Hilirisasi
Nikel dan Kisah SDA Kita Kwik Kian Gie ; Menteri Koordinator Ekonomi 1999-2000 dan
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas 2001-2004 |
KOMPAS, 22 September 2021
Pemerintah
menyatakan bahan baku nikel di perut bumi Indonesia tak boleh lagi dikeduk
para korporat asing dan langsung diangkut ke negara mereka masing-masing. Pemerintah
melalui Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan mengatakan, nikel harus
digarap di dalam negeri sampai menjadi bahan mentah buat pembuatan bahan baku
siap pakai untuk, antara lain baterai. Sayang kesadaran soal ini baru muncul
sekarang. Harapannya, bukan hanya nikel yang diperlakukan demikian, tetapi
semua mineral di dalam perut bumi Indonesia. Sejak
1967, sumber daya mineral kita sudah ”dihabisi” korporat-korporat raksasa
asing dan perorangan Indonesia swasta (istilah Bung Hatta, orang partikelir).
Selama Bung Karno presiden RI, Istana dibanjiri pimpinan perusahaan raksasa
asing yang minta konsesi untuk eksplorasi dan eksploitasi SDA kita, terutama
mineral yang sangat mahal harganya. Bung
Karno menolak semuanya sambil memerintahkan Wakil Perdana Menteri Chairul
Saleh yang ketika itu membidangi ESDM, agar sedikit saja izin diberikan pada
korporat asing untuk memperoleh devisa yang sangat kita butuhkan. Ketika
ditanya oleh Megawati, Bung Karno menjawab: “Nanti akan dieksploitasi oleh
insinyur-insinyur kita sendiri.” Ceritera ini saya peroleh langsung dari
Megawati. Bung
Karno lantas “mengemis” beasiswa dari negara manapun di dunia buat para siswa
Indonesia agar bisa belajar di universitas-universitas di negara mereka. Di
1967, sudah sangat banyak insinyur di segala bidang, termasuk geologi lulusan
universitas terbaik di seluruh dunia, ditambah ITB yang sejak era penjajahan
sudah ada. Namun apa yang terjadi? Mereka
bekerja pada perusahaan-perusahaan asing sebagai tenaga gajian yang melakukan
eksploitasi besar-besaran SDA mineral kita. Yang ditakutkan Bung Karno
terjadi, yaitu walaupun sudah merdeka, Indonesia menjadi ”Een natie van koelies en een Koelie onder de naties.” (Bangsa
yang terdiri dari kuli-kuli dan bangsa kuli di antara bangsa-bangsa lain.” Peran "Mafia Berkeley" Buku
Economists With Guns, Authoritarian Development
and US-Indonesian Relations, 1960-1968 yang ditulis Bradley Simpson dan
diterbitkan Stanford University Press (2008) membeberkan cerita itu. Saya
yakin semua yang ditulisnya benar dan otentik. Simpson meraih gelar PhD dari
North Western University dengan disertasi yang mempelajari dokumen-dokumen
otentik hubungan RI-AS. Hampir semua dokumen yang dipelajarinya dokumen yang
classified. Setelah
disertasinya terbit, dia diangkat jadi direktur Arsip Nasional oleh
Pemerintah AS, sehingga punya akses lebih besar dan langsung ke
dokumen-dokumen otentik. Hampir tak ada kalimat yang tak didukung dokumen
otentik. Di bab “Reference Matter”, dokumen pendukung 73 halaman, dengan isi
buku 259 halaman. Saya
akan mengutip yang relevan dalam aspek penguasaan Indonesia oleh
negara-negara maju/kuat, terutama AS, secara kronologis. Halaman 19
mengungkapkan, Ford Foundation (FF) mendanai pendidikan para ilmuwan sosial
Indonesia, yang secara langsung membentuk jalan pikiran tentang pembangunan. Antara
1952 dan 1962, FF – di samping AID – memberikan program pendidikan dan
pelatihan kepada seluruh generasi ahli ekonomi Indonesia melalui pembentukan
kemitraan antara UI dengan University of California at Berkeley, dan
pendanaan studi S2 bidang ekonomi pada MIT, Cornell University dan institusi
lainnya. Dua
tahun kemudian FF melaporkan bahwa program pendidikan dan pelatihan
ekonominya berpengaruh besar pada pembangunan Indonesia.” Halaman
20 mengungkapkan, para guru besar ekonomi UI yaitu Widjojo Nitisastro,
Mohammed Sadli, Subroto, Ali Wardhana dan Emil Salim memainkan peran krusial
setelah jatuhnya Soekarno 1966, dengan menata ulang kebijakan ekonomi
Indonesia dengan memusnahkan ekonomi terpimpin Soekarno, yang membuat mereka
terkenal dengan sebutan “The Berkeley Mafia”. Pada
16 Desember beberapa pejabat tinggi Indonesia berkumpul membicarakan usulan
Chaerul Saleh tentang pengambilalihan Caltex dan Stanvac. Di tengah
pertemuan, Soeharto datang dengan helikopter secara dramatis, masuk ke kamar
perundingan dengan pemberitahuan sangat jelas: TNI tak akan melakukan
pengambilalihan perusahaan minyak. Ia hanya mengatakan itu dan langsung
meninggalkan ruangan. Di
halaman 219 diungkapkan, Soeharto memahami, dia butuh para teknokrat jika
ingin menyelamatkan ekonomi. Maka segera ia pekerjakan mereka. Widjojo, Salim
dan Wardhana memberitahu Edward Master, selama musim gugur 1966 mereka
melakukan berbagai pertemuan dengan KOGAM, BI dan Sultan HB IX dengan pesan
