III 2021 (3,51 persen), dan triwulan II 2021 (7,07
persen). Kemudian pada
triwulan I 2021, perekonomian Indonesia mengalami kontraksi imbas pandemi,
yaitu 0,7 persen, triwulan IV 2021 tercatat 2,17 persen, triwulan III 2020
(3,49 persen), triwulan II 2020 tercatat -5,32 persen. Kemudian pada triwulan
I 2020 2,97 persen. Selain itu,
posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Mei 2022 tetap tinggi sebesar
135,6 miliar dolar AS, relatif stabil dibandingkan dengan posisi pada akhir
April 2022 sebesar 135,7 miliar dolar AS. Perkembangan posisi cadangan devisa
pada Mei 2022 antara lain dipengaruhi oleh penerimaan devisa migas, pajak dan
jasa, serta kebutuhan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Posisi
cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6
bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas
standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai
cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta
menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Selain itu,
Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan, APBN dari sisi korporasi maupun
dari rumah tangga relatif dalam situasi lebih baik dari negara lain. “Kita relatif
dalam situasi yang tadi disebutkan risikonya 3 persen dibandingkan negara
lain yang potensi untuk bisa mengalami resesi jauh di atas yaitu di atas 70
persen," kata dia saat konferensi pers di Sofitel Nusa Dua, Bali, Rabu
(13/7/2022). Meskipun
memiliki potensinya kecil, Sri Mulyani tetap berhati-hati terhadap ancaman
resesi di tengah ketidakpastian global. Hal ini seiring risiko global terkait
inflasi dan resesi, atau stagflasi akan berlangsung sampai tahun depan. “Ini tidak
berarti kita terlena. Kita tetap waspada namun message-nya adalah kita tetap
akan menggunakan semua instrumen kebijakan kita," jelas dia. Kepala Badan
Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu meyakini perekonomian
Indonesia terus menunjukkan resiliensi di tengah gejolak global yang terjadi.
Bahkan, kata dia, Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang dapat
mengembalikan output ke level pra-pandemi sejak 2021. “Kinerja
ekonomi domestik di tahun ini juga terus menguat antara lain didukung situasi
pandemi yang terus terkendali,” jelas Febrio dalam pernyataannya. Febrio
mengatakan situasi pandemi yang kondusif menjadi salah satu prasyarat penting
agar confidence masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi sosial terus
terjaga. Salah satu cara yang akan terus ditempuh adalah mendorong vaksinasi.
Di mana saat ini sudah mencapai 74,2 persen populasi untuk dosis pertama dan
62,1 persen untuk dosis lengkap. Di sisi lain,
APBN juga akan terus diarahkan untuk menjadi instrumen penting merespons
dinamika ekonomi yang terjadi, termasuk menjadi peredam syok (shock
absorber). Di tengah peningkatan risiko global, APBN akan terus diarahkan
untuk memastikan terlindunginya daya beli masyarakat khususnya kelompok yang
rentan serta terjaganya pemulihan ekonomi. “Saat ini,
risiko perekonomian global telah bergeser dari krisis pandemi ke potensi
krisis energi, pangan, dan keuangan. Pemerintah Indonesia akan terus menjaga
agar kinerja ekonomi domestik terus menguat meski di tengah berbagai
tantangan global," tutup Febrio. Sementara itu,
Direktur Riset Center of Reform Economic (CORE), Piter Abdullah optimistis,
Indonesia mampu bertahan di tengah ancaman keruntuhan ekonomi atau resesi
global. Namun, ada dua syarat yang harus diperhatikan. Syarat
pertama, kata Piter, semua pihak harus berupaya menjaga agar pandemi di dalam
negeri mereda. Syarat kedua, tidak terjadi pengetatan Pemberlakuan Pembatasan
Kegiatan Masyarakat (PPKM) kembali. “Selama
pandemi masih terjaga, mobilitas masih longgar, perekonomian Indonesia akan
mampu bertahan di tengah resesi yang terjadi dibanyak negara,” kata Piter. Piter
mengatakan, ekonomi global yang dispekulasikan akan resesi ini,
mempertimbangkan kondisi perekonomian di banyak negara maju. Amerika Serikat
misalnya. Angka inflasi di negeri Paman Sam tersebut melambung tinggi. Inflasi yang
tinggi kemudian mengundang bank sentral The Fed menaikkan suku bunga acuan
dan mengeringkan likuiditas. Suku bunga yang tinggi, likuiditas kering
otomatis akan membuat demand terbatasi dan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Kondisi
tersebut berpotensi membawa AS mengalami resesi, kontraksi ekonomi selama dua
kuartal berturut-turut. Pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal I-2022 sudah
negatif 1,4 persen. Hal ini disebabkan oleh tingginya impor di tengah
menurunnya ekspor tetapi permintaan masih cukup terjaga. “Jika kuartal
II-2022 kembali negatif, maka perekonomian AS secara resmi disebut resesi.
Kemungkinannya memang besar karena kondisi yang dijelaskan di atas,"
jelasnya. Piter
menambahkan, resesi di negara-negara maju seperti AS tentu akan berpengaruh
terhadap perekonomian global. Kemudian berdampak kepada banyak negara.
“Tetapi tidak berarti semua negara akan mengalami resesi atau akan akan
ambruk. Salah satunya Indonesia,” kata dia. ● |
Sumber
: https://tirto.id/ancaman-resesi-global-seberapa-kuat-indonesia-bertahan-kali-ini-gt8F
Tidak ada komentar:
Posting Komentar