perekonomian dalam kondisi sangat buruk dan butuh penyelamatan. Halaman
227, FF membiayai satu generasi ekonom UI untuk belajar di AS. “You cannot
have a modernizing country without a modernizing elite”, demikian Frank
Sutton, deputy vice president bagian internasional FF. Pada awal 1960 UI
menyelenggarakan Executive Development Program model AS untuk melatih
pimpinan tentara dan sipil. Tahun 1966 Robert McNamara mengatakan program itu
terbukti punya nilai tinggi. Halaman
231, sangat ilustratif soal kasus Freeport Sulphur. Di 1959 Freeport
memperoleh laporan dari ahli geologi Belanda tentang deposito tembaga di
Irian Barat. April 1965 Freeport memperoleh persetujuan prinsip (preliminary)
dari Kementerian ESDM untuk eksplorasi tembaga dan nikel. Soekarno
menutup pintu Indonesia dari investor asing. Awal September, James Moyer, direktur
Informasi Freeport jadi staf Gedung Putih, di mana saudaranya, Bill Moyer
bekerja. Dua bulan kemudian, ketika tentara melakukan pembunuhan terhadap
pendukung PKI, Freeport membuka perundingan dengan para jenderal untuk masuk
kembali ke Indonesia. Beberapa
hari setelah Supersemar, teknisi Freeport berbondong-bondong masuk ke
hutan-hutan Irian Barat, berlomba dengan Mitsui dari Jepang. Yang ditemukan
Freeport gunung setinggi 600 kaki menjulang, penuh biji tembaga berkualitas
tinggi. Penemuan Ertsberg, gunung dengan kandungan tembaga terbesar dunia,
meyakinkan mereka untuk gerak cepat memperoleh konsesi. Halaman
244, misi perdagangan pertama tiba di Jakarta dari Oregon dan San Francisco
April 1967, mewakili perusahaan-perusahaan skala menengah yang melakukan
penjajakan di bidang kayu, plywood, kimia, pertambangan, dan minyak. Misi
perdagangan dari Belgia, Belanda, Australia, Perancis dan Korea Utara
menyusul. Dilaporkan harian Belanda De Volkskrant, terjadi kompetisi sengit
untuk dapatkan pasar yang menguntungkan di Indonesia. Penguasa baru dunia Kedubes
AS memuji Soeharto yang menerima investasi asing sebagai sumber utama
membangun luar Jawa. Tetapi para teknokrat prihatin karena
perusahaan-perusahaan multinasional raksasa yang dianggap engine of development
belum ambil inisiatif. Yang datang hanya perusahaan kecil seperti Freeport
dan IAPCO. Halaman 245, dua bulan kemudian pertemuan yang jauh lebih penting
berlangsung di Geneva. Sebelum
Simpson menerbitkan Economists With
Guns, ia bersama Jeffrey Winters memberikan wawancara kepada wartawan
senior John Pilger, yang ditulisnya di bukunya The New Rulers Of The World.
Halaman 37 mengungkapkan: “Pada November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah
terbesar’ (baca: jatuhnya Bung Karno), hasil tangkapannya dibagi. The
Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Geneva yang dalam
waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia". Para pesertanya
para kapitalis paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David
Rockefeller. Semua
raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan minyak dan bank, General Motors,
Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco,
American Express, Siemens, Goodyear, International Paper Corporation, US
Steel. Di seberang meja, orang- orang Soeharto yang disebut Rockefeller
“ekonom-ekonom Indonesia yang top”. “Di
Geneva, tim Sultan terkenal dengan sebutan the Berkeley Mafia, karena
beberapa pernah menikmati beasiswa dari Pemerintah AS untuk belajar di
Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang
menyuarakan hal-hal yang diinginkan para majikan yang hadir. Menyodorkan
butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan: ...
buruh murah yang melimpah, ... cadangan besar dari SDA, ... pasar yang besar.” Halaman
39: “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi
sektor". "Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler", kata
Winters. Simpson telah pelajari dokumen-dokumen konferensi. "Mereka
membaginya ke dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di
kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar
lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi
yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para
investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling
dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan: “ini yang kami inginkan : ini,
ini dan ini”, dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk
berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu
sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang
diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya
investasi mereka ke dalam negaranya sendiri". Freeport
dapat bukit dengan tembaga di Papua Barat. Sebuah konsorsium Eropa dapat
nikel Papua Barat. Raksasa Alcoa dapat bagian terbesar bauksit Indonesia.
Sekelompok perusahaan AS, Jepang dan Perancis dapat hutan-hutan tropis di
Sumatera, Papua Barat dan Kalimantan. Sebuah
UU tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan ke Soekarno
membuat “perampokan” (plunder) ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya.
Nyata dan secara rahasia, kendali ekonomi Indonesia pindah ke IGGI, yang
anggota intinya adalah AS, Kanada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, IMF
dan Bank Dunia." Jadi,
sejak 1967 Indonesia sudah dikapling-kapling, dengan tuntunan elite bangsa
sendiri yang saat itu berkuasa. Kemudian
ada beberapa catatan John Perkins dalam bukunya, Confessions of An Economic Hitman yang kontroversial. Ia bekerja
untuk MAIN, perusahaan konsultan AS. Penugasan pertamanya di Indonesia. Ia
bagian dari tim terdiri dari 11 orang yang dikirim untuk membuat cetak biru
rencana pembangunan pembangkit listrik di Jawa. Ia harus membuat model
ekonometrik untuk Indonesia dan Jawa. Halaman
13: “Saya tahu statistik bisa dimanipulasi untuk menghasilkan banyak
kesimpulan, termasuk apa yang dikehendaki analis atas dasar statistik yang
dibuatnya.” Halaman 15: “Pertama saya harus memberikan pembenaran
(justification) untuk memberikan utang yang sangat besar jumlahnya, yang akan
disalurkan kembali ke MAIN dan perusahaan AS lain (seperti Bechtel,
Halliburton, Stone & Webster, dan Brown & Root) melalui penjualan
proyek-proyek raksasa di bidang rekayasa dan konstruksi". "Kedua,
saya harus membangkrutkan negara yang menerima pinjaman itu (tentunya setelah
MAIN dan kontraktor AS lain dibayar), agar negara target itu selamanya
tercengkeram oleh kreditornya, sehingga negara pengutang (baca: Indonesia)
jadi target empuk kalau kami membutuhkan favours, termasuk basis-basis
militer, suara di PBB, atau akses pada minyak dan SDA lainnya.” Halaman
15-16: “Aspek yang harus disembunyikan dari semua proyek itu ialah membuat
laba sangat besar buat para kontraktor, dan membuat bahagia beberapa gelintir
keluarga dari negara penerima utang yang sudah kaya dan berpengaruh di negara
masing-masing. Dengan demikian, ketergantungan keuangan negara penerima utang
menjadi permanen sebagai instrumen untuk memperoleh kesetiaan kepada
pemerintah pemberi utang. Maka
semakin besar jumlah utang semakin baik. Kenyataan bahwa beban utang yang
sangat besar menyengsarakan bagian termiskin dari bangsanya di bidang
kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial lainnya selama berpuluh-puluh
tahun tidak perlu masuk dalam pertimbangan.” Halaman
15: “Faktor yang paling menentukan adalah PDB. Proyek yang memberi kontribusi
terbesar terhadap pertumbuhan PDB harus dimenangkan. Walaupun hanya satu
proyek yang harus dimenangkan, saya harus menunjukkan bahwa membangun proyek
yang bersangkutan akan membawa manfaat yang unggul pada pertumbuhan PDB.” Halaman
16: "Claudia (Claudia Martin, pejabat CIA yang diberi tugas memberikan
perintah ke Perkins) dan saya mendiskusikan karakteristik dari PDB yang
menyesatkan. Misalnya pertumbuhan PDB bisa terjadi walau hanya menguntungkan
satu orang saja, yaitu yang memiliki perusahaan jasa publik, dengan membebani
utang yang sangat berat buat rakyatnya. Yang kaya semakin kaya dan yang
miskin semakin miskin. Statistik akan mencatatnya sebagai kemajuan ekonomi.” Kekayaan
suatu bangsa bisa dibagi ke dua kategori, kekayaan yang dibuat manusia, dan
kekayaan yang sudah ada (God Given Wealth) seperti SDA di perut bumi
Indonesia, flora dan fauna di lautan, iklim yang kondusif untuk sangat banyak
jenis makanan dan obat-obatan, tanah yang luas, dsb. Tuhan
memberikannya kepada rakyat Indonesia, tetapi oleh para penguasa diberikan ke
korporat asing dan beberapa partikelir. Semoga kali ini titik awal dari
koreksi atas kesalahan yang sudah terjadi sejak 1967 hingga kini. ● Sumber
: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/22/hilirisasi-nikel-dan-kisah-sda-kita/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